NovelToon NovelToon
Sang Pianis Hujan

Sang Pianis Hujan

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers / Rebirth For Love / Idola sekolah / Tamat
Popularitas:549
Nilai: 5
Nama Author: Miss Anonimity

Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.

Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.

Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 16 : Jika Aku Adalah Hujan

Keesokan harinya, di halaman sekolah. Matahari pagi menyinari halaman sekolah yang mulai dipenuhi siswa-siswi dengan seragam rapi. Suara bel belum berbunyi, tapi suasana sudah ramai. Di antara kerumunan itu, seorang siswa baru berjalan melewati gerbang depan dengan kepala tegak. Bukan karena sombong, tapi karena sejak tadi ia sudah menyadari semua mata tertuju padanya. Zheng Danni.

Meski mengenakan seragam yang sama dengan siswa lain, penampilannya tetap mencolok. Rambutnya yang terurai rapi, kemeja putih yang tampak pas di tubuhnya, serta langkah percaya dirinya-semuanya membuat ia terlihat seperti tokoh utama dalam drama remaja mahal. Danni sejak tadi mencari keberadaan kekasihnya, Azizi. Berharap bisa melihatnya. Tapi sepertinya gadis itu sudah masuk kedalam kelas, pikir Danni. Ia melanjutkan langkahnya menuju ke ruang guru, di sela-sela pandangan semua siswi yang terpesona pada parasnya. Jika saja Azizi bisa melihat ini, sudah bisa dipastikan mereka semua akan berakhir di rumah sakit.

Sementara itu, ruang kelas Freya dan Shani masih nampak riuh. Belum ada guru yang masuk. Freya yang tengah membaca novel di kursinya, menoleh sedikit pada Azizi. Gadis itu sibuk dengan gadget-nya sejak tadi.

"Zheng Danni Jadi masuk ke sini?" Tanya Freya.

"Jadi. Dia ada di ruang guru sekarang." Balas Azizi. Freya mengangguk.

Tidak lama, Bu Shanju-wali kelas mereka, berjalan masuk dengan langkah yang anggun, seperti citranya yang manis dan dewasa. Bu Shanju meletakan buku di atas meja, kemudian menatap seluruh kelas dalam satu pandangan. "Hari ini kelas kalian kedatangan murid pindahan dari China. Diantara kalian mungkin sudah ada yang mengenalnya. Ibu berharap kalian bisa membuatnya nyaman di sini." Ucap Bu Shanju.

"Masuklah!"

Pintu kelas terbuka perlahan. Semua kepala menoleh. Langkah kaki terdengar ringan namun mantap saat ia masuk, disambut keheningan aneh yang menggantung di udara. Beberapa siswi langsung berbisik-ada yang terpana, ada yang langsung mengambil ponsel di bawah meja untuk diam-diam merekam. Freya tersenyum kecil, sementara Azizi hanya menoleh malas, saat melihat semua siswi di kelasnya terpesona pada kekasihnya.

"Silakan perkenalkan diri kamu dulu," ujar Bu Shanju dengan senyum hangat.

Danni menatap seluruh kelas dengan tenang. "Namaku Zheng Danni. Aku pindahan dari Shanghai. Aku harap bisa berteman baik dengan kalian semua."

Seisi kelas terdiam. Beberapa gadis langsung saling berbisik sambil curi-curi pandang. Danni duduk di bangku kosong Di samping kiri Azizi. "Tebar pesona terus." Ketus Azizi pelan, sembari mencebik.

'Aku salah apa?' Batin Danni cengok melihat ekspresi ketus kekasihnya.

Bu Shanju mulai membagikan modul pelajaran baru, dan suasana kelas perlahan kembali normal-setidaknya untuk sebagian besar murid.

...***...

