Siapa sangka, kematian konyol karena mesin penjual minuman bisa menjadi awal petualangan terbesar dalam hidup… atau tepatnya, setelah hidup.
Ketika bangun, ia bukan lagi manusia, melainkan seekor bebek rawa level 1 yang lemah, basah, dan jadi incaran santapan semua makhluk di sekitarnya.
Namun, dunia ini bukan dunia biasa. Ada sistem, evolusi, guild, perang antarspesies, bahkan campur tangan Dewa RNG yang senang mengacak nasib semua makhluk.
Dengan kecerdikan, sedikit keberuntungan, dan banyak teriakan kwek yang tidak selalu berguna, ia membentuk Guild Featherstorm dan mulai menantang hukum alam, serta hukum para dewa.
Dari seekor bebek yang hanya ingin bertahan hidup, ia perlahan menjadi penguasa rawa, memimpin pasukan unggas, dan… mungkin saja, ancaman terbesar bagi seluruh dunia.
Karena kadang, yang paling berbahaya bukan naga, bukan iblis… tapi bebek yang punya dendam..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yuyuka manawari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4: Petualangan Bebek Bodoh Dimulai
Rawa hari ini sedikit ramai oleh suara desiran angina, kedinginannya menusuk sebagian tubuhku yang tidak tertutupi bulu.
Cara mendapatkan EXP untuk menaikkan level adalah menyelesaikan misi harian, atau quest darurat. Ketika aku bertanya kepada sistem:
“Hei sistem, cara naik level dengan cepat bagaimana?”
[Tidak ada informasi tersebut]
“Aku kan harus mencoba segala hal untuk menjadi manusia lagi, apakah kau tidak punya solusi untuk bebek mungil ini?”
[Tidak]
“Kalau begitu, berikan petunjuk. Jangan hanya memberiku misi simulator menjadi bebek. Aku sudah sadar diri dengan keadaan ini,” ucapku, sedikit mendesah.
[Tidak ada informasi tersebut]
Aku mulai kesal. “Saran, mungkin?”
[Tidak ada]
Kepalaku sedikit menunduk. “Apa kau mau aku mati begitu saja nanti?”
Beberapa detik kemudian, suara sistem terdengar lagi
[Tips menjadi bebek pemula]
Aku mendecak. “Malah kasih hal tidak berguna seperti itu. Harusnya kasih tips naik level.”
Hening tidak ada jawaban, dan aku menghela nafas.
“Jika ini mengikuti aturan permainan, maka satu-satunya cara mendapatkan EXP adalah dengan mengalahkan makhluk lain.”
Masalahnya, rawa ini tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Di sini, ukuran tubuh makhluk tidak selalu sebanding dengan tingkat bahayanya. Seekor katak dengan tubuh sebesar sandal manusia mungkin saja memiliki kekuatan atau kemampuan bertarung yang jauh di atas perkiraanku. Aku mengibaskan sedikit lumpur dari kaki, memandang sekitar, lalu memutuskan: aku harus memulai dari target yang aman.
Mataku tertuju pada segerombolan semut rawa. Aku menemukannya di dekat akar pohon besar yang sebagian terendam air keruh. Rawa ini dipenuhi bau lembap bercampur amis, dan semut-semut itu berjalan berbaris rapi di antara akar yang licin. Ukuran mereka memang membuatku sedikit waspada, kira-kira sebesar setengah telapak tangan manusia—namun aku menilai mereka tidak akan sulit untuk dihadapi.
Aku menurunkan tubuh, bergerak perlahan. Kaki-kakiku menjejak lumpur dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara percikan. Salah satu semut sedang berjalan sambil membawa potongan daun yang hampir menutupi seluruh kepalanya.
“Kwek… ini seharusnya bisa jadi sumber XP yang mudah,” bisikku, suara nyaris tenggelam oleh riuh serangga di rawa.
Begitu jaraknya cukup dekat, aku mengarahkan paruh dan menyambar.
Krak!
Suara itu terdengar jelas. Lapisan luar tubuh semut terasa keras di paruhku, mirip memecahkan kulit kacang kering.
Rasa asam yang tajam langsung menyebar di lidah, membuatku sedikit meringis, namun aku tetap mengunyahnya.
Aku mengulanginya beberapa kali, sampai berhasil memakan lima ekor semut rawa. Potongan tubuh mereka yang licin dan keras membuat rahangku agak pegal, dan bau anyir samar menempel di lidah. Tepat setelah itu, layar biru muncul di hadapanku.
[+0.1 XP]
[+0.1 XP]
Aku menatap angka itu lama, seolah berharap akan berubah. Napasku keluar pelan. “Setengah hari cuma dapat… 1 XP?”
“Apa ini gara-gara level semutnya sangat rendah, sistem?”
[Benar]
“Tumben menjawab” komentarku sambil memiringkan kepala.
Senyap lagi.
“Malah diam lagi.” Ucapku sambil mengeluarkan nafas panjang “Apakah dirimu tidak bisa membantuku? Aku sedikit pusing dengan hal peningkatan XP”
[Tidak ada Informasi tersebut]
Kepalaku sedikit mendongak, melihat ke arah pepohonan rawa. “Kalau terus-terusan begini, aku bisa mati nanti oleh predator,” ujarku sambil mencakar-cakar tanah lumpur dengan kaki, mencoba mengalihkan rasa kesal.
…
…
[Tips Menjadi Bebek Pemu—
“BERISIKKK!”
