Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Pribadi yang Jauh Berbeda.
Malam itu langkah kaki Jingga pelan saat menapaki lantai marmer mengkilap rumah keluarga Pradipta. Sepatu kerjanya berdetak kecil, suara itu bergema di ruang masuk yang luas. Rumah itu dingin dan mewah, lampu gantung besar di langit-langit memantulkan cahaya pucat ke dinding putih yang polos, seakan tak ada kehidupan.
Begitu pintu besar ditutup pelan oleh seorang satpam, beberapa asisten rumah tangga yang tadi menunggu langsung berdiri rapi. Mereka menunduk serempak, memberi salam penuh hormat.
Jingga tertegun sebentar, lalu mengangkat kedua tangannya seperti orang menyerah. “Eh, jangan gitu, jangan gitu. Aku jadi kayak pejabat yang baru pulang dinas luar negeri, lho,” celetuknya sambil tergelak kecil.
Para asisten langsung saling pandang, panik. Salah seorang buru-buru berkata, “Selamat malam, Bu…”
“Stop!” potong Jingga cepat, tangannya teracung seperti wasit sepak bola. “Jangan panggil aku ‘Bu’. Aku masih belia, masih seger, masih pantas dipanggil ‘Mbak Jingga’. Kalau nggak mau, ya minimal panggil aku ‘Mbak mie Instan’. Karena kemungkinan besar aku akan sering-sering pinjam dapur kalian buat masak mie.”
Mereka terdiam, jelas bingung, mana berani mereka memanggil istri tuan mudanya sembaranganan begitu, tapi Jingga sudah melangkah ceria mendekat. Ia menggenggam tangan salah seorang asisten perempuan, lalu bergantian menyalami yang lain satu per satu. “Aku mohon kerja samanya ya. Kalau aku bikin dapur agak berantakan, jangan dimarahin. Aku janji aku bisa cuci panci sendiri kok.”
Salah seorang asisten, yang lebih tua, nyaris tersedak menahan tawa. “Aduh, Mbak… mana mungkin kami biarkan. Ini rumah besar, semua ada aturannya. Kalau Nyonya tahu Mbak masak sendiri…”
Jingga langsung menempelkan telunjuk ke bibirnya, “Ssst. Rahasia dapur kita, ya. Kalau ketahuan Nyonya, bilang aja mie-nya kiriman dari tetangga.”
Tawa kecil pun pecah, untuk pertama kalinya dalam waktu lama. Suara itu hangat, memantul di dinding dingin rumah besar itu.
“Serius deh,” lanjut Jingga sambil menatap mereka penuh semangat. “Aku ini nggak bisa hidup kalau lingkungannya kaku. Jadi kalau aku agak ribut, agak cerewet, anggap aja vitamin rumah. Setuju?”
Para asisten akhirnya mengangguk, wajah mereka tersenyum lega. Seakan ada beban yang terlepas.
Namun di lantai dua, dari balkon dengan pagar besi hitam yang kokoh, Savero berdiri diam. Tubuhnya tegak, tangannya terlipat di dada. Matanya yang tajam menatap ke bawah, ke arah perempuan yang sekarang membuat rumahnya terasa berbeda. Rahangnya mengeras, bibirnya menipis.
Baginya, suasana ramai itu bukan vitamin, melainkan racun. Rumah ini sudah cukup tenang sebelumnya, rapi, terkendali. Kini, hanya dalam dua hari, Jingga sudah merusak pola itu.
Dari bawah, salah seorang asisten sempat menoleh ke arah atas. Ia buru-buru menunduk lagi begitu sadar tuan muda memperhatikan. Tapi Jingga, dengan polos, ikut melirik. Begitu tatapannya bertemu sekilas dengan mata dingin Savero, ia malah nyengir, melambai kecil.
“Selamat malam, Pak Bos!” serunya ceria, seolah menyapa rekan kantor.
Para asisten langsung membeku, ngeri mendengar Jingga bicara begitu santai. Tapi Jingga cuek saja, malah melanjutkan, “Nggak usah melotot gitu, nanti otot wajahnya kram, lho!”
Tak ada jawaban. Savero hanya menatap sebentar, lalu berbalik masuk ke ruang kerjanya tanpa sepatah kata pun.
“Duh… cuek banget ya, Tuan Muda kalian?” gumam Jingga sambil menggeleng, tapi senyum tak lepas dari wajahnya. “Kayak es batu ditaruh di freezer. Beku dobel!”
Asisten rumah tangga buru-buru menunduk lagi, tapi kali ini tak bisa menyembunyikan senyum kecil mereka. Rumah yang biasanya dingin itu malam itu terasa sedikit lebih hidup.
Dan di lantai atas, Savero berdiri di balik jendela ruang kerjanya, menatap kosong keluar. Suara tawa Jingga masih terngiang, menyusup ke dalam ruang yang biasanya hening. Menyebalkan, pikirnya. Menyebalkan sekali.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Langkah kaki Jingga masih terasa berat ketika ia mendorong pintu kamarnya. Rambutnya agak berantakan, rahangnya pegal karena tadi ia sempat tertawa-tawa di dapur bersama para asisten rumah tangga, tawa yang seolah menjadi warna pertama di rumah itu setelah sekian lama.
Ia mengira kamar bos sekaligus suami rahasianya itu akan sepi, hening, seperti biasa. Tapi ternyata, ada sosok yang berdiri kaku dengan bersedekap di depan meja kerja.
Savero.
Bersandar dengan dagu terangkat sedikit, tatapannya tajam, nyaris seperti pisau yang baru diasah. Sorot matanya tidak sekadar menilai, tapi juga menghakimi.
Jingga terlonjak kecil.