Bel istirahat berbunyi. Freya memisahkan diri dari pasangan ZeeDanni. Ia pergi ke rooftop setelah menghubungi Shani melalui pesan Chat. Di atas rooftop, langit cerah menyambut dengan warna biru pucat. Angin bertiup pelan, cukup untuk membuat rambut Freya berayun lembut. Ia bersandar di pagar, menunggu. Tidak butuh waktu lama sampai suara langkah ringan terdengar dari arah tangga besi. Shani muncul dengan gaya santainya yang khas-earphone menggantung di leher.

"Tumben kamu ke sini? Biasanya kamu ke kantin," sapa Shani sambil duduk di samping Freya.

Freya tidak langsung menjawab. Ia menatap langit beberapa detik, lalu menghela napas pelan. Menyandarkan kepalanya pada pundak kekasihnya. Tangan mereka saling bertaut. Untuk sementara suasana hening. Hanya hembusan angin yang berkesiur. Sampai Freya berbicara, "Hari yang indah, meski sedikit mendung." Ucapnya.

Shani menatap langit bersama Freya. Sinar matahari yang tadi cerah mulai bersembunyi di balik awan, memberi rona teduh pada atap sekolah itu. Meski tangan mereka masih bertaut, hati Shani terasa dingin. Ada beban yang menggantung berat di dadanya, namun ia memutuskan untuk tetap diam.

"Kalau kamu terus diam kayak gitu, aku bisa tidur di sini," canda Freya, mencoba memecah suasana.

Shani tersenyum kecil. "Kamu nggak takut masuk angin?"

"Kalau dipeluk kamu sih enggak," balas Freya.

Tawa kecil mereka terdengar ringan, seperti dua orang yang tak punya masalah besar dalam hidup. Tapi hanya Shani yang tahu bahwa di balik tawanya, ada rahasia yang terus menekan dari dalam. Ia sempat membuka mulut, ingin mengatakan semuanya. Tentang malam itu, tentang jebakan, tentang rasa bersalah yang menghantuinya setiap kali menatap mata Freya. Tapi lidahnya kaku. Dadanya seperti terikat. Dan pada akhirnya, yang keluar hanya, "Freya..."

"Hmm?"

"Kalau suatu hari aku membuat kesalahan, tapi nggak pernah niat nyakitin kamu... kamu bakal maafin aku?"

Freya menoleh, mengernyit pelan. "Kamu kenapa nanya gitu?"

Shani menggeleng cepat. "Nggak. Cuma... ingin tahu saja."

Freya diam sebentar, lalu berkata pelan, "Aku nggak janji bakal kuat terus. Tapi aku janji satu hal-aku akan selalu coba ngerti kamu, sejauh kamu juga jujur sama aku."

Shani menggigit bibirnya. Kalimat itu menusuk. Kejujuran. Sesuatu yang seharusnya mudah, tapi terasa seperti jurang saat ini. "Jujur itu gampang buat orang yang nggak takut kehilangan," bisiknya dalam hati.

Lalu ia menatap Freya, gadis yang selama ini membuatnya merasa cukup hanya dengan pelukan dan satu senyum. Shani tidak bisa membayangkan dunia tanpa Freya. Dan karena itu, ia memilih diam.

Lebih baik menyimpan luka sendiri... daripada melihat mata Freya berkaca-kaca karena kebenaran yang kejam.

...***...

Sepulang sekolah, Pasangan FreShan berpisah dengan pasangan ZeeDanni. Freya ingin mengajak Shani ke Cafe yang tidak sengaja dia temukan di tengah kota. "Sudah kuduga hujan akan turun hari ini." Ucap Freya, memandang hujan yang mulai membesar dari kaca mobil Shani. Saat mereka mereka berdua tengah menuju Cafe yang Freya maksud.

"Aku suka hujan, suaranya mengantarkan kedamaian yang indah." Balas Shani.

"Tapi, hujan bisa juga di artikan sebagai tanda kesedihan. Air mata yang jatuh dari langit." Ucap Freya.

Mobil melaju pelan di bawah langit kelabu yang menggantung rendah. Rintik hujan mulai turun, menari-nari di kaca depan seperti jari-jari langit yang mengetuk hati mereka berdua. Wiper mobil bergerak perlahan, menyapu sisa air yang terus datang tanpa henti. Di dalam mobil, keheningan tidak terasa canggung, justru nyaman. Freya duduk di samping, menatap keluar jendela sambil menggenggam tangan Shani yang tetap berada di persneling. Ia membisikkan sesuatu, pelan, hampir tenggelam oleh suara hujan.

"Lucu ya... hujan itu selalu datang tanpa permisi, tapi jarang ada yang marah."

Shani melirik sekilas, lalu mengerem lembut saat lampu merah menyala. "Karena mungkin... manusia butuh alasan untuk diam. Dan hujan memberi alasannya."

Freya tersenyum kecil. "Atau... karena hujan mewakili apa yang nggak bisa kita ungkap. Sedih yang nggak punya nama, rindu yang nggak bisa diucap, penyesalan yang disimpan."

Shani menggenggam tangan Freya lebih erat, seolah merasakan bahwa tiap kata itu mengarah pada sesuatu yang lebih dalam. "Kalau kamu hujan," gumam Shani, "aku ingin menjadi payungnya. Selalu mencoba melindungi, tapi nggak pernah benar-benar bisa menahan semua yang jatuh."

Freya menoleh padanya. Tatapannya lembut, tapi ada sesuatu yang menyelusup di dalamnya-perasaan yang belum sempat diberi nama. "Dan kalau aku jadi hujan... kamu juga bakal basah. Payung nggak pernah bisa tetap kering kalau dia terlalu dekat."

Shani tertawa kecil. "Kamu mulai puitis."

"Efek kamu," jawab Freya datar, tapi senyumnya menari di ujung bibir.

Lampu berubah hijau. Mobil kembali melaju perlahan melewati genangan air yang mulai meninggi. Di kejauhan, sebuah kafe kecil berdiri di pojok kota. Dinding kacanya memantulkan cahaya kekuningan yang temaram. Tempat itu seperti melarikan diri dari realita, dan Freya menunjuk ke arahnya.

"Itu," ujarnya. "Aku nemu itu waktu jalan sendiri. Aku suka suasana dan tema dekorasinya."

Shani memarkir mobil. Deras hujan tak berhenti. Ia turun lebih dulu, mengambil payung dari bagasi, lalu membuka pintu untuk Freya. Gadis itu langsung tersenyum dan menggelayut manja pada tangan Shani saat mereka berdua berjalan menembus gerimis menuju kafe. Seorang pianis duduk di teras samping Cafe. Memainkan melodi ringan. Pengunjung Cafe tampak menikmati alunan sentimental dari pianis tersebut. Mungkin ini salah satu alasan kenapa Cafe ini berbeda dari yang lain. Kehadiran sang pianis yang selalu muncul saat hujan di cafe yang sama, adalah misteri yang hanya tuhan yang tau.

Mereka masuk ke dalam kafe dengan langkah pelan, menyisakan jejak-jejak basah di lantai yang hangat. Aroma kopi, kayu manis, dan sedikit vanilla menyambut mereka. Suasana di dalam tidak terlalu ramai, cukup tenang untuk mendengar detak jarum jam di dinding dan derai hujan yang memukul jendela kaca.

Freya memilih kursi di dekat jendela. Dari situ, ia bisa melihat sang pianis di teras, masih larut dalam melodi sendunya. Shani menyusul, menaruh jaket yang sedikit basah di sandaran kursi, lalu duduk berhadapan dengan kekasihnya. Pelayan datang, mereka memesan. Freya seperti biasa, hot chocolate dengan extra whipped cream. Shani, kopi hitam tanpa gula.

"Setiap kali hujan turun, aku merasa seperti waktu melambat," ucap Freya sambil menatap keluar. "Seolah-olah dunia ingin memberi kita waktu... untuk merenung. Atau mungkin... untuk jujur." Shani menunduk. Kata 'jujur' itu lagi. Kata yang terasa seperti batu di dadanya.

