Takdir yang mempertemukan mereka berdua, takdir pula yang membawa mereka kedalam hubungan yang rumit.
Faiha Azkiya, seorang muslimah yang mempunyai mimpi menjadi wanita yang kuat dan tangguh. Pundaknya saat ini dituntut menjadi kokoh, untuk menghidupi dirinya dan sang nenek. Ingin rasanya ia menyerah pada takdir, namun semuanya itu berbanding terbalik. Dimana, takdir itu malah merubah kehidupannya.
Azzam Arsalaan. Pemberontakkan, kejam dan ditakuti oleh hampir semua orang dalam dunia bisnis. Bahkan dunia hitam pun sangat tidak ingin terlibat sesuatu dengannya. Ia akan sangat murka jika kehidupannya terusik, tiada kata 'ampun dan maaf' darinya. Jika tidak, maka nyawa mereka akan lenyap saat itu juga.
Akankah takdir itu dapat menyatukan mereka dan bahagia? Atau sebalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsabita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
" Tu tuan, apa saya boleh izin sebentar untuk sholat? ". tanya Kiya dengan tubuh yang menahan rasa perih.
Dengan memainkan alisnya, Azzam kemudian melirik Kiya dengan mata elangnya. Melihat wajah Kiya yang sedikit pucat, akhirnya Azzam tidak tega dengan kondisi Kiya yang seperti itu.
" Kau boleh melaksanakannya diruangn ini, aku tidak mengizinkan kamu untuk keluar. Dasar pegawai seperti kalian ini, tidak bisa bekerja dengan baik. Cepat! Saya tidak suka dengan orang yang lelet."
" Terima kasih tuan, tapi! Apakah anda mempunyai mukenah disini?."
" Hem, kau bisa tunggu disana. Ghina akan mengantarkannya. Disana kamar mandinya." Azzam mengayunkan tangannya seperti mengusir seseorang.
Tanpa menunggu lama, Kiya beranjak dari duduknya menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Kepalanya sedikit berdenyut, namun itu masih bisa ia menahannya. Saat keluar dari kamar mandi, sudah tersedia mukenah beserta sejadahnya.
" Tuan! Arah kiblatnya diruangan ini, ke arah mana ya?." Kiya takut terjadi perbedaan.
Kiblat??? Apa itu? Azzam.
Tanpa menjawab, Azzam menelfon Ghina menggunakan telfon kantor untuk segera keruangannya.
Tok
Tok
Tok
" Permisi! Ada yang bisa saya bantu tuan?." Tanya Ghina, ia melihat Kiya yang memegang mukenah dan sejadah yang ia bawakan tadi.
" Kau tunjukkan kepada dia, arah kiblat yang ia maksud?". Dengan sikap angkuhnya, Azzam menunjuk Ghina dan Kiya menggunakan jari telunjuknya.
" Baik Tuan." Ghina berjalan mendekati Kiya dan memberitahukan padanya arah kiblat disana, lalu ia pamit untuk kembali keruangannya.
Ada apa dengan si bos ya? Kenapa dia menahan Kiya disana, apakah Kiya melakukan kesalahan? Tapi, selama ini tidak terjadi apa-apa dengan pekerjaannya. Ah, sudahlah. Itu urusan bos. Ghina.
Kiya melaksanakan sholat dzuhurnya diruangan tersebut, tanpa sepengetahuannya. Azzam memperhatikannya dalam diam, menatap kagum pada wanita itu.
Kenapa perasaanku seperti diaduk-aduk saat berada didekatnya? Terasa nyaman melihat wajahnya yang teduh, semakin menarik saja. Azzam.
Telah selesai dengan sholatnya, rasa perih itu kembali menyapa. Dan kali ini dengan rasa yang lebih menyakitkan dari sebelumnya, membuat Kiya meringis kesakitan.
" Akh!." Tangannya mencengkram perut dengan kuat.
Melihat Kiya seperti itu, Azzam segera berdiri dari duduknya dan menghampiri Kiya. Dan tanpa ia sadari, tangannya itu melingkar di pundak Kiya.
" Hei! Kau kenapa?." Azzam menahan tubuh Kiya yang perlahan merosot kebawah.
" Ak akh!" Rasa sakit itu semakin terasa, mencoba menepis tangan yang kekar itu dari pundaknya, namun apa daya. Pandangan Kiya kini mulai kabur dan perlahan kesadarannya menghilang, hal itu membuat Azzam merasa panik.
" Hei, hei. Ya ampun, pingsan. Ada apa dengannya." tangan kekarnya itu merengkuh dan membawa tubuh Kiya yang kecil dan membaringkannya di tempat tidur dikamar pribadinya.
Mengambil ponsel dari balik saku jasnya, lalu ia menghubungi seseorang.
" Segera kekantorku dalam waktu sepuluh menit." Tut, pembicaraan itu terputus sepihak oleh Azzam.
Memandangi wajah Kiya yang sudah sangat pucat, ada rasa bersalah dalam diri Azzam, namun itu segera ia tepis.
......................
Gabriel, seorang dokter spesialis yang saat ini sedang bekerja disalah satu rumah sakit.
