Kisah ini menceritakan tentang seorang anak yang bernama Darman dan lebih di kenal dengan nama si rawing, dia adalah anak dari seorang jawara silat, tapi sayang bapaknya meninggal akibat serangan kelompok perampok yang datang ke desanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Panel Bola, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuju Gunung Arga Wina
Marlan yang di amanatkan oleh sang guru terus menemani Darman dari hari kehari.
Marlan yang merupakan murid terbaik dari Wira Karta, mengajarkan Darman ilmu silat yang dia kuasai.
Marlan tidak menyangka kalau Darman cepat tanggap dalam belajar ilmu silat yang dia ajarkan. Jadi tidak aneh, meskipun Darman masih kecil, tapi bagi anak yang seumuran dengan dirinya di desa jati sari tidak ada yang bisa melawan dia, seperti hari ini saat di baru saja selesai mengembala kambing, dia di hadang oleh tiga orang anak-anak yang seumuran dengan Darman.
"Habis dari mana kamu.? Lucu sekali, ada manusia punya telinga seperti itu.?" kata salah satu anak yang menghadang jalan Darman.
"Betul, kamu punya telinga seperti itu mending gak usah punya telinga sekalian. Atau kamu ganti nama jadi si rawing lebih cocok." temannya menimpali.
Darman menatap tajam kearah tiga anak itu, dia merasa sakit hati. Semenjak Wira Karta meninggal dan Ningsih di bawa kabur oleh kelompok Macan Liar, Darman jadi mudah terpancing emosi.
"Haha, hei rawing."
"Haha, rawing."
"Jangan menghina, apa manfaat kalian menghina aku, kalian mau cari ribut?" Ucap Darman dengan berani. dia tidak merasa takut walaupun di keroyok oleh tiga orang.
Melihat sikap Darman yang penuh keberanian, membuat ketiga anak itu menjadi marah.
"Jangan besar kepala kamu rawing. Kamu mau melawan kami, kamu itu anak yatim piatu"
Setelah mengucapkan kata-kata kasar, anak itu lalu melayangkan pukulan ke arah kepala Darman.
Darman yang sudah berlatih ilmu silat oleh Marlan, dengan sigap Darman menghindari pukulan, dia menggerakkan kepalanya ke samping. Tangan kirinya memegang tangan lawan sedangkan tangan kanannya memukul bagian perutnya, dan membuat lawan mundur.
"Ahh."
Melihat temannya di pukul mundur oleh Darman, dua anak yang tersisa juga langsung menyerang Darman secara bersamaan, tapi apa daya mereka berdua juga tidak mampu untuk menjatuhkan Darman yang sudah terlatih ilmu silat.
Merasa tidak bisa melawan Darman, mereka bertiga langsung kabur.
Semenjak hari itu Darman jadi di kenal dengan sebutan si rawing, awalnya Darman merasa tersinggung dengan sebutan itu, tapi lama-kelamaan dia menjadi terbiasa, bahkan Marlan pun kadang-kadang suka memanggil dia dengan nama si rawing.
Banyak orangtua dari desa jati sari, datang kepada Marlan untuk mengadu kalau Darman sering berkelahi dengan anak-anak mereka.
"Rawing, sebenarnya emang (paman) sudah sering di datangi oleh orang tua anak yang berkelahi dengan kamu, makin lama, emang merasa malu, lebih baik kamu jangan melawan."
Si rawing menatap ke arah Marlan yang sudah dia anggap orang tuanya sekaligus juga gurunya.
"apa awing harus diam saat dihina oleh orang lain, apalagi mereka membawa nama ibu dan bapak. Awing suka emosi mang." Si rawing mengeluarkan isi hatinya.
"Ohh pantesan, kalau begitu emang setuju dengan sikap rawing, tapi emang ada hal yang lebih penting yang harus di sampaikan kepada kamu rawing."
"Hal penting apa mang.?"
"Bpak kamu, sudah memberi amanat, untuk mengajarkan kamu ilmu silat jauh sebelum bapak kamu bertarung melawan si Bewok, sepertinya bapak kamu sudah memperhitungkan hal ini, jadi dia memberi amanat kepada emang untuk melatih kamu silat, setelah itu kamu harus pergi menemui ki Wiguna yang ada di gunung Arga Wina, untuk memperdalam ilmu silat yang kamu miliki saat ini."
