NovelToon NovelToon
USTADZ GALAK

USTADZ GALAK

Status: tamat
Genre:Tamat / Pernikahan Kilat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Terpaksa Menikahi Murid / Suami ideal
Popularitas:1.3M
Nilai: 4.8
Nama Author: HANA ADACHI

Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏

Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.

Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!

"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"

"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"

"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"

Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?

Nantikan kelanjutannya ya🥰

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5. Pulang Ke Rumah

"Masih mau nangis lagi?" Ustadz Amar memberikan selembar tisu yang ke dua puluh kalinya pada Syahla. Gadis itu masih sesenggukan, menerima tisu untuk mengelap ingusnya.

Saat ini, mereka berdua sedang duduk di kursi depan rumah sakit. Dokter sudah meresepkan obat dan Ustadz Amar sudah diperbolehkan pulang, tapi tangisan Syahla yang tidak berhenti sejak tadi membuat mereka terjebak di sana lebih lama.

Satu kotak tisu yang diberikan oleh perawat sudah terpakai separuh. Semuanya untuk mengelap air mata Syahla yang mengalir seperti hujan.

"Lebih baik kamu pulang dulu ke rumah, keadaanmu sekarang sepertinya sulit untuk tetap kuliah,"

Syahla menggelengkan kepalanya. "Saya takut Umi sama Abah khawatir,"

"Terus, memangnya kamu yakin bisa bertahan lebih lama di sini? Polisi juga belum berhasil menangkap ketua geng itu. Kamu tidak takut mereka akan mengganggumu lagi?"

Syahla menggigit bibirnya. Dia jelas sangat takut. Tapi ia tidak tahu harus beralasan apa pada orangtuanya nanti saat tiba-tiba pulang ke rumah.

"Tenang saja, aku akan mengantarkanmu,"

Syahla serta merta menoleh ke arah Ustadz Amar. "Mengantarkan saya ke mana?"

"Tentu saja ke rumahmu,"

"Tapi, rumah saya kan jauh, Ustadz."

"Kalau begitu, mau pergi sendirian saja?"

Syahla menundukkan kepala. Kejadian tadi masih melekat di dalam ingatannya. Bajunya yang terkena noda darah Ustadz Amar juga belum kering. Bagaimana kalau kejadian serupa terulang lagi dan tidak ada siapa-siapa di sampingnya?

Pada akhirnya, Syahla menganggukkan kepalanya. "Saya minta tolong ya Ustadz,"

...----------------...

Syahla dan Ustadz Amar duduk di dalam bus menuju Darul Quran, itu adalah nama pesantren yang dikelola oleh ayahnya Syahla. Syahla duduk di bangku depan, sementara Ustadz Amar di belakangnya. Perjalanan mereka memakan waktu enam jam, dan selama itu tidak banyak topik yang bisa mereka obrolkan.

Beberapa kali, Syahla mengecek apakah keadaan Ustadz Amar baik-baik saja. Luka di lengan Ustadz Amar masih baru dijahit, dan ia khawatir jahitannya akan terbuka karena perjalanan jauh. Syahla merasa bertanggungjawab karena Ustadz Amar terluka karenanya, maka sebisa mungkin ia memastikan Ustadz Amar merasa nyaman dan sudah meminum obatnya dengan baik.

Setelah perjalanan panjang itu, akhirnya mereka sampai di depan gerbang Darul Quran dengan mengendarai ojek. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, matahari sedang panas-panasnya membakar ubun-ubun mereka.

"Syahla!" Rupanya Umi, Abah, dan kakak-kakaknya sudah menunggu di teras rumah. Buru-buru membuka gerbang dan mempersilahkan mereka masuk.

