NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 Jejak ke Ujung Desa

Pagi menjelang dengan sinar surya yang enggan menembus kabut tipis. Burung-burung masih terdengar malu-malu berkicau. Reno melangkah perlahan melewati jalan setapak menuju ujung desa, ditemani Ajo yang dari tadi tak berhenti bergumam.

“Ren, yakin kita mau nemui Pak Cokro? Orang-orang bilang dia sudah ndak waras. Dulu dia guru silat, tapi sejak istri dan anaknya mati mendadak, dia lebih sering ngomong sendiri,” kata Ajo sambil menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tak gatal.

Reno tetap melangkah. “Kalau dia memang murid ayahku, pasti dia tahu sesuatu. Aku harus tahu kebenaran. Kenapa Palasik itu memanggilku.”

Mereka melintasi sawah yang mulai mengering. Di kejauhan, rumah-rumah penduduk mulai jarang. Udara makin dingin. Ajo mengeratkan jaketnya yang sudah belel.

“Ini pasti kutukan, Ren,” gumamnya. “Kenapa harus kamu yang jadi pewaris. Kenapa bukan aku. Aku juga cucu orang kampung sini.”

“Karna kau pewaris tukang ngelawak,” sindir Reno.

Ajo melotot. “Hei! Aku ini bisa serius kalau perlu. Tapi kalau situasi makin tegang, aku harus ngelucu biar ndak gila!”

Reno tersenyum. Ajo memang aneh. Tapi justru itu yang membuatnya berani.

Setelah melewati pohon beringin tua, mereka sampai di sebuah rumah panggung yang sudah lapuk. Atapnya miring, beberapa bilah papan dinding tampak berlubang. Di depannya tergantung tali jemuran yang penuh dengan kain-kain berwarna kusam.

“Ini rumahnya?” tanya Ajo pelan.

Reno mengangguk. Ia mengetuk pintu.

Beberapa detik tak ada jawaban. Lalu terdengar suara berat dari dalam.

“Siapa?”

“Nama saya Reno. Saya anak Pak Dirman,” sahut Reno.

Pintu kayu berderit terbuka. Seorang lelaki tua dengan sorot mata tajam berdiri di ambang pintu. Wajahnya penuh keriput, rambutnya putih acak-acakan. Ia mengenakan baju lengan panjang dengan kain sarung yang digulung.

“Masuklah,” ucapnya singkat.

Reno dan Ajo masuk pelan-pelan. Bau kayu lapuk dan dupa memenuhi ruangan. Dindingnya penuh coretan dan simbol. Di salah satu sudut, ada patung kayu kecil dengan kepala yang tampak bisa dilepas.

Pak Cokro duduk di tikar. Ia menatap Reno lama.

“Wajahmu mirip Dirman waktu muda,” ujarnya. “Tapi matamu lebih cemas. Kenapa kau datang?”

Reno duduk bersila. “Saya menemukan catatan-catatan ayah. Dan... Palasik itu muncul. Dia menyebut saya ‘anak dari penjaga janji’.”

Pak Cokro terdiam. Matanya memejam. Sejenak ia seperti melayang jauh ke masa lalu.

“Dirman pernah menyelamatkan kami semua dari kutukan Palasik. Tapi sebagai syaratnya, dia harus menjaga sumur tua dan menyegel satu kamar di rumahmu. Dia ndak pernah cerita ke ibumu, tapi ia bilang... kalau janji itu dilanggar, maka darahnya harus dibayar oleh keturunannya.”

Ajo berseru, “Jadi Reno sekarang jadi tumbal pengganti?”

Pak Cokro menoleh cepat, suaranya keras, “Tumbal bukan sembarang korban! Palasik itu menuntut jiwa yang kuat. Jiwa keturunan dari penjaga janji. Kalau Reno lemah, dia akan jadi santapan. Tapi kalau kuat... dia bisa mengikat Palasik kembali.”

Reno mengangguk pelan. “Apa yang harus saya lakukan?”

Pak Cokro berdiri dan membuka sebuah kotak besi dari bawah lantai papan. Di dalamnya ada sebilah pisau pendek berukir dan sebuah kalung dari tulang ayam.

“Ini warisan. Pisau ini pernah dipakai ayahmu saat menyegel Palasik. Kalung ini pelindung, tapi hanya bekerja jika kau ikhlas.”

Ajo mengambil kalung itu dan mengamatinya. “Wah, ini kalau dijual bisa buat beli nasi kotak tujuh hari!”

Pak Cokro tersenyum miris. “Bukan untuk dijual, nak. Tapi untuk bertahan hidup.”

Reno menerima kalung itu, lalu menggantungnya di leher. Pisau kecil ia simpan di dalam saku jaket.

“Besok malam adalah malam bulan mati,” ucap Pak Cokro. “Kalian harus kembali ke sumur. Kali ini, bukan untuk menghindar. Tapi untuk memanggil.”

Ajo terbatuk. “Memanggil? Maksudnya kita undang Palasik datang? Gila, Pak! Gila!”

“Tidak bisa lari terus,” kata Reno. “Kalau ini harus dihadapi, aku akan hadapi.”

Pak Cokro mengangguk. “Tapi kau tidak sendiri. Kalian akan butuh bantuan... dari satu orang lagi. Cari Samin. Dia penjaga nisan lama di bukit belakang. Dia tahu lebih banyak dari siapa pun di kampung ini.”

Reno berdiri, wajahnya tegas.

“Aku akan cari dia.”

Dan di luar rumah Pak Cokro, angin mulai berputar lebih cepat. Awan hitam bergulung di atas desa. Pertanda... Palasik belum selesai mencari darah.

Pagi berikutnya, Reno dan Ajo berangkat lebih pagi dari biasanya. Kabut belum sepenuhnya terangkat dari tanah ketika mereka mulai mendaki jalur menuju bukit belakang. Jalannya sempit, licin, dan diapit oleh ilalang tinggi yang menggesek kaki mereka seperti tangan-tangan hantu.

“Ren, aku tadi semalam mimpi buruk,” kata Ajo, dengan mata masih setengah terbuka. “Aku mimpi kepala terbang masuk ke kamar, gigit telinga nenekku yang sedang baca doa.”

Reno tertawa kecil. “Kalau itu Palasik sungguhan, dia pasti langsung pergi. Nenekmu itu suaranya keras betul kalau marah.”

Ajo nyengir. “Ya, kepala Palasik itu langsung minggat. Tapi anehnya, dia tinggalin gigi palsu di tikar.”

Mereka berdua tertawa, meski suara mereka tetap pelan. Bukit belakang dikenal sebagai tempat angker. Orang-orang kampung jarang sekali ke sana, kecuali ada pemakaman. Dan itupun biasanya ramai-ramai.

Setelah hampir satu jam mendaki, mereka tiba di sebuah area lapang. Beberapa nisan batu tua tampak berdiri tak beraturan. Ada yang sudah tertutup lumut, ada pula yang miring ke kiri. Di tengah lapangan itu, sebuah gubuk kayu sederhana berdiri, dikelilingi pohon kamboja.

“Cocok. Tempatnya sangat... menyeramkan,” gumam Ajo sambil melangkah hati-hati.

Mereka mendekat ke gubuk. Dari dalam terdengar suara pelan—lantunan doa atau mungkin nyanyian. Reno mengetuk dinding kayu.

“Pak Samin?”

Tak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang lelaki tua dengan tubuh kurus dan kulit legam berdiri di ambang pintu. Rambutnya digelung, matanya kecil namun tajam. Ia mengenakan kain putih kusam yang melilit tubuhnya seperti jubah.

“Aku tahu kalian akan datang,” ujarnya pelan, tapi mantap.

Reno dan Ajo saling berpandangan. Mereka dipersilakan masuk. Gubuk itu sederhana. Hanya ada tikar pandan, rak buku-buku tua, dan sebuah kendi tanah liat di pojok ruangan.

“Kau anaknya Dirman?” tanya Pak Samin sambil duduk bersila.

“Iya, Pak. Saya Reno.”

Pak Samin mengangguk, lalu menatap Reno dalam-dalam. “Wajahmu menyimpan banyak tanya. Tapi juga banyak jawab.”

“Kami ingin tahu lebih banyak tentang Palasik,” kata Reno.

Pak Samin menghela napas panjang. “Palasik bukan hanya makhluk. Ia adalah warisan dendam, janji, dan darah. Ia tidak lahir begitu saja. Ia dibangkitkan.”

Ajo tak tahan untuk bertanya, “Dibangkitkan siapa, Pak? Maksudnya Reno?”

“Bukan. Tapi mungkin ayahnya, mungkin juga sebelum itu. Dulu ada pertarungan besar di desa ini. Bukan pertarungan fisik, tapi adu kekuatan batin. Dukun dari desa ini dan desa seberang beradu ilmu. Salah satu kalah dan dibunuh. Tapi arwahnya tak mau pergi. Ia menjadi Palasik, makhluk haus darah.”

Reno menyimak. “Lalu ayah saya?”

“Ia salah satu dari para penjaga. Mereka yang ditugaskan menjaga batas antara dunia ini dan dunia arwah. Tapi satu-satunya cara untuk benar-benar menyegel Palasik adalah dengan mengikatnya menggunakan perjanjian darah.”

Pak Samin lalu mengambil sebuah kotak kecil dari balik rak. Isinya sebuah kertas kuno beraksara tua, dan sebutir batu berwarna merah gelap.

“Ini batu Segel. Kalau malam bulan mati tiba, kamu harus berdiri di depan sumur itu, bacakan mantra ini, dan arahkan batu ini ke mulut sumur. Tapi hati-hati... Palasik akan mencobamu. Dia akan menyamar jadi yang paling kamu takutkan. Jangan percaya matamu. Percaya hatimu.”

Ajo menelan ludah. “Kalau yang aku paling takutkan itu mantanku yang suka ngambek, gimana Pak?”

Pak Samin tertawa kecil. “Kalau itu muncul, hadapi dengan senyuman dan minta maaf.”

Reno menerima batu segel dan kertas mantra dengan hati-hati. “Terima kasih, Pak. Kami akan lakukan apa yang perlu.”

Pak Samin menepuk bahu Reno. “Satu lagi. Setelah kamu segel Palasik, kamu tidak bisa kembali jadi manusia biasa. Kamu akan menjadi penjaga baru. Kamu harus pilih: hidup normal, atau hidup sebagai pelindung batas.”

Reno menunduk. Beban itu terasa berat. Tapi ia tahu, lari bukan pilihan.

“Saya pilih menjaga,” katanya.

Pak Samin tersenyum tipis. “Maka kau harus kuat, Nak. Karena mulai malam bulan mati nanti... semua akan berubah.”

Di luar gubuk, angin mulai bertiup kencang. Kabut perlahan turun kembali, menutupi jejak mereka. Bukit itu seperti menelan kisah lama yang baru saja diungkap.

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!