Kimi Azahra, memiliki keluarga yang lengkap. Orang tua yang sehat, kakak yang baik, juga adek yang cerdas. Ia miliki semuanya.
Namun, nyatanya itu semua belum cukup untuk Kimi. Ada dua hal yang belum bisa ia miliki. Perhatian dan kasih sayang.
Bersamaan dengan itu, Kimi bertemu dengan Ehsan. Lelaki religius yang membawa perubahan dalam diri Kimi.
Sehingga Kimi merasa begitu percaya akan cinta Tuhannya. Tetapi, semuanya tidak pernah sempurna. Ehsan justru mencintai perempuan lain. Padahal Kimi selalu menyebut nama lelaki itu disetiap doanya, berharap agar Tuhan mau menyatukan ia dan lelaki yang dicintainya.
Belum cukup dengan itu, ternyata Kimi harus menjalankan pernikahan dengan lelaki yang jauh dari ingin nya. Menjatuhkan Kimi sedemikian hebat, mengubur semua rasa harap yang sebelumnya begitu dasyat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EmbunPagi25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05. Tatapan Yang Berbeda
Ketika semua orang terlelap dalam tidur malam, Kimi justru terbangun dengan tenggorokan yang terasa kering, membuatnya berjalan ke arah dapur untuk meminum air. Saat langkahnya hendak kembali, ia malah melihat pintu teras belakang yang terbuka setengahnya. Ia mendekat, dan matanya justru menangkap kehadiran seseorang disana.
Bersama malam yang begitu tenang, dengan bulan perak sebesar Semangka bertengger di langit yang berhiaskan bintang-bintang. Udara terasa dingin ketika angin berembus, menerpa kulitnya yang dibaluti piayama tidur. Kimi mematung, menatap punggung yang duduk diam menatap langit. Disana, Papa duduk dikursi yang berada diteras belakang rumah.
Kimi masih menimbang-nimbang untuk menghampiri atau justru berbalik, untuk kembali masuk ke kamarnya.
Setelah melewati proses pemikiran, Kimi memantap kan langkahnya untuk menghampiri pria paruh baya itu.
"Malamnya dingin, Pa. Kenapa duduk disini." Sapanya lebih dulu, meski kecanggungan itu masih mendominasi.
"Kimi, mau duduk sebentar? Bicara dengan Papa?" Tanya Papa setelah menyadari kehadirannya. Ada yang berbeda dari cara Papa bicara padanya, kali ini.
Membuat Kimi dengan perasaan yang sulit ia artikan, memilih menuruti kemauan Papa untuk duduk menemaninya.
Ada rasa rindu yang membuncah ketika ia melupakan, kapan terakhir kalinya ia bisa seperti ini?. Mungkinkah, saat ia masih duduk di Sekolah Dasar?.
"Apa Papa terlalu keras dalam mendidik kalian, Kimi?" Tanya Papa dengan suara lirih, yang sebelumnya tidak pernah ia dengar.
"Kenapa Papa ngomong, begitu?"
Papa menghela napasnya, "Pada akhirnya Papa tidak bisa membuat kalian untuk terus mengikuti kemauan, Papa."
"Kalian selalu mengambil keputusan yang berbeda. Bahkan, Alam mulai menunjukkan perlawanan nya." Ucap Papa dengan menanggal kan keangkuhan yang selama ini selalu terlihat dikedua mata Kimi.
Kimi tahu, keputusasaan yang Papa rasakan saat ini disebabkan karena masalah Alam sore tadi. Bahkan, hingga Arkan pulang. Dan Papa mulai memberi ancaman berupa uang jajan yang dipotong itu tidak mampu membuat Alam buka suara. Adiknya tetap keukeuh mempertahan alasannya yang memukuli orang lain karena sebuah perasaan benci.
Mungkin, ia dan Papa sama-sama tahu. Bahwa, Alam mereka tidak mungkin melakukan hal itu tanpa alasan yang serius. Jadi ketika hari ini, Alam berkelahi dan mengaku ialah yang memukuli lebih dulu. Maka rasa kecewa lah yang bergaung di kedua mata tegas, Papa.
"Apa yang bisa Papa lakuin, agar kamu mau menerima perjodohan itu, Kimi?"
Untuk hal itu akhirnya membuat Kimi terpaku, bibirnya terkatup rapat. Lidahnya bahkan terasa kaku. Ia tahu, inilah saatnya bicara tentang perjodohan itu. Mungkin, ia akan berbicara seperti yang disarankan oleh Ehsan. Berbicara dengan baik, menolaknya dengan menghindari dari cara yang bisa menyakiti perasaan Papa nya.
Namun, mungkinkah ia sanggup. Karena penolakan nya lah yang pasti lebih dulu menyakiti perasaan Papa. Sebab, Papa dan ambisi nya tidak akan pernah bisa dihentikan.
"Apa sulit sekali untuk menuruti kemauan, Papa?"
Kimi tidak bisa memberikan jawaban yang bisa menyenangkan hati Papa. Jadi ketika ia hendak mengatakan keinginannya, ia harus menghela napasnya terlebih dulu. Meraup udara sebanyak banyaknya untuk mengumpulkan keberanian nya.
Tetapi sesuatu itu menghentikan luapan emosi yang sebelumnya memenuhi hati dan pikiran nya. Saat matanya bertemu dengan tatapan Papa yang terlihat berbeda. Kimi yakin ia tidak pernah melihat tatapan penuh harap pada mata tegas itu, sebelumnya.
"Lo kalau lagi galau jangan sampai ngaruh ke kerjaan lo, Lah!" Maudy menasihati Bagas yang hanya menatap kosong, lelaki itu mengabaikan tugasnya sebagai yang menyediakan minuman.
"Lo pikir galau bisa diatur? Lagian, siapa sih yang ngga sakit hati, kalau ditinggal nikah pas lagi sayang sayangnya?" Bagas sewot sekali. Menatap Maudy dengan kesal.
Kimi hanya terkekeh memerhatikan mereka yang berdebat. Ia bisa menyimpulkan nya dari perdebatan mereka.
"Modelan kaya lo, itu... mana bisa sakit hati. Palingan lo juga cari yang baru. Lo kan buaya." Balas Maudy lagi.
"Waah... gini-gini gue tau lah mana cewek yang bisa gue perjuangkan."
"Gue udah jatuh, sejatuh-jatuhnya sama dia. Tapi dia justru milih nikah sama cowo lain. Hati siapa yang ngga tersakiti, coba?" Ucap Bagas lagi dengan wajah nelangsa. Yang entah dibuat buat atau memang sungguhan.
Kimi memilih mengabaikan, ia sudah bersiap-siap untuk pergi ke tempat yang selalu memberinya rasa aman itu.
"Mungkin Tuhan mau ngasih tau, lo. Kalo udah waktunya lo, tobat–"
"Aku pulang duluan, yah. Debat nya nanti lagi, setelah melayani pembeli!"
Ucap Kimi cepat, ia memberi kode pada temannya untuk menyambut salah satu pembeli mereka dengan ramah.
"Jangan lupa senyum!" Ujarnya memberi peringatan sambil berlalu.
"Yoi! Ti-ati, Kim." Jawab Maudy.
Ia kembali melajukan motornya ke tempat yang biasa. Ia memarkirkan motornya dipelantaran Masjid Hidayah. Kimi bisa melihat Ehsan yang berdiri di teras Masjid. Anak-anak tidak terlihat disana, mungkin sudah pulang.
Terlihat dari Ehsan yang juga sudah memakai sendalnya, namun urung saat menyadari kehadiran nya.
"Assalamualaikum, Mas." Sapanya.
"Wa'alaikumussalam... mau setoran hafalan?" Tanyanya. Mungkin merasa heran dengan kedatangan nya yang dalam jarak waktu dekat.
Kimi menggeleng, "Belum ada hafalan, Mas. Niatnya mau lihat anak-anak ngaji. ehh, ternyata udah pada pulang." Ucapnya seraya terkekeh.