Salah satu ide yang tiba-tiba muncul adalah mencoba melatih fisik secara langsung. Jika tubuhku bisa menjadi lebih kuat, mungkin saja sistem akan menganggapnya sebagai bentuk latihan dan memberiku XP tambahan untuk kekuatan fisik.
Tidak ada salahnya mencoba.
Aku mengedarkan pandangan, mencari sasaran.
Pilihanku jatuh pada sebuah batang pohon kecil di pinggir rawa. Batangnya ramping namun terlihat cukup kokoh, dengan kulit kayu berwarna cokelat gelap yang sedikit lembap.
Aku mengambil ancang-ancang. Kedua kakiku mencengkeram tanah basah yang terasa licin, lalu aku menarik napas dalam-dalam.
“Baik… satu… dua… tiga!”
Tubuhku meluncur ke depan. Angin sore yang lembap menerpa wajahku sebelum paruhku menghantam batang pohon itu.
Bugh!
Aku hanya mendapat benjol
[Menabrakan diri tidak membuat anda meningkatkan INT]
AKU MULAI BENCI SISTEM INI
Menjelang sore, cahaya matahari mulai redup di balik pepohonan. Rawa dipenuhi suara serangga yang bersahutan, sementara aroma lumpur yang lembap semakin pekat.
Semangatku perlahan menurun.
“Bagaimana ini…”
Aku sempat berpikir untuk berhenti mencoba untuk hari ini… sampai mataku menangkap gerakan samar di tepi rawa.
Seekor ular rumput muncul dari balik rumpun ilalang.
Tubuhnya berwarna hijau kusam, panjangnya sedikit lebih besar daripada tubuhku, dan permukaannya tampak licin karena lapisan lendir tipis.
Ular itu melata di atas lumpur dengan gerakan lambat, lidahnya menjulur keluar masuk seolah mencicipi udara.
Dari cara bergeraknya, ular itu tampak tidak menyadari keberadaanku.
“Ini… sepertinya target yang tepat,” bisikku, menundukkan tubuh agar tetap tersembunyi di balik akar pohon yang menonjol.
Aku mengingat skill baruku, Sambaran Paruh.
Jarakku kini tinggal beberapa langkah dari ular itu.
Aku menunggu, memerhatikan setiap gerakannya, menunggu saat ia masuk ke jarak serang yang ideal.
Begitu posisinya pas, aku melesat secepat mungkin, mengarahkan paruhku ke bagian lehernya.
Ular itu bereaksi spontan. Tubuhnya menggeliat kuat, sisiknya menggesek lumpur, dan dalam sekejap ia mencoba melilit tubuhku.
“Sial!”
Rasa panik memacu gerakanku, aku langsung mengaktifkan Duck Dash, melesat mundur dengan cepat dan nyaris terhindar dari lilitannya.
“Hampir saja!”
Pertarungan singkat tapi tegang itu membuat napasku sedikit memburu. Saat melihat celah di antara gerakan ular, aku maju kembali. Kali ini aku mengaktifkan Teriakan Resah.
Suara teriakanku memecah kesunyian rawa. Ular itu bereaksi keras, tubuhnya bergetar dan gerakannya menjadi kacau. Ia melata ke arah yang salah, lalu…
Prahk!
Kepalanya terbentur batu besar di pinggir genangan air. Tubuhnya terkulai lemas, lalu berhenti bergerak.
Layar biru langsung muncul.
[+5 XP]
“Kwek… akhirnya!” seruku, nyaris terdengar lega sekaligus bersemangat. Aku memandangi layar biru itu sejenak, mencoba memastikan bahwa aku tidak salah lihat.
“Apa kau lihat itu, sistem bodoh?” tanyaku sambil menggelengkan kepala kecilku dan mengibaskan telinga bebek ini, seolah ingin memamerkan pencapaian. “Tidak menjawab pun tidak masalah. Sekarang aku sudah tahu cara naik level dengan cepat di dunia ini, mengalahkan makhluk yang setara atau sedikit lebih kuat dariku. Semuanya sesuai rencana.”
[Selamat]
“Anjir nyebelin banget ini sistem.”
[Apakah anda ingin masukkan ke dalam catatan agar bisa di ingatkan]
“Apa kamu mau aku hantam pakai batu besar itu?” Ucapku kesal. “Berisik sekali. Hal kayak begini ngapain dimasukin ke catatan.”
Sore masih cukup terang. Aku berjalan menjauh dari tempat pertarungan melawan ular tadi.
Suara lumpur berdecit di bawah kakiku setiap kali aku melangkah. Rawa ini, sejauh mata memandang, memang tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia.
Hanya pohon-pohon basah, suara serangga, dan aroma lumpur bercampur air yang menggenang.
Namun, setelah berjalan lebih jauh, pandanganku menangkap sesuatu yang berbeda di antara hamparan rawa.
Sebuah lahan singkong, tertata dalam barisan panjang, dan di ujungnya berdiri sebuah gudang tua.
Cat pada dinding gudang sudah terkelupas, atapnya tampak berkarat, dan beberapa bagian papan kayunya miring.
Suara sistem kembali terdengar.
[Dungeon sudah terlihat: Apakah anda ingin mengambil misi menaklukan dungeon?]
“Dungeon? Oh… ini pasti jejak dungeon yang kemarin aku temukan. Jadi di sini lokasinya.”
[Gudang Tua Milik Petani Tegar]
[Level rekomendasi: 2-5]
“Petani Tegar? Siapa itu?” gumamku. “Tapi kalau lihat dari level rekomendasinya… sepertinya aku bisa masuk.”
[Apakah anda ingin menerima misi menalukan dungeon?]
“Ya, saya terima!”