“Ya ampun, Bapak! Mau bikin orang mati muda, ya? Berdiri diam di pojokan gitu. Saya kira tadi setan gentayangan, sumpah.” Jemarinya menepuk-nepuk dadanya sendiri, wajahnya meringis tapi bibirnya justru tertawa. “Tolong ya, kalau mau jadi jumpscare, lain kali bawa lonceng deh, biar ada bunyi ting-ting-ting dulu.”
Savero tidak bergeming. Suaranya datar, nyaris tanpa intonasi.
“Apa-apaan itu tadi?”
Jingga memiringkan kepala. “Apanya yang apa-apaan? Duh, belibet ah. Apanya… yang… apa… apaan?” Ia mengulang dengan nada dibuat-buat, sambil menggerakkan tangannya seolah mencoba merangkai puzzle. Lalu ia tertawa sendiri. “Astaga, Bapak tuh serius banget mukanya, bikin saya merasa kayak lagi sidang skripsi.”
Namun Savero tidak tertarik pada gurauan itu. Bibirnya terangkat sinis.
“Saya tidak yakin kamu merasa jadi korban perkosaan. Kamu terlihat bahagia, baik-baik saja. Apa jangan-jangan kamu menikmatinya? Menganggap ini kesempatan untuk naik kelas?”
Kata-kata itu menampar, tapi Jingga memilih tidak terlihat goyah. Ia menjatuhkan tasnya sembarangan ke sofa, lalu ikut mendarat di sana dengan gaya seenaknya. Ia meraih bantal kecil, memeluknya, lalu menatap Savero.
“Emangnya semua orang harus kayak Bapak?” tanyanya, nada suaranya jenaka tapi menyelipkan sindiran. “Sekaku kanebo kering? Dramatis kayak sinetron tengah malam? Judes kayak tante-tante yang ngantri arisan? Masalah itu harus dihadapi, bukan ditangisi lebay.”
Savero mengerutkan kening, rahangnya menegang.
“Kamu harus tahu batasanmu, Jingga. Status suami itu hanya di atas kertas. Selebihnya saya tetap atasanmu sesuai perjanjian. Jadi jaga sopan santunmu.”
Jingga pura-pura tercengang, matanya melebar, lalu menepuk-nepuk dadanya sendiri dramatis. “Ohhh gitu ya? Kalau Bapak tahu batasan, kenapa Bapak memperkosa anak buah Bapak sendiri? Apa itu ada di job desk saya? Coba, mana kontraknya? Saya pengen baca ulang tuh.” Ia menunduk, mengetuk-ngetuk sofa dengan ujung jarinya, lalu mengetuk keningnya sendiri tiga kali. “Mit amit… mit amit… mit amit! Sampai pohon toge berbuah cabe pun, saya juga sebenarnya ogah nikah sama Bapak.”
Savero mendengus keras, nadanya menajam. “Kenapa? Gara-gara pegawai itu… siapa namanya? Mahes… Mahesa?”
Sekilas, mata Jingga berkilat. Lalu ia bertepuk tangan pelan, pura-pura memberi standing ovation.
“Wooo… akhirnya Bapak ingat juga nama anak buah sendiri! Prestasi! Hebat, hebat…” ujarnya dengan wajah ceria yang dibuat-buat. “Ya iya jelas karena Mahesa lah. Dia itu baik, ramah, hangat, sopan, pintar… dan… “
Ia belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Savero sudah melengos, langkah kakinya tegas menuju pintu. Bayangan tubuhnya hilang begitu saja.
Jingga menghela napas panjang, lalu mendengus kecil. Terngiang ucapan Mahesa siang tadi… tentang fobia Savero pada hal-hal kotor. Senyum usil merayap di wajahnya. Ia meraih kaos kaki kotor yang barusan ia lepas, lalu dengan gerakan seenaknya melemparnya ke atas ranjang Savero.
“Selamat malam, Tuan Suami yang terhormat,” gumamnya geli, sebelum terbirit-birit masuk ke kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, kamar sudah hening. Jingga keluar dengan rambut basah, ganti piyama longgar, lalu meringkuk di sofa dengan selimut tipis. Ia menutup mata sambil menahan tawa.
Savero baru kembali. Wajahnya masih masam dan terlihat lelah. Ia melepaskan dasi, kemeja, lalu merebahkan diri di ranjang. Baru saja tangannya menyentuh bantal, ia terlonjak seperti disengat listrik.
Sentuhan itu bukan kain lembut, melainkan… kaos kaki kotor.
“JINGGA!!” pekiknya.
Ia tidak perlu bukti. Sudah jelas siapa pelakunya. Pria itu refleks berdiri, wajahnya pucat ketakutan, seolah barusan menyentuh racun. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke kamar mandi lagi. Suara air deras langsung terdengar.
Dari sofa, Jingga menyembunyikan tawanya di balik selimut. Bahunya terguncang menahan geli.
“Kasihan juga sih, tapi ya… siapa suruh nyebelin! Jadi rasain!” bisiknya sendiri.
Tak lama, terdengar suara langkah tergesa. Savero keluar lagi, kali ini benar-benar panik. “Arman!” panggilnya, suaranya tegas. Tak lama, seorang pelayan masuk, bingung.
“Segera ganti semua seprei ini. Sekarang juga.”
Pelayan itu hanya bisa mengangguk cepat, meski heran kenapa seprei baru-baru ini sudah harus diganti.
Savero berdiri di samping pintu, wajah dingin tapi jelas tidak tenang. Jingga menutup mulut rapat-rapat, hampir meledak tertawa melihat drama itu. Ia tahu betul, rumah ini akan lebih ramai dengan dirinya di dalamnya.
(Bersambung)…
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya