Serafim Dan Zephyr menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dari awal Serafim tahu Calon suaminya sudah mempunyai pacar, dan di balik senyum mereka, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blueberry Solenne, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5- Suara Di Malam Hari
(Serafim)
Sayup-sayup aku merasa ada suara berisik, beberapa menit kemudian disusul jeritan.
Aku berlari keluar kamar mencari sumber suara, di sana di dalam kamar aku hampir tidak percaya dengan apa yang ku lihat ada Mami tergeletak di lantai dengan mata terbuka dengan bersimbah darah.
“Ibu…”
“Ibu.”
Aku mencoba menghampirinya tapi ada seseorang yang mencengkram tanganku.
“Jangan mendekatinya.”
Asisten rumah tanggaku pun berlari ke kamar.
Aku menatap suamiku ada noda darah di lengan bajunya dan ada pistol di dekat meja di mana ia sedang berdiri.
“Kau…”
“Bi, bawa istri saya ke kamar ujarnya, cepat telepon ambulance!” teriaknya.
Aku terpaku, tubuhku gemetar. ART menarikku menjauh, aku pun dikunci di, mereka tidak menghiraukan teriakanku. Saat aku bilang ingin melihat Mertuaku.
Aku hanya menangis di kamar, sambil memanggil Mami Inez, lalu aku teringat lagi saat melihat ada percikan darah di baju suamiku dan juga tangannya, juga pistol di dekat meja.
Zephyr pasti yang sudah menembak Mami.
Aku terus menggedor-gedor pintu.
“Zephyr, keluarkan aku, biarkan aku melihat Ibu, Zephyr…!”
Zephyr.
(Zephyr)
Aku menahan napas di kamar Ibuku. Karyawanku menatapku, menunggu perintah. Apa yang harus kulakukan sekarang? dari tadi Serafim, terus menggedor pintu dari dalam kamarnya, hatiku hampir meledak.
Asisten rumah tanggaku juga mungkin panik dengan kejadian malam itu. apalagi saat Istriku terus berteriak.
"Pak Zephyr apa sebaiknya bukakan saja pintunya, kasihan Istri Bapak."
“Ya sudah Buka saja,” ucapku dengan terpaksa.
Beberapa menit kemudian ambulan dan polisi pun datang.
Zephyr di bawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan sementara jenazah Mami Inez di bawa kerumah sakit untuk di otopsi.
“Bawa dia pak, dia yang sudah membunuh ibu nya sendiri,” teriakku.
Zephyr hanya melihat ke arahnya dan ngasih kode ke ARTnya.
Aku ditenangkan oleh mereka, dan aku terus menangis.
Di kantor polisi
Sementara itu di kantor polisi. Aku dicecar banyak pertanyaan. Aku pun menjelaskan secara rinci.
Ruang interogasi itu dingin dan berbau logam. Dindingnya polos, hanya satu lampu menggantung di atas meja.
Aku duduk di kursi besi, tanganku saling menggenggam di atas meja. Kemeja putihku sudah berganti, tapi sisa kelelahan dan darah yang menempel di bawah kuku masih terlihat samar.
Penyidik:
“Saudara Zephyr, Anda yang pertama kali menemukan jenazah Ibu Inez, benar?”
Aku mencoba bersikap tenang.
“Ya.”
Penyidik:
“Pukul berapa tepatnya?”
Aku:
“Sekitar dua lewat sepuluh.”
Penyidik:
“Bagaimana posisi korban saat itu?”
Aku:
“Tergeletak di lantai. Dan aku melihat darah disisi kanan Jenazah ibuku.”
Penyidik menatap catatannya, lalu mengangkat pandangan.
“Pakaian Anda terdapat noda darah. Bisa jelaskan kenapa?”
Aku terdiam sesaat.
“Saya mencoba memeluknya. Saya pikir beliau masih bernapas.”
Penyidik:
“Lantas bagaimana ada pistol di lantai?”
Aku:
“Itu memang punya, saya sempat melihat ada sekelebat bayangan, dan mencoba mengejarnya tapi, dia lolos begitu saja.”
Penyidik:
“CCTV rumah Anda mati sejak tengah malam. Anda tahu sebabnya?”
Aku:
“Tidak. Semua sistem diatur otomatis oleh teknisi kepala keamanan rumah saya.”
Suara jam di dinding berdetak pelan.
Penyidik bersandar, menatapnya lebih lama.
Penyidik:
“Hubungan Anda dengan almarhumah... tidak terlalu baik, ya?”
Aku menegakkan tubuhku, lalu menatap balik tanpa ekspresi.
Aku:
“Dia ibu saya. Itu sudah cukup.”
Ruangan kembali hening.
Penyidik menulis sesuatu di berkasnya.
“Saksi lain, istri Anda, Nyonya Serafim, menyebut Anda menariknya menjauh dari tubuh korban.”
Aku:
“Ya. Karena saya tidak ingin dia melihat.”
Penyidik:
“Melihat apa tuan Zephyr?”
Aku menjawabnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Wajah ibuku... yang terakhir.”
Hening lagi. Hanya suara napas tertahan di ruang yang terasa terlalu sempit.
