NovelToon NovelToon
Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: kaka_21

"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.

"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.

Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"

"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.

"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"

Diam.

"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.

Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5: Jalan Rahasia

Sore itu, di halaman belakang rumah Arlan yang sederhana, udara terasa hangat meski langit sudah mulai berubah menjadi oranye kemerahan. Tumpukan buku-buku bertumpuk di meja kayu tua, sisa-sisa percakapan yang sudah terlupakan. Arlan duduk dengan posisi santai di kursi panjang, tangan menggenggam gelas es teh yang tampaknya sudah hampir habis, sementara Cakra berdiri dengan tatapan penuh tekad, matanya jauh, seolah mencari jawaban di kejauhan.

“Kau serius, Cakra?” Arlan akhirnya membuka suara, matanya terbelalak saat melihat ekspresi wajah Cakra yang tidak menunjukkan rasa ragu sedikit pun. Ia menatapnya sejenak, seolah memastikan apakah temannya hanya bercanda.

Cakra mengangguk perlahan, tatapan matanya kini fokus pada Arlan. “Aku nggak main-main, Lan. Aku harus melakukannya. Aku mau ikut seleksi Akademi Militer, tanpa sepengetahuan ibu.”

Arlan melongo, hampir terjatuh dari kursinya saking kagetnya. Es teh yang ada di tangannya terlepas begitu saja, menjatuhkan cairannya ke tanah dengan bunyi keras. “Bro, jangan bercanda gitu. Lu pikir ini misi James Bond, apa?” Arlan tertawa kecil, mencoba menganggap ini semua hanya gurauan semata, meski ada keinginan untuk percaya pada keputusan Cakra.

Cakra hanya tersenyum tipis, matanya tidak bergeming dari tatapan Arlan. “Kalau lu takut, gue cari sidekick lain, Lan. Banyak yang siap jadi partner buat misi rahasia ini.” Cakra meletakkan tangannya di pinggang, berpura-pura serius, meski ia tahu persis apa yang sedang terjadi.

Arlan mendengus, merasa canggung tapi kemudian meluruskan punggungnya dengan sikap yang berlebihan. “SIAP BOS!” katanya dengan suara lantang, melemparkan tangan ke udara seolah baru saja mendapat panggilan tugas dari atasan. Ia sedikit tergagap, menyembunyikan rasa khawatir yang mulai muncul di dalam hatinya. “Tapi kalau nggak berhasil, lo harus traktir gue seminggu. Beneran deh, seminggu penuh!”

Cakra tertawa, suaranya rendah dan hangat. Ia mengulurkan tangannya, dan Arlan yang sempat bingung akhirnya meraih tangan Cakra dengan gerakan dramatis. “Deal!” jawab Cakra, senyumannya makin lebar.

“Yaudah, gue siap. Tapi lo tahu kan, kalau ini nggak gampang, kan?” Arlan melanjutkan, wajahnya kini lebih serius, meski masih ada kegembiraan yang bercampur. “Lu harus bisa nahan semua tantangannya. Ini bukan cuma soal fisik, tapi juga mental.”

Cakra mengangguk, tangannya yang terulur kini sudah kembali dijatuhkan ke samping tubuhnya. “Gue tahu, Lan. Gue tahu banget. Tapi ini bukan cuma soal ayah. Ini tentang apa yang gue pengen jadi. Tentang siapa gue nantinya.”

Arlan hanya menghela napas panjang, mata menatap Cakra dengan campuran kekaguman dan kecemasan. “Lo serius banget ya? Padahal kita baru kemarin-kemarin masih main PS, sekarang udah mikirin militer.”

Cakra tersenyum, memandang Arlan dengan tatapan tenang. “Jalan hidup emang nggak selalu yang kita kira, Lan. Ini yang harus gue pilih.”

Arlan terdiam sejenak, mencerna kata-kata Cakra. Lalu, dengan suara pelan namun penuh semangat, ia berkata, “Yaudah, gue ikut bantuin. Gue nggak ngerti apa-apa soal militer, tapi gue tahu caranya nyembunyiin sesuatu dari orangtua. Kalau perlu, gue bakal jadi mata-mata lo.”