"Jadi maksud emang, awing harus menemui ki Wiguna.? kalau begitu kita pergi saja mang, sebab rasa sakit hati awing tidak akan pernah hilang kalau rawing belum membalas perbuatan si Bewok dan antek-anteknya."
Mata si rawing menyala penuh dengan amarah.
"Emang juga berpikir untuk menemui ki Wiguna, sebab emang ingin melihat kamu menjadi salah satu jagoan yang bisa menumpas segala kejahatan, sebab keluarga kita hancur akibat perbuatan manusia yang jahat."
"Benar, kalau aku sudah menjadi jagoan, manusia-manusia yang jahat tidak akan aku biarkan untuk bertindak sesuka hati. Kalau di biarkan, mereka akan menjadi ancaman bagi rakyat kecil yang tidak bisa apa-apa."
Jiwa satria si rawing ternyata sudah terbentuk, menjadi suatu kebanggaan bagi Marlan.
"emang setuju rawing, meskipun kamu belum dewasa, tapi kamu sudah memiliki jiwa kesatria, sikap yang harus di miliki oleh setiap laki-laki memang seperti itu, tapi untuk mewujudkan cita-cita tidak cukup dengan kemauan saja, tapi juga harus di barengi dengan usaha."
"maksud emang.?"
"emang mau mengajak kamu pergi ke gunung Arga Wina, apa kamu mau?"
"Tentu saja mau mang."
"Apa kamu kuat jalan kaki pergi ke sana.? Sebab perjalanan ke gunung Arga Wina sangat jauh."
Si rawing tersenyum, "sanggup mang, kan tadi emang bicara kalau kita mempunyai ke inginan kita harus berusaha untuk mewujudkannya."
"Kalau begitu besok pagi kita memulai perjalanan ke gunung Arga Wina untuk menemui ki Wiguna."
"Siap mang, rawing sudah tidak sabar ingin pergi dari desa ini, sebab para warga desa seperti membenci aku."
"Benar rawing, oleh karena itu besok pagi kita pergi dari sini, tapi kamu harus kuat berjalan sebab perjalanan kita sangat jauh."
*****
Keesokan harinya Si rawing dan Marlan memulai perjalanan mereka menuju gunung Arga Wina untuk menemui ki Wiguna.
Dalam perjalanan Marlan kagum dengan stamina Si rawing yang tidak terlihat lelah, saat malam tiba mereka tidur di sebuah gubuk yang mereka temui di dekat sawah.
Saat siang hari setelah melakukan perjalanan dua hari, Marlan mengajak Si rawing makan di salah satu tempat makan di desa yang mereka kunjungi sekarang.
Pemlik tempat makan ternyata seorang perempuan tua, sekitar empat puluh lima tahunan, pemilik itu sangat ramah saat Marlan dan si rawing datang.
"Mau pesan apa.? Kopi atau makan.?"
"Mau pesen dua piring makan bu."
Si pemilik toko membuatkan dua piring makan untuk Marlan dan Si rawing.
Saat mereka makan, ternyata si pemilik toko suka berbicara.
"Di lihat-lihat, kalian berdua bukan penduduk desa ini.?"
"Iya Bu, kami dari desa jati sari."
"ohh, jauh ternyata, kalau ini, anak atau.?"
"Keponakan saya Bu. saya sengaja membawanya, biasa kalau anak laki-laki harus sering melihat dunia luar."
"iya betul, jangan seperti anak ibu, punya anak laki-laki tapi setiap hari diam di kamar terus, mikirin calon istrinya yang di bawa kabur sama perampok."
Marlan mengerutkan keningnya sambil menatap ke si ibu, "di bawa kabur sama perampok? Maksud ibu di culik, kenapa tidak di tolongin Bu?"
"Mau nolongin bagaimana.? Siapa yang berani melawan kepada kelompok Macan Liar yang di pimpin oleh Si Bewok.? Kalau sudah menjadi korban mereka, tidak ada yang berani melawan."
"Memang kapan kelompok Macan Liar menyerang desa ini Bu.?" kali Si rawing yang bertanya, karena penasaran.
"Sudah satu minggu lebih. Semua harta ibu hampir habis di bawa oleh mereka."
Marlan mengangguk-menganggukkan kepala, ternyata kelompok Macan Liar semakin merajalela, sepertinya hampir semua desa sudah mereka rampok.
"sebenarnya kami berdua juga korban dari kekejaman kelompok Macan Liar, bapak dari keponakan saya meninggal di tangan si Bewok, lalu sang ibu di bawa pergi oleh mereka."