Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.
Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.
Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. MURID BARU YANG MENARIK PERHATIAN
Setelah memperkenalkan diri, Hana melangkah menuju bangkunya dengan senyum tetap menghiasi wajahnya.
Namun, ia bisa merasakan tatapan intens dari hampir seluruh siswa di kelas. Pandangan mereka penuh rasa ingin tahu, seolah sedang menilai setiap gerak-geriknya.
Bisik-bisik mulai terdengar di antara mereka.
"Cantik banget," ujar seseorang dengan suara lirih.
"Lihat matanya, warnanya unik ya?" bisik yang lain, terdengar penuh kekaguman.
Hana sudah terbiasa dengan perhatian seperti ini. Tatapan penuh rasa ingin tahu dari orang-orang bukanlah hal baru baginya. Maka, dengan senyum santai yang sudah menjadi kebiasaannya, ia melangkah menuju bangku kosong yang telah ditunjukkan oleh wali kelas.
Beberapa pasang mata masih mengamatinya, beberapa siswa bahkan terus berbisik pelan, membahas tentang dirinya.
Namun, semua itu tidak terlalu mengganggunya—sampai ia menoleh ke sudut kelas.
Tatapannya bertemu dengan sepasang mata dingin milik Rei.
Hanya sesaat.
Tatapan itu begitu datar, tanpa emosi, seolah kehadirannya sama sekali tidak berarti.
Dan detik berikutnya, Rei sudah mengalihkan pandangan tanpa ekspresi, seakan mereka benar-benar dua orang asing.
Hana menghela napas dan membuang muka malas.
Baiklah. Jika itu yang diinginkan laki-laki itu, maka ia juga tidak peduli.
Di dalam sekolah ini, mereka adalah orang asing.
Di luar, mereka adalah pasangan suami-istri.
Tapi di sini, mereka hanyalah dua siswa yang tidak ada hubungan apa-apa.
"Dasar pria dingin," batinnya sambil mendengus kesal, tangannya meraih bolpoin dan mulai mencoret-coret buku untuk mengalihkan pikirannya..
JAM ISTIRAHAT
Saat bel istirahat berbunyi, Hana menghela napas pelan sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantin. Suasana kelas mulai ramai, para siswa berhamburan keluar, tapi ia tetap melangkah santai.
Baru saja ia berdiri, tiba-tiba sebuah sentuhan lembut di pundaknya membuatnya menoleh.
“Hai, Hana, kan?”
Hana sedikit terkejut mendengar suara ramah itu. Pandangannya bertemu dengan seorang gadis berambut hitam panjang, matanya coklat terang, bersinar penuh kehangatan.
“Aku Amina,” lanjut gadis itu dengan senyum bersahabat. “Boleh aku duduk di sini?”
Hana mengerjapkan mata, mencerna permintaan itu sejenak. Tapi tak butuh waktu lama baginya untuk tersenyum dan mengangguk. “Tentu! Senang bertemu denganmu, Amina.”
Namun, sebelum mereka sempat berbincang lebih jauh, dua orang lainnya sudah bergabung tanpa ragu. Salah satunya menarik kursi dan duduk dengan santai, sementara yang lain berdiri dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.
Seorang cowok dengan rambut coklat tua yang tampak sedikit berantakan, dengan tatapan mata yang penuh iseng—Darren.
Di sebelahnya, seorang gadis berambut pendek dengan ekspresi tenang namun tetap ramah—Lena.
Mereka berdiri di depan Hana dengan santai, seolah sudah mengenalnya sejak lama.
“Kami teman sekelasmu,” kata Lena dengan senyum tipis yang terkesan lembut tapi juga sedikit misterius. “Kalau butuh sesuatu, jangan ragu untuk bertanya. Kami akan dengan senang hati membantumu.”
Darren menyeringai lebar, menambahkan dengan nada menggoda, “Iya, iya! Terutama kalau butuh ditemani jalan-jalan setelah pulang sekolah. Aku bisa jadi pemandumu yang terbaik!”
Hana terkekeh mendengar lelucon Darren. “Terima kasih, aku akan mengingat tawaran itu.”
Percakapan singkat itu mencairkan suasana dengan cepat. Mereka bertiga tampak seperti orang-orang yang mudah diajak berteman, tidak terlalu kaku, dan menyenangkan.
Dan bagi Hana, itu sedikit melegakan. Setidaknya, ia tidak sendirian di lingkungan barunya ini..
DI KANTIN
Hana berjalan santai bersama Amina, Darren, dan Lena menuju kantin. Mereka bercakap-cakap ringan, membuat suasana terasa lebih nyaman.
Begitu mereka tiba, kantin sudah dipenuhi siswa-siswa yang sibuk mengobrol dan menikmati makan siang mereka. Suara gelak tawa, suara piring beradu, serta aroma makanan yang menggugah selera memenuhi udara.
Hana melangkah ke antrean makanan, matanya sibuk memilih menu yang menarik. Namun, tiba-tiba, ia merasakan sesuatu—tatapan yang begitu kuat, menusuk, hingga membuatnya secara refleks menoleh.
Rei.
Duduk di salah satu meja dengan beberapa teman dekatnya.
Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang terasa tajam. Matanya mengawasi, meski raut wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
"Apa dia sedang mengawasiku?" batin Hana.
Namun, ia memilih untuk tidak peduli. Ia kembali fokus pada pesanannya, lalu membawa makanannya ke meja bersama teman-teman barunya.
Sementara itu, dari kejauhan, di meja tempat Rei duduk, percakapan kecil mulai terjadi.
"Jangan tatap dia seperti itu, orang bisa curiga," ujar Nathan dengan suara tenang, tanpa sekalipun melirik Rei. Ia tetap fokus menatap layar ponselnya, seolah apa yang baru saja ia katakan hanyalah komentar biasa.
Elio, yang duduk di sebelah Nathan, menyengir jahil. Matanya masih menatap Hana yang tengah tertawa bersama teman-temannya. “Dilihat-lihat, istri lo cantik juga ya, Rei.”
Plak!
Selena menepuk pipi Elio dengan cukup keras. Wajahnya sebal.
“Iya, iya, tahu!” Elio meringis, mengusap pipinya yang baru saja kena tampar ringan.
Rei hanya menghela napas, merasa terbiasa dengan tingkah mereka. Elio dan Selena memang selalu bertengkar seperti ini.
Tapi yang membuatnya sedikit terganggu adalah fakta bahwa tatapannya sejak tadi tidak bisa lepas dari sosok Hana.