" Baik, nyonya. Kini anda bisa beraktivitas seperti sebelumnya, namun tetap memperhatikan kesehatan." Titah Gabriel kepada salah satu pasiennya.
" Terima kasih dokter, anda begitu sabar menghadapi saya. Mari!." pasien tersebut keluar dari ruangan praktek milik Gabriel.
Ddrrrtt...
Ddrrrtt...
Ponsel Miliknya bergetar, disaat melihat nama si penelfon. Mata Gabriel memutar dengan sangat malasnya, rasanya ingin ia menekan tanda merah saja.
" Hallo.."
....
Tut
Tut
" Busset! Dasar kampreto ni orang, emangnya gue nggak ada kerjaan lain apa. Huh!." Gabriel merasa kesal dengan Azzam.
" Alihkan pasien berikutnya pada dokter lain, jika mereka bersedia. Jika tidak, gantikan di hari lain. Selalu saja tu anak."melepaskan jas putih itu dan melemparkannya disembarang tempat, rasa kesalnya kini sudah di ubun-ubun.
Dengan kecepatan sedang mengendarai mobil miliknya, Gabriel tidak memusingkan Azzam menceramahinya jika telat untuk tiba disana. Membutuhkan waktu sekitar Tiga puluh menit untuk sampai di perusahaan Azzam, dengan langkah yang santainya ia menuju ruangan si pembuat kesal.
" Hallo Ghina, apa si kunyuk itu ada didalam?" tanya Gabriel saat melihat sekretaris Azzam.
" Iya tuan." Jawab Ghina singkat.
Klek!!!
Pintu terbuka, melihat kedalam ruangan tersebut tidak ada orang. Membawa langkah Gabriel menujur kamar pribadi milik Azzam, dan ketika membuka pintunya.
" Ups! Amazing...".
Bugh!
Sebuah bantal guling terbang, mengenai muka Gabriel.
" Aih! lecek muka gue Zam. " Protesnya.
" Cepat periksa! Kau hidup untuk itu, jika tidak." Sorot mata Azzam menajam.
" Cih, tidak perlu kau teruskan. Perkataanmu itu selalu saja menyakitkan, geser sana. Enek gue liat muke lu!." Gabriel mendorong tubuh Azzam dengan bahunya.
" Kau!!!."
" Apa? Dasar Iblis kau. Pasienku banyak, menganggu saja." Dengan seringainya, Gabriel memulai untuk memeriksa Kiya.
" Yang benar kau ini, suka sekali mengambil kesempatan. Biar aku saja yang mengarahkannya, tanganmu itu sudah ternodai." Azzam mengambil alih steteskop dari tangan Gabriel.
" Kau saja yang periksa! lagian, siapa wanita ini? Tidak seperti biasanya iblis seperti kau akan lembut kepada wanita, jangan-jangan."
Plak!!!
" Cepat periksa, mau mati kau, hah!!! ". Azzam memukul kepala Gabriel dengan tangannya.
" Aih!!!" Gabriel langsung saja menyelesaikan pemeriksaannya, bisa darah tinggi berlama-lama.
Proses pemeriksaan itu tidak luput dari sorotan tajam dari mata elangnya Azzam, membuat Gabriel menjadi risih. Untung saja mereka sudah lama saling kenal dan berteman, jika tidak ia sudah malas untuk berhadapan dengannya.
" Sepertinya wanita ini tidak mengatur pola makannya dengan baik, hal itu menyebabkan asam lambungnya meningkat. Ada baiknya, dia beristirahat untuk beberapa hari. Aih, jangan-jangan kau yang menjadi penyebabnya. Heh, dasar iblis kau!." Gabriel melotot kepada Azzam.
" Diam!!! Pekerjaanmu sudah selesai, pergilah!." Azzam menarik tangan Gabriel dan mendorongnya hingga keluar dari kamar pribadinya, dan mulut Gabriel tidak lepas dari mengumpat Azzam.
Dengan amat terpaksa Gabriel pergi dari ruangan tersebut dan berjalan menuju ruang Daffa, dengan tanpa permisi ia membuka pintunya dengan paksa.
Brak!!!
Gabriel merebahkan tubuhnya disofa ruangan Daffa.
" Hei, nyet! Tumben lu disini, Ada apa?." Tanya Daffa yang merasa heran dengan kehadiran Gabriel, si dokter monyet. (Daffa memberikan julukan monyet, karena Gabriel suka sekali dengan buah yang namanya pisang).
" Dasar kau, hulk cemen. Bos lu tu, iblis. Seenaknya nyuruh gue kesini, buat periksa tu wanita. Gue yang dokter, eh nggak boleh nyentuh tubuhnya. Steteskop milik gue juga di embat oleh dia. Udah sembuh dia dengan makhluk Tuhan yang bernama 'wanita', hah!!." Seringai Gabriel kepada Daffa.
" What? Wanita? Siapa Briel?." Daffa merasa penasaran.
" Tuh, yang pakek kudungan. Cantik sih orangnya." Celoteh Gabriel.
" Kudungan!!." Mulut Daffa membeo.