Cakra tertawa lagi, kali ini lebih santai, seolah beban di pundaknya sedikit lebih ringan. “Lo emang teman yang baik, Lan. Gue nggak bisa lakuin ini tanpa lo.”

Arlan menepuk-nepuk punggung Cakra dengan semangat. “Bukan temen kalau nggak bantu, kan? Tapi ingat, gue masih nunggu traktiran itu. Seminggu penuh, ya!”

Dengan suasana yang mulai lebih ringan, Cakra merasa ada kekuatan baru yang muncul dalam dirinya. Di tengah semua keraguan, Arlan adalah teman yang selalu membuatnya merasa sedikit lebih ringan.

Dan begitu mereka berdua duduk kembali di kursi panjang, dengan tumpukan buku-buku yang ada di sekeliling mereka, rasanya dunia ini seolah menunggu untuk disusuri bersama, tanpa ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Malam hari di rumah Arlan. Cahaya lampu kamar yang temaram, layar TV memantulkan cahaya biru dari permainan yang sedang dimainkan oleh Cakra dan Arlan. Suasana tenang, dengan hanya suara controller yang dikendalikan dan tawa kecil yang muncul sesekali. Luar biasa nyaman, seperti dunia mereka berdua yang kecil dan tak terpengaruh apa pun.

Cakra menekan tombol di controller, menatap layar dengan fokus penuh. Arlan duduk di sampingnya, sesekali melirik Cakra, menyusun strategi untuk pertandingan game yang sedang mereka mainkan.

Ponsel Cakra bergetar di meja samping mereka, tetapi dia tidak bergerak. Sebuah panggilan masuk—nama Laras tertera jelas di layar ponsel.

“Lo nggak bakal angkat?” tanya Arlan, melihat Cakra yang hanya diam, tidak menyentuh ponselnya.

Cakra hanya menggelengkan kepala, menatap layar permainan. “Nggak deh. Lagi nggak mood,” jawabnya, suara cemas yang terselip di kata-katanya. Sesekali dia melemparkan pandangan ke layar ponsel, tapi segera menghindar.

Arlan mengangkat alis, sedikit curiga, tapi tak berkata apa-apa. Mereka kembali bermain, sampai beberapa menit kemudian, ponsel Cakra berbunyi lagi—sebuah panggilan ulang dari Laras.

“Loh, dia nggak berhenti ya?” Arlan mencibir. “Kayaknya lo ada masalah deh, Cakra.”

“Gue yang tahu masalahnya, Lan. Udah, fokus main aja!” Cakra menjawab cepat, sedikit menekan rasa canggung yang menggerogoti dadanya.

Namun, beberapa menit berlalu, dan tiba-tiba suara ketukan terdengar dari pintu rumah Arlan. Pintu terbuka perlahan, dan di sana berdiri Laras, dengan wajah penuh harapan, meskipun sedikit cemas.

Laras masuk tanpa menunggu jawaban dan langsung menghampiri Cakra, menarik tangan Cakra dengan gerakan cepat dan penuh perhatian. Dia tidak memberi kesempatan Cakra untuk berbicara, melingkarkan tangan di lehernya dengan erat.

“kamu kok nggak angkat telepon sih? Aku khawatir, Cakra!” Laras bersuara lembut, tapi jelas ada rasa kesal di balik kata-katanya.

Arlan yang melihat kejadian itu, terkejut namun diam sejenak, lalu akhirnya membuka mulut. “Hmm… kalian berdua ini apa-apaan sih, huh?” Arlan bersuara agak keras, matanya beralih dari Cakra ke Laras.

Cakra tersentak mendengar pertanyaan Arlan. Dia sedikit mendorong tubuh Laras agar bisa sedikit bernapas lega. “Nggak ada apa-apa, Lan,” jawabnya cepat, berusaha menyembunyikan perasaannya yang mulai terungkap di hadapan sahabatnya.

Laras hanya tersenyum tipis, tapi tetap tidak melepaskan pelukan di leher Cakra. Dia tahu bahwa jawaban itu tidak sepenuhnya meyakinkan. Matanya menatap Arlan sejenak, kemudian kembali pada Cakra, mencari penjelasan tanpa perlu kata-kata.

Arlan mendengus pelan, menyandarkan tubuh di kursi dan menyilangkan tangan di dada. “Lo tau kan, gue nggak bakal diem aja, kan? Kalau ada yang aneh, gue bakal tanya.”

Namun, Cakra hanya tersenyum canggung, berusaha menenangkan suasana yang mulai menegangkan. “Nggak ada yang aneh, Lan. Lo terlalu mikirin hal-hal nggak penting.” Cakra berusaha melepaskan cengkeraman Laras dari lehernya, tapi Laras hanya semakin erat.

Laras tak membalas kata-kata Arlan, melainkan hanya mengangguk pelan, menatap Cakra dengan tatapan penuh makna. “Kita cuma teman, kan?” Laras akhirnya berbicara, suaranya agak pelan namun penuh arti, seolah menunggu jawaban yang lebih jujur.

Cakra menelan ludah, matanya bertemu dengan mata Laras. Ia merasa ada perasaan yang ingin ia ungkapkan, namun entah kenapa, kata-kata itu begitu sulit untuk keluar. “Iya, teman,” jawabnya terbata-bata, meskipun hatinya berkata lain.

Arlan menghela napas panjang, merasa bahwa dia tak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan malam ini. Dia melirik mereka berdua, menatap keheningan di antara mereka, lalu akhirnya menyerah. “Oke, gue capek nanya. Tapi lo berdua, hati-hati deh. Jangan terlalu rapat, nanti lo malah jadi bingung sendiri.”

Dengan pernyataan itu, Arlan bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke dapur. Cakra dan Laras terdiam, suasana menjadi lebih hening, meskipun ada ribuan kata yang tak terucapkan di antara mereka.

Laras menarik napas panjang dan menatap Cakra dengan penuh pertanyaan, “Jangan tutup-tutupin perasaanmu, Cakra,” katanya pelan. “Aku cuma pengen tahu, apa yang sebenarnya lo rasa.”

Namun, Cakra hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa bingung, takut akan konsekuensi dari kata-kata yang belum siap ia ucapkan.

Akhirnya, Laras mengendurkan pelukannya, meskipun hatinya terasa berat. “Ya sudah, gue pergi dulu ya. Tapi jangan lari dari masalah, Cakra.” Laras berkata dengan suara lembut, seolah memberikan kesempatan untuk Cakra merenung. Cakra hanya mengangguk pelan, menatap Laras yang berjalan pergi, meninggalkan ruang yang kosong dan penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.

Sore hari di lapangan sekolah yang kosong. Langit mulai berubah warna, dengan matahari yang perlahan tenggelam di balik horizon, menciptakan cahaya keemasan di sekeliling lapangan. Angin sore yang sejuk membuat suasana terasa damai, meskipun kegiatan yang sedang berlangsung di lapangan sangat berbeda.

Cakra mengenakan kaos olahraga dan celana pendek, wajahnya penuh fokus saat berlari keliling lapangan. Keringat menetes di dahinya, tapi ia tidak menghiraukannya. Setiap langkahnya penuh tekad, tubuhnya bergerak dengan ritme yang mantap, seolah ia sedang mengejar sesuatu yang lebih dari sekadar latihan biasa.

Sementara itu, Arlan duduk di tepi lapangan, memegang sebungkus keripik yang terus ia makan, sesekali melirik Cakra yang terus berlari. Di sebelahnya, tas ransel Cakra tergeletak begitu saja, sementara Arlan hampir tidak bergerak kecuali untuk menggigit keripik dan mengunyahnya dengan malas.

Cakra menyelesaikan lap terakhirnya,ia berhenti sejenak dan menarik napas dalam-dalam “Ayo, Lan! Masih banyak waktu! Lo belum mulai!”

Arlan mengunyah keripik dan menyeringai  “Gue udah mulai... Mulai mikir, ini ngapain sih.”

Cakra tersenyum, menggigit bibir menahan tawa. “Baru lari lima lap, udah lemes aja! Yuk, push-up, lanjutkan! Jangan nyerah!”

Arlan  mengangkat satu alis  “Push-up? Lo pikir gue aneh ya, harus nyiksa diri gini? Ini badan buat mikir, bukan buat kerja keras!”

Cakra hanya tertawa. “Baru lima push-up, nggak usah lebay! Ayo, ikut gue!”

Arlan meraih tanah dan memulai push-up dengan gerakan malas, tetapi setelah lima kali, tubuhnya langsung jatuh terkapar di rumput, menyerah begitu saja. Wajahnya menunjukkan ekspresi seperti baru saja berperang.

Arlan berlaga  dramatis “Gue nyerah! Badan gue ini buat mikir, bukan buat push-up! Apa lo kira gue superhero, sih?”

Cakra  tertawa lebar,ia mengambil duduk di samping Arlan  “Baru lima biji, Lan! Coba yang bener dong! Kalo mau jadi prajurit, nggak bisa gitu terus!”

Arlan menghela napas panjang,ia terbaring lemas di rumput  “Lo bilang bisa jadi prajurit, gue bilang yang bener aja. Gue nggak mau jadi tentara, gue mau jadi... pemikir!”

Cakra tersenyum, menepuk-nepuk punggung Arlan dengan cara yang penuh persahabatan. “Lanjut, Lan! Gue nggak akan berhenti sampe lo selesai! Nanti gue traktir lo makan nasi goreng, kalo lo bisa selesaiin latihan!”

Arlan (terbatuk, nyaris muntah karena kebanyakan ngemil sambil latihan): “Nasi goreng? Lo sih, ngasih motivasi yang salah. Nasi goreng! Gue bisa lanjut, tapi lo harus pastiin itu enak!”

Cakra menertawakan Arlan yang mengeluh, tapi dengan senyum yang tulus. Mereka berdua melanjutkan latihan, meskipun Arlan lebih sering meringis dan berkeluh kesah dari pada benar-benar berlatih. Namun, meskipun latihan itu penuh komedi, Cakra merasakannya sebagai bagian dari perjuangan yang lebih besar, dan Arlan tetap menjadi sahabat yang setia mendukung, meskipun dengan cara yang lucu dan unik.

Pagi hari yang cerah, suasana kota masih agak tenang dengan jalanan yang mulai ramai menjelang siang. Di luar, udara segar menyelimuti sekitarnya, sementara di dalam mobil Laras, suasana terasa sedikit lebih tegang dengan kegugupan Cakra yang semakin mencuat. Mereka sedang dalam perjalanan menuju tempat pendaftaran Akademi Militer.

Aksi:

Mobil Laras melaju di jalan yang panjang, namun tak lama kemudian, Cakra terlihat bingung sambil melirik-liirik sekelilingnya. “Tunggu, Laras... ini jalan yang kita cari bukan sih?” Cakra melirik peta di layar ponselnya, berusaha mencari petunjuk.

Laras menatap Cakra dengan tatapan tak percaya. “Katanya belok kiri, kok malah masuk gang buntu?! Ini apa-apaan?!”

Cakra menggigit bibir, mencoba tetap tenang sambil memutar kemudi. “Aku... aku juga bingung, deh. Mungkin ada kesalahan di peta...”

Laras menghela napas, merasa semakin jengkel. “Lo malah nyasar gini, bisa-bisanya bikin aku bingung! Bener-bener, Cakra! Udah deh, kalau gitu mending gue yang nyetir!”

Cakra menahan tawa, meskipun ada rasa canggung yang menggelayuti. “Nggak, kok. Nanti malah makin kacau... Tunggu, bentar lagi kita sampai!”

Di tengah perdebatan kecil itu, Arlan yang duduk di kursi belakang hanya diam, sesekali melemparkan pandangan geli kepada kedua sahabatnya. “Kalian berdua sih, ributnya kayak orang tua aja. Terus, kapan nyampe?”

Laras mendengus sambil mengerutkan dahi. “Tadi lo bilang, bakal ikut daftar, tapi kenapa malah diem aja?”

Arlan mengangkat bahu, pura-pura tak peduli. “Gue baru nyadar... kalau makanannya di akademi itu enak banget, kan? Jadi, gue ikut mendaftar juga, biar dapat jatah makan!”

Cakra yang mendengarnya langsung terkekeh, lalu menyipitkan mata. “Awas aja kalau lo jadi militer cuma buat makan doang, Lan.”

Setelah beberapa putaran dan belokan yang salah, akhirnya mereka tiba di tempat pendaftaran. Cakra, yang sudah mulai sedikit tenang, membuka pintu mobil dan langsung melangkah keluar dengan langkah pasti—meskipun masih ada sedikit keraguan di wajahnya. Laras mengikuti di belakangnya, sementara Arlan dengan santai mengikutinya, masih membawa berkas pendaftaran yang dia dapatkan dari Cakra.

Dialog:

Di dalam ruangan pendaftaran, suasana terasa formal dengan beberapa calon peserta lain yang juga mendaftar. Cakra mulai merasa gugup, tangannya sedikit gemetar saat memegang formulir pendaftaran. Laras yang melihatnya langsung memandanginya dengan tatapan bingung.

Laras (dengan nada kesal): “Gila, cuma mendaftar aja kok grogi banget sih? Lo pikir bakal ditembak di tempat gitu?”

Cakra menatap Laras dengan mata agak cemas, kemudian melirik formulir di tangannya. “Aku nggak tahu, Laras. Ini kan serius... gak kayak ujian biasa.”

Laras menghela napas panjang, meraih formulir yang ada di tangan Cakra dan mulai mengisinya sendiri. “Untung gue sabar. Kalau nggak, lo berdua udah gue tinggal di sini!” katanya dengan nada setengah sewot, sambil menulis di formulir.

Cakra hanya bisa tertawa kecut. “Demi bangsa, Laras. Demi kamu juga!”

Arlan yang mendekat dengan berkasnya sambil mengangkat tangan, berdiri tegak seperti seorang tentara. “Agent Arlan, reporting for duty!” katanya dengan gaya penuh percaya diri.

Laras menoleh dengan tatapan heran, menahan tawa. “Kamu serius, Lan?”

Arlan mengangguk penuh gaya. “Tentu! Ini demi nasi goreng enak yang katanya ada di akademi. Misi aku sukses!”

Cakra hanya bisa tertawa melihat Arlan yang begitu polos. “Oke deh, Lan. Sukses banget nih!”

Kantin akademi yang ramai, dengan suara obrolan dan tawa para calon siswa yang sedang menikmati istirahat. Meja tempat Cakra, Laras, dan Arlan duduk terletak di sudut kantin, agak jauh dari keramaian. Beberapa camilan terhidang di meja, dan udara panas siang itu terasa menyengat.

Cakra dan Laras duduk berhadapan di meja, sementara Arlan yang duduk di samping mereka tampak asyik dengan ponselnya, sesekali melirik ke layar dengan ekspresi bosan. Cakra mengambil sepotong camilan, lalu menoleh ke Laras dengan tatapan penuh rasa terima kasih.

"Eeh, Laras... terima kasih ya, udah nemenin aku tadi di pendaftaran. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku masih kelamaan di depan formulir itu." Laras tersenyum, tetapi terlihat sedikit canggung. Ia mengangkat camilan dari piring dan memakannya pelan-pelan.

"Sama-sama, Cakra. Itu cuma hal kecil kok. Lagian, itu juga buat kamu." Mereka berdua saling bertukar pandang, merasa ada ikatan yang lebih dalam setelah melalui pengalaman pendaftaran bersama.

"Jadi, gimana? Kamu udah yakin masuk akademi militer? Itu pilihan besar, lho."

Merenung sejenak, ko berkaca-kaca meskipun ia berusaha tampak tenang.

"Aku cuma... nggak mau nyesel, Laras. Ayah dulu sering cerita tentang betapa pentingnya jadi bagian dari militer. Rasanya... kalau aku nggak coba, aku bakal nyesel seumur hidup."

Laras mengangguk, mencoba memahami perasaan Cakra yang sedang bergejolak, meskipun dia sendiri merasa sedikit khawatir.

"Iya, aku ngerti kok. Cuma... kamu yakin bisa tahan semua tantangan itu? Apalagi nanti jauh dari rumah, jauh dari orang-orang yang kamu sayang." Perasaan khawatir Laras muncul, meski ia berusaha tidak menunjukkan ketakutannya.

Tersenyum, mencoba meyakinkan Laras.

"Aku pikir, ini bukan soal seberapa jauh atau dekatnya. Ini tentang apa yang ingin aku capai, dan bagaimana aku melihat masa depan. Kalau nanti ternyata nggak berhasil, ya nggak apa-apa. Setidaknya aku tahu aku udah coba."

Laras menatap Cakra, perasaan cemasnya perlahan mereda, meskipun di dalam hatinya, dia tahu ini bukan jalan yang mudah bagi Cakra.

Arlan iba-tiba memotong percakapan mereka, tak bisa menahan rasa muaknya.

"Eh, eh, eh... kalian berdua ini! Mending pacaran di luar sana, jangan di sini, deh!"

Arlan masih sibuk dengan ponselnya, namun matanya melirik ke Cakra dan Laras dengan ekspresi kesal, seperti sudah muak dengan suasana yang terlalu serius.

Cakra enoleh ke Arlan dengan senyum tipis, sedikit bingung dengan komentar Arlan.

"Kamu kenapa, Lan? Kenapa kayaknya bete banget?"

Memandang ke layar ponselnya, lalu menghempaskan ponselnya ke meja dengan suara keras. "Ya ampun, kalian ini! Gue udah mati gaya liatnya. Ini kan jam istirahat, bukan saatnya ngomongin hal serius gini. Gue sih mendingan nge-game aja daripada liat kalian berdua saling tatap-tatapan kayak gitu!"

Laras tertawa, merasa sedikit lega dengan interaksi konyol Arlan yang mengingatkan mereka bahwa tidak semuanya perlu dibahas dengan serius.

Laras tersenyum lebar, merasa sedikit terhibur oleh Arlan.

"Ya udah deh, Lan. Kamu emang nggak pernah bisa serius ya? Baru denger dikit udah ngeselin aja."

Meskipun sedikit jengkel, Laras merasa senang melihat Arlan kembali dengan sikapnya yang biasa. Namun, di sisi lain, dia juga merasa ada yang sedikit mengganjal di hatinya—hubungan mereka berdua semakin rumit.

Arlan memberikan saran sambil mengangkat gelas minumnya, berusaha terlihat santai dan tidak peduli.

"Serius, deh. Gue nggak peduli sama pacaran-pacaran kalian. Tapi yang jelas, mendingan kalian cari tempat lain buat ngabisin waktu berdua. Di sini nggak cocok, bro." Sambil tertawa keras, Arlan kembali memainkan ponselnya, mengabaikan respons Cakra dan Laras.

1
Siyantin Soebianto
ceritanya jadi penisirin gini ya😇
Nanang
SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇
kaka_21: siap kakak,terimakasih udah mampir
total 1 replies
piyo lika pelicia
semangat ☺️
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf
kaka_21: baik kak, terimakasih
total 1 replies
piyo lika pelicia
Assalamualaikum, paman pulang! waduh ... makan apa nih?"
piyo lika pelicia
Tiba-tiba pintu terbuka
piyo lika pelicia
Rama
piyo lika pelicia
"Ee.. kamu mau kemana" pake nanya. Virza tertawa kecil. "Aku mau
piyo lika pelicia
"Terimakasih, sepertinya tidak pernah."
piyo lika pelicia
ibu dan juga bapaknya kemana
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
tidak boleh berkata kasar pada anak mu sendiri 😒
kaka_21: sabar kak, sabar
total 1 replies
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
iklan untuk kakak ☺️
piyo lika pelicia
dasar ibu yang buruk
piyo lika pelicia
adik yang baik ☺️
piyo lika pelicia
"Eh, Riz. Ada apa?"
Inumaki Toge
Ayatnya enak dibaca,lanjut semangat ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!