"Kadang aku mikir," lanjut Freya, "kenapa ya... kita selalu merasa aman saat berada di bawah atap saat hujan? Padahal, bisa saja atap itu rapuh. Tapi kita percaya, cukup dengan itu, kita nggak basah."

Shani menyimak dengan diam. Lalu menjawab pelan, "Mungkin karena kita nggak butuh perlindungan sempurna. Kita cuma butuh tempat untuk bertahan. Meski bocor pun... asal masih bisa berlindung bareng orang yang kita sayang, kita akan tetap duduk di sana."

Freya tersenyum. Matanya hangat. "Kamu selalu bisa bilang hal yang bikin aku tenang, walau cuma satu kalimat."

Pelayan datang, membawa pesanan. Cangkir-cangkir berembun uap diletakkan perlahan. Freya meniup permukaan minumannya, lalu mencicipi sedikit. Ia memejamkan mata sesaat, menikmati rasa manis dan hangat yang menyebar di lidahnya. "Aku suka rasa ini," katanya. "Manis, tapi ada pahitnya. Kayak perasaan yang jujur."

Shani menatap Freya, dan ia tahu, cinta mereka memang jujur. Tapi cinta jujur pun bisa ternoda oleh kenyataan yang tidak terduga.

"Freya..."

"Hmm?"

"Kalau kamu tahu sesuatu yang bisa bikin semua ini retak, kamu bakal pengen tahu sekarang, atau nunggu sampai semuanya udah nggak bisa dibalikin?"

Freya menatap Shani dengan tatapan lembut yang diselimuti rasa penasaran. "Aku nggak takut retak. Tapi aku takut kalau kamu terlalu lama diam, nanti kita nggak tahu harus mulai dari mana lagi."

Shani menarik napas. Tapi tidak mengatakan apapun. Di luar, hujan semakin deras. Sang pianis kini memainkan nada-nada yang lebih melankolis, seolah mengiringi keraguan di hati Shani. Ia menatap jari-jarinya yang memegang cangkir hangat. Dalam benaknya, wajah Gracia muncul. Tangan yang menggenggamnya malam itu. "Terkadang, aku takut." ucapnya akhirnya.

Freya terdiam, lalu berkata, "Semua orang punya ketakutan. Tapi orang yang berani jujur, bukan berarti dia nggak takut. Dia cuma memilih mencintai lebih dari sekadar menjaga diri."

Shani menatap Freya lama. Gadis itu duduk di depannya, dengan mata yang tetap hangat meski bicara soal luka. Di luar, petir menyambar sekali. Cahaya putih menyentuh wajah Freya sesaat. Dan entah kenapa, Shani merasa-jika ia jujur sekarang, mungkin cinta ini akan hancur. Tapi jika ia tetap diam, mungkin cinta ini akan perlahan membusuk dari dalam. Dan itu jauh lebih menyakitkan. Namun ketika ia hendak membuka mulut, sang pianis di luar menghentikan permainannya. Lalu berdiri menghadap hujan, dan memainkan satu nada terakhir. Tangannya menggantung di atas tuts, seolah mengucap salam perpisahan kepada langit.

Freya memperhatikannya. Lalu berbisik, "Kadang aku berpikir... mungkin hidup juga seperti hujan. Ada awal yang tak direncanakan, ada jeda, dan ada akhir yang tak bisa kita tolak. Tapi selama masih jatuh, selama masih mengalir... kita masih bisa memilih-untuk tetap berjalan, atau diam dan menunggu reda."

Shani menunduk. Tak sanggup bicara lagi. Hanya satu kalimat yang akhirnya ia ucapkan, dengan suara serak, "Aku masih menunggu reda."

Dan Freya, dengan tenang, menggenggam tangannya di atas meja. "Aku akan tetap di sini. Meski kita basah. Meski langit belum berhenti menangis."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!