Ehsan mengangguk, "Hari ini banyak yang ngga hadir. Jadi selesai nya lebih cepat."
"Kebetulan sekali, ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu." Lanjut Ehsan seraya memintanya duduk dipelantaran Masjid.
Kimi menuruti, ia dapat merasakan angin yang berembus pelan, yang juga memainkan ranting dan dedaunan yang menimbulkan suara gemerisik. Aroma Melati tercium samar tertiup angin. Memberikan sensasi menenangkan sekaligus mendebarkan.
Ia menunggu Ehsan melanjutkan ucapannya saat lelaki itu menduduki selasar Masjid yang sedikit jauh darinya. Namun, ia masih bisa mendengar tutur katanya.
"Saya akan berangkat esok hari, Zahra." Ucapnya yang membuat Kimi tertegun sejenak.
"Kemana, Mas?"
"Ke pesantren An-Nahl."
Kimi mengangguk, ia tidak merasa heran sebab lelaki itu memang sering kesana untuk menemui gurunya.
"Berapa lama, Mas?" Tanyanya lagi.
Ehsan menegakkan pandangan nya, membuat Kimi bisa menatap wajahnya dari samping. "Saya tidak tahu pasti akan berapa lama disana. Bisa sebulan atau lebih lama lagi."
"Kali ini saya berangkat dengan tujuan lain, Zahra." Ucap Ehsan menoleh ke arah Kimi.
Untuk sejenak Kimi merasakan hal yang berbeda. Jika biasanya matanya hanya bisa menatap sejenak mata itu, maka kali ini Kimi bisa menatap sedikit lebih lama mata legam itu. Dan ia sempat terhenyak mendapati tatapan yang nampak berbeda itu.
Mata legam itu nampak berbinar, lalu saat mata itu menyipit membentuk lengkungan seperti bulan sabit. Kimi dapati senyum lebar yang menghiasi bibir lelaki itu, yang mungkin saja belum pernah Kimi temui.
Kimi mengamati Ehsan. Dadanya berdebar kencang, perasaan asing yang menguasai dirinya membuatnya sedikit tak nyaman. Hingga ucapan Ehsan setelahnya membuat Kimi tak bergeming–.
"Saya hendak melamar seseorang disana, "
– Membuat Kimi mematung, bibirnya terkatup rapat. Lidahnya terasa kelu, ia mengabaikan angin yang memainkan ujung hijabnya.
Untuk sejenak, semuanya terasa hening. Tidak ada lalu lalang orang lewat. Yang ada hanya desir angin yang terasa menggelitik di wajahnya.
Dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar Kimi berucap. "Siapa?"
Namun, jawaban Ehsan setelahnya membuat Kimi semakin kalut. Pikirannya berkecamuk, mencoba memahami setiap kata yang keluar dari mulut Ehsan.
"Namanya Aliya. Dia perempuan yang saya kagumi sejak lama. Perempuan yang selalu saya sebut namanya didalam doa saya,"
"Dan tempo hari. Paman saya yang tinggal tidak jauh dari sana, memberi kabar. Kalau Aliya menerima permintaan ta'aruf dari saya." Ehsan memberitakan dengan wajah berseri. Senyumnya terus mengembang sampai di kedua matanya yang berbinar.
Kimi ingin tidak mempercayainya, matanya menelisik kedua manik legam milik Ehsan yang kini memandang kearah lain. Kimi berharap menemukan sebuah kebohongan disana. Akan tetapi, Kimi lupa jika Ehsan tidak akan berbohong, bahkan hanya untuk sebuah candaan.
"Mas... sangat menyukainya?,"
"Sangat. Dan saya harap semuanya berjalan dengan lancar. Zahra," Ujar Ehsan dengan sebuah pengharapan yang bergaung disetiap katanya.
*Sangat*?.
Kimi mengangguk pelan seraya memaksakan senyumnya, "Ya, semoga berjalan sesuai mau mu, Mas."
"Terima kasih, Zahra. Kamu teman yang selalu membuat saya merasa damai."