Umi Zahra memeluk putrinya dengan erat. "Alhamdulillah kamu selamat! Bagaimana keadaan kamu Nak? Ada yang luka? Coba Umi lihat,"

"Tidak ada Mi," Syahla berusaha tersenyum untuk menenangkan uminya. "Syahla nggak papa, karena Syahla sudah ditolong oleh Ustadz Amar,"

Semua orang kini mengalihkan perhatian pada Ustadz Amar yang berdiri di belakangnya. Ustadz Amar tersenyum, menyalami Abah Baharuddin dan Gus Sahil, sementara mengatupkan kedua tangannya di depan dada pada Umi Zahra dan Hafsa.

"Terimakasih karena sudah mengantarkan Syahla sampai ke rumah. Ayo masuk, kami sudah siapkan makanan spesial," Abah Baharuddin mencoba merangkul Ustadz Amar untuk membimbingnya masuk. Tapi tidak sengaja tangannya malah menyenggol lengan Ustadz Amar yang terluka.

"Aduh!" Ustadz Amar mengeluh kesakitan.

"Abah!" Syahla buru-buru menarik abahnya menjauh. "Ustadz Amar sedang terluka karena menyelamatkan aku!"

"Ya Allah, beneran? Ayo cepat dibawa masuk, takutnya lukanya terbuka lagi." Gus Sahil dengan cekatan membawa barang-barang yang semula dibawa Ustadz Amar. "Cepat, cepat,"

Ustadz Amar pun segera diiring masuk ke dalam rumah.

...----------------...

Setelah membersihkan diri dan makan bersama, Syahla mulai menceritakan rentetan kejadian kemarin malam. Semua orang yang mendengarkannya menahan napas, tidak bisa membayangkan betapa menegangkannya kejadian malam itu.

"Sebenarnya kami semua sudah dengar ceritanya sekilas, tapi Abah nggak nyangka kalau kejadiannya bakal seseram itu," Abah Baharuddin kemudian beralih menatap Ustadz Amar. "Terimakasih karena sudah menyelamatkan anak kami Ustadz,"

"Sama-sama Abah," Ustadz Amar kembali tersenyum. Dia juga sudah bersih-bersih, perban di lengannya sudah diganti yang baru.

"Memangnya, Abah sudah dengar soal kejadian itu dari mana?" Syahla mengerutkan keningnya. "Syahla kan baru cerita sama kalian hari ini,"

"Ustadz Amar yang menelepon Mas," Gus Sahil menjawab. "Dia langsung menghubungi kami malam itu. Bilang untuk tidak perlu khawatir karena kamu baik-baik saja. Tapi Ustadz tidak cerita kalau dia terluka parah,"

"Lukanya memang tidak terlalu parah Gus," tukas Ustadz Amar. "Dan tolong jangan panggil saya Ustadz lagi, panggil saja Amar."

"Tidak bisa Ustadz. Kami ini sangat menghormati para guru dari anak-anak kami. Apalagi njenengan sudah menyelamatkan nyawa anak saya. Jadi biarlah kami panggil seperti itu, anggap saja gelar kehormatan,"

Ustadz Amar menganggukkan kepala mendengar penjelasan Abah Baharuddin.

"Sekarang, Umi harus bicara serius," Nada bicara Umi Zahra tiba-tiba berubah tegas. "Syahla, ayo ikut Umi ke ruang tengah,"

Syahla menoleh ke arah Hafsa yang duduk di sampingnya, mencoba bertanya apa yang mau dibicarakan oleh uminya itu. Tapi anggukan kepala Hafsa membuatnya tidak bertanya lagi dan mengikuti Umi Zahra ke ruang tengah.

...----------------...

"Nduk," Umi Zahra memulai percakapan serius mereka. "Mulai sekarang, kamu kuliah saja di sini. Jangan di Jakarta. Bahaya."

"Umi!" Syahla bangkit dari duduknya. "Nggak bisa! Syahla harus kuliah di sana! Itu sudah jadi impian Syahla selama ini!"

"Syahla, kuliah dimana saja itu sama. Yang penting kan ilmunya, bukan tempatnya!"