Di balik kaca satu arah, dua polisi lain mengamati. Salah satunya berbisik pelan,
“Tenang sekali dia… terlalu tenang untuk seorang anak yang baru kehilangan ibunya.”
Aku hanya menatap meja. Aku bahkan tidak tidak bisa menangis, hanya ada bayangan samar lampu yang bergoyang pelan di permukaan meja baja.
“Untuk sementara Saudara Zephyr belum kami tetapkan sebagai tersangka. Anda diperbolehkan pulang, tapi kami harap tidak meninggalkan kota sampai hasil pemeriksaan keluar.”
Aku pun kembali ke rumah, ibuku sudah di masukkan ke dalam peti, Fim ketakutan melihatku.
Aku mencoba menenangkannya.
“Fim, bukan aku pelakunya.”
“Tapi semua bukti mengarah padamu, aku melihat ada pistol dan darah di bajumu.”
Aku mencengkram tangan Serafim.
“Besok kau datang ke kantor polisi tanyakan pada mereka apakah ada peluru yang menembus tubuh mertuamu!”
Akhirnya dia terdiam meski dengan tatapan curiga.
(Serafim)
Ya aku memang ketakutan melihat Zephyr, aku tetap tidak bisa mempercayainya, setelah ia melepaskan tanganku dengan kasar.
Kami melakukan pemakanan Mami Inez diiringi isak dan tangis, aku berharap dia tenang disana.
Hubungan kami setelah itu semakin memburuk, lebih buruk daripada biasanya, ia semakin terang-terangan bicara manis dengan selingkuhannya di telepon, bahkan mereka melakukan video call, ia memakai pakaian minim menggoda suamiku hingga membuatku jijik, apalagi suaranya, mereka sudah keterlaluan, terutama suamiku.
Suatu malam ia pulang dengan dalam keadaan mabuk dia mencengkram dan menggoyangkan tubuhku.
“Fim apa kau tidak percaya padaku aku tidak seburuk yang kau pikirkan, apa kau tidak bisa melihat kebenarannya, hah?”
Lalu di berusaha mendekatiku.
“Lepaskan aku, Phyr, aku kesakitan.”
Ia memandangku.
“Hah, kau sangat seksi dengan baju tidurmu apa kau sengaja menggodaku, apa kau mau tidur denganku?”
“Kau mabuk Zephyr, berhenti.”
Ia berusaha menyentuhku, tapi aku terus berusaha melepaskan diri, ia hampir melepaskan pakaianku lalu aku menjedugkan kepalanya dengan kepalaku dan menendang area dekat selangkangannya. Dia pun kesakitan dan melepaskanku akun langsung pergi ke kamar lain dan mengunci kamar.
Ya begitulah hari hari pernikahan kami setelah kepergian Ibunya. Sampai pada akhirnya dan setahun kemudian setelah kepergiannya aku memberanikan diri untuk meminta cerai padanya.
Kembali ke masa kini.
Aku menikmati segarnya udara pantai di Miralune. wangi parfum pria itu mirip dengan Aroma parfum Zephyr, tapi itu bukan dia, aku pun kembali ke hotel.
Aku kaget setengah mati, setiba di sana aku melihat Zephyr sedang berdiri di depan kamarku.
Oiya, aku baru sadar di pasti memasang melihat keberadaanku dari GPS, saking marahnya aku sampai melupakan kalau dia akan memantauku.
Ia menatapku.
“Hai Fim, gimana jalan-jalannya sudah puas kan, ayo pulang, aku sangat merindukanmu!”
Aku hanya mendengus, lalu menghampirinya.
“Pergilah, jangan menggangguku, kalau kau sudah menandatangani surat cerai berikan padaku dan jangan temui aku lagi.”
Zephyr menyilangkan tangannya sambil mendekat ke arahku, aku langsung mundur, apalagi aku berpakaian tipis.
Ia memojokkanku ke dinding. Lalu menyentuh lenganku.
Aku langsung melepaskan tangannya dan mendorongnya.
"Jangan sentuh aku, aku tidak kesepian seperti gundikmu, kalau menginginkan hal itu temui dia, jangan kesini, aku tidak pernah tertarik padamu."
Dia menatapku seolah akan menerkamku.
“Aku akan menceraikanmu. tapi setelah kau melahirkan anak-anak ku.”
Aku tertawa kecil.
“Berhentilah berbicara omong kosong! aku bukan pabrik pembuat bayi, bukankah kau sudah dapat segalanya dari simpananmu, suruh dia mengandung anak-anakmu.”
“Tapi aku mau kau yang melahirkan bayiku.”
Aku menutup kupingku.
“Aahh sudahlah, pergi dari sini dan enyahlah dari hidupku, aku tak pernah membutuhkanmu.
Aku langsung masuk dan mengunci kamar. dia sempat memaksa menyuruhku membuka pintu, tapi aku mengabaikannya.
Keesokan harinya di menungguku lagi di depan kamar hotelku, dadaku semakin sesak, aku bahkan tidak bisa bebas di tempat liburanku.
“Selamat pagi istriku yang cantik, ayo kita sarapan!”
Aku hanya menatap tak percaya aku sudah mengusirnya berkali-kali tapi dia masih keras kepala.
“Bagaimana, kau mau punya anak denganku?”
Bersambung...