 
                            Jhonatan Wijaya, seorang Kapten TNI yang dikenal kaku dan dingin, menyimpan rahasia tentang cinta pandangan pertamanya. Sembilan tahun lalu, ia bertemu dengan seorang gadis di sebuah acara Akmil dan langsung jatuh cinta, namun kehilangan jejaknya. Pencariannya selama bertahun-tahun sia-sia, dan ia pasrah.
Hidup Jhonatan kembali bergejolak saat ia bertemu kembali dengan gadis itu di rumah sahabatnya, Alvino Alfarisi, di sebuah batalyon di Jakarta. Gadis itu adalah Aresa, sepupu Alvino, seorang ahli telemetri dengan bayaran puluhan miliar yang kini ingin membangun bisnis kafe. Aresa, yang sama sekali tidak mengenal Jhonatan, terkejut dengan tatapan intensnya dan berusaha menghindar.
Jhonatan, yang telah menemukan takdirnya, tidak menyerah. Ia menggunakan dalih bisnis kafe untuk mendekati Aresa. Ketegangan memuncak saat mereka bertemu kembali. Aresa yang profesional dan dingin, berhadapan dengan Jhonatan yang tenang namun penuh dominasi. Dan kisah mereka berlanjut secara tak terduga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Malam itu, di rumah Adnan, suasana terasa jauh lebih damai. Strategi sandiwara romantis Aresa dan Jhonatan terbukti sangat efektif. Berita tentang “Aresa si wanita penggoda” seolah lenyap, terkubur di bawah gelombang baru berita positif yang memuja Aresa sebagai “Perempuan jenius” dan “Satu-satunya wanita Indonesia yang bekerja di ajang balap internasional.”
Jhonatan pun semakin gencar memainkan perannya, membanjiri media sosial dengan foto-foto Aresa yang romantis dan senyum yang nyaris terlihat tulus.
Saat Aresa dan Jhonatan turun dari tangga menuju ruang makan, mereka tampak seperti pasangan yang sedang dimabuk asmara.
“Kapten,” bisik Aresa, suaranya penuh rasa ingin tahu yang menggelitik. “Kalau pacar saya lihat postingan ini, kira-kira marah nggak, ya?”
Jhonatan menoleh, ekspresinya sedikit kaku. Topik tentang pacar Aresa yang hilang kabar menjadi ranah yang canggung.
“Sepertinya dia tidak akan marah,” jawab Jhonatan, berusaha tetap santai. “Lagi pula, dia nggak ada kabar, kan? Ini murni sandiwara. Dan kalau dia marah... ya, itu urusan dia sama kamu.”
“Tapi dia bukan tipe pencemburu,” gumam Aresa, lebih pada dirinya sendiri. “Dia akan tahu ini palsu. Tapi tetap aja… rasanya aneh.”
“Justru bagus kalau dia lihat,” potong Jhonatan, kali ini dengan senyum percaya diri. “Artinya dia tahu kamu nggak sendirian di sini. Dan kalau dia mau balik, dia harus berusaha lebih keras.”
Aresa terkekeh, senang mendengar nada protektif yang terdengar seperti pacar sungguhan.
****
Di meja makan, seluruh keluarga sudah berkumpul. Adnan, Hera, Alif, Alvino, dan istri-istri mereka duduk bersama, menatap Aresa dan Jhonatan dengan tatapan penuh arti.
“Wah, Jhonatan. Kamu kelihatan jauh lebih segar hari ini,” komentar Hera sambil menyendok nasi.
“Tentu saja, Bu,” jawab Jhonatan, menggenggam tangan Aresa sejenak. “Ditemani Aresa seharian, semua masalah jadi terasa ringan.”
Aresa merasakan pipinya memanas. Akting Jhonatan benar-benar meyakinkan. Ia membalasnya dengan senyum malu-malu, sementara meja makan itu dipenuhi canda dan tawa. Suasana yang sama sekali berbeda dari ketegangan malam sebelumnya.
Keluarga itu tampak menerima Jhonatan sepenuhnya—dan, yang lebih penting, mereka mendukung sandiwara ini demi menjaga nama baik Aresa.
****
Selesai makan malam, Aresa dan Jhonatan duduk di balkon lantai dua. Udara malam yang sejuk membawa rasa tenang. Mereka membaca komentar netizen yang benar-benar percaya pada kisah cinta dadakan mereka.
“Lihat ini, Kapten,” ujar Aresa sambil memperlihatkan ponselnya. “‘Mereka pasti soulmate yang dipisahkan oleh rencana perjodohan jahat.’ Padahal soulmate apaan, baru kenal seminggu,” katanya geli.
Jhonatan tersenyum, mencondongkan tubuh. “Berarti akting kita bagus, Res. Sampai aku sendiri hampir percaya.”
Ia lalu menatap Aresa. “Masa udah posting romantis gini, saya belum punya nomor kamu.”
Aresa spontan mencubit pinggangnya. “Apaan sih, Kaptennn!”
Jhonatan tertawa, menahan sakit. “Lho, bener kan? Gimana saya mau ajak safe harbor saya berjuang kalau nggak bisa dihubungi?”
Aresa menatapnya dengan senyum nakal. “Mau nomor saya? Hemm…”
“Jelas, dong.”
“Oke, tapi beliin martabak dulu,” balas Aresa cepat.
Jhonatan tertawa lepas—tawa yang tulus dan hangat, berbeda dari sosok kaku yang selama ini ia tunjukkan. Aresa diam-diam menikmati momen itu.
“Martabak? Permintaan paling gampang,” katanya sambil bangkit. “Ayo, ambil jaket kamu. Kita cari martabak sekalian keliling kota.”
Aresa tertawa kecil. “Haha, siap.”
****
Setelah bersiap, mereka turun ke ruang keluarga.
“Pak, Bu,” ujar Jhonatan sambil berdehem sopan. “Saya mau izin ajak Aresa keluar sebentar. Mau beli martabak, sekalian keliling kota.”
Adnan menatap mereka dengan senyum tipis. “Boleh. Tapi jangan sampai larut malam. Jaga putri saya baik-baik, Jhonatan.”
“Siap, Pak. Dijamin aman,” jawab Jhonatan mantap.
Begitu pintu utama tertutup, ruang keluarga langsung pecah dalam tawa dan godaan kecil.
Hera menepuk dada, terharu. “Ya Allah… akhirnya anakku ada yang ngajak keluar malam-malam juga!”
Sarah ikut terkikik. “Kapten Jhonatan yang kaku itu, kelihatannya benar-benar jatuh cinta!”
Alvino menimpali dengan semangat. “Bagus ini! Opini publik makin positif. Kita harus dukung sampai habis!”
Sementara Adnan hanya tersenyum tenang sambil menyesap teh hangatnya. Ia tahu, sandiwara ini telah berhasil mengembalikan keceriaan Aresa—dan, mungkin tanpa disadari, juga membuka sisi baru dalam diri Jhonatan.
Dan kini, komitmen Jhonatan sedang diuji, bukan oleh ancaman, melainkan oleh perasaannya sendiri.
****
Di garasi, Jhonatan tidak memilih motor sport milik Arian, melainkan motor matic tua milik Aresa yang sudah jarang dipakai sejak ia kuliah di luar negeri. Motor itu tampak sederhana—kontras dengan penampilan gagah Jhonatan sebagai seorang perwira.
“Yakin, Kapten? Nggak malu naik motor ini?” tanya Aresa, geli.
“Motor ini yang nemenin kamu sekolah, kan?” jawab Jhonatan dengan senyum kecil. “Lebih bersejarah daripada motor sport itu.”
“Pegangan yang benar, Res,” lanjutnya sambil mengenakan helm. “Saya nggak mau safe harbor saya jatuh.”
Aresa tertawa pelan, lalu melingkarkan tangannya di pinggang Jhonatan. Kehangatan tubuh pria itu menembus dinginnya malam Banjarnegara. Ia menghirup aroma samar dari jaket kulit Jhonatan—maskulin dan entah kenapa… menenangkan.
Motor matic itu melaju menembus jalanan kota yang sepi, menciptakan ruang kecil yang hanya milik mereka berdua. Tak ada dialog panjang, hanya suara mesin, angin, dan detak jantung yang saling menyesuaikan.
Di balik helm, Aresa tersenyum. Ada sesuatu yang berubah malam itu—sesuatu yang tidak lagi terasa seperti pura-pura.
 
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                    