"Bukan masalah itu Umi!" Syahla menghentakkan kakinya. "Tapi jurusannya! Di kampus sini nggak ada jurusan sastra Indonesia!"

"Kalau begitu cari saja jurusan lain, tidak harus jurusan itu kan?"

"Umi," Syahla sudah hampir menangis. "Syahla itu sudah tahu apa minat dan bakat Syahla. Syahla hobi menulis, dan ingin melanjutkan karir di bidang kepenulisan juga. Syahla nggak mau jurusan lain, karena Syahla nggak berminat masuk ke sana!"

"Tapi Nduk, keadaannya kan darurat. Umi khawatir kalau kejadian kemarin terjadi lagi sama kamu!"

"Tapi Syahla tetep pengen di sana Mi," Air mata Syahla sudah mengalir. "Apapun yang terjadi, Syahla harus tetap kuliah di Jakarta!"

Setelah berkata demikian, gadis itu melangkahkan kakinya menuju kamar dan menutup pintu sampai meninggalkan suara berdebam.

"Syahla!" Umi Zahra sudah mau mengomel, tapi Hafsa mencegahnya. "Biarkan dulu Umi. Biarkan Dek Syahla tenang dulu,"

Umi Zahra mengelus-elus dadanya. "Gimana ini Nduk? Susah sekali membujuk anak itu,"

"Tidak berhasil ya Mi?" Gus Sahil dan Abah Baharuddin rupanya mendengarkan dari ruang makan, berjalan menghampiri mereka. "Syahla memang anak yang berpendirian kuat. Kalau sudah memutuskan melakukan sesuatu, dia bakal melakukan itu walau dihalangi bagaimana pun juga."

Semua orang menghela napas berat.

"Kalau begitu, bagaimana kalau dia cuti kuliah dulu? Setidaknya sampai kerusuhan di Jakarta mereda dan bisa dipastikan keadaannya aman,"

Hafsa menggelengkan kepala mendengar pendapat sang suami. "Tidak mungkin Mas Gus. Saya lihat sendiri bagaimana perjuangan Dek Syahla untuk masuk ke kampus itu. Dia belajar setiap hari, mengerjakan latihan soal sampai lupa makan, dan akhirnya diterima di jurusan yang dia impikan. Kalau tiba-tiba disuruh cuti saat sedang semangat-semangatnya begini, saya juga merasa kasihan."

"Terus bagaimana?" Umi Zahra memijit-mijit kepalanya yang terasa pusing. "Memangnya ada solusi lain?"

Semua orang terdiam, sibuk memikirkan solusi yang tepat.

"Kalau boleh berpendapat.." Suara Ustadz Amar memecah keheningan di dalam ruangan itu. "Sebenarnya saya punya satu solusi,"

1
Yhunie Andrianie
oallaaahhh wes falling in love💞 rupa ny pak ustadz🤭🤭
Tia H.
😅😅😅 ustadz amar iseng ya cemburu nya lucu.
Ilham Bay
Luar biasa
Ilham Bay
Lumayan
Susanti Susanti
Luar biasa
Wiwin Almuid77
jadi inget pas di pesantren dulu ada temenku yg suka bikin cerpen gitu...
Vitamincyu
❤️❤️
Tia H.
duh si bulek bikin aku mewek aja.
Tia H.
bulek kalau patokannya bisa masak bisa nyuci g mungkin suami mu kabur haduh bulek bulek.
Tutus Roimatus
Luar biasa
Zayyin Arini Riza
Baru nemu judul novel ini dan ceritanya seru.. runtutan tulisannya apik, asik buat dibaca... keren...
Rose Reea
wadaw
Rose Reea
💕🌹🌹🌹💕
Andi Bahraeni
Lumayan
Rose Reea
🤣🤣🤣🤣🤣
Rose Reea
ciyeeeeeeh
Rose Reea
Halah jadi melow 🥲
Rose Reea
huhuy
Rose Reea
sa ae lu tadz 🤭
Rose Reea
🥰🥰🥰🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!