Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 05 - Dejavu
"Tidak ada, matikan lampu."
Balas dendam atau bagaimana, Bima menyadari cara bicara Lengkara yang berbeda. Beruntung saja dia cepat mengalihkan pandangan, pria itu menghela napas lega lantaran hampir tertangkap basah menatap gundukan selimut itu sejak naik ke atas tempat tidur.
Pertama kali Bima diperintah seorang wanita, dia menurut begitu saja dan tidak ada sedikitpun rasa kesal di hatinya. Hanya mengandalkan temaram lampu tidur, Bima memilih bersandar dan menatap nanar tanpa arah.
Dia merenung, lagi dan lagi menghela napas panjang. Padahal, setelah bertemu Zean tdi sore, dia mengantuk luar biasa. Pria itu bahkan sempat menepi lebih dulu karena kantuknya tidak lagi tertahan, tapi kenapa ketika sudah berada di tempat tidur justru sama sekali tidak mengantuk begini.
"Bukan hanya latah ... tapi terkadang aku bingung di antara mereka siapa yang wanita. Jangan memaksakan kehendak, kau tidak mungkin akan menyamar selamanya. Lambat laun Kara akan tahu, jadi tidak perlu merubah dirimu seperti Yudha."
Bima memejamkan matanya, kepala pria itu terasa sedikit sakit. Sejak awal menerima tanggung jawab dia sudah berpikir bagaimana caranya membuat wanita itu luluh. Seperti harapan Yudha, perlahan Lengkara akan cinta dan menerima kenyataan bahwa yang di sisinya adalah Bimantara.
Untuk membuatnya cinta, Bima harus mengimbangi bagaimana cara Yudha meratukannya. Namun, belum apa-apa dia sudah salah langkah, terlebih lagi mereka belum pernah bertemu secara langsung bertiga, jelas saja Bima bingung bagaimana mereka berinteraksi sebenarnya.
Jika hanya mengandalkan pengetahuannya saja, dia bisa menarik kesimpulan bahwa Yudha tidak jauh berbeda seperti presenter gosip. Ya, mirip-mirip begitu bahkan gerak tubuhnya tidak jauh berbeda. Hanya saja, Bima mengira jika di hadapan wanitanya, Yudha akan berbeda.
Namun, dugaan semacam itu agaknya salah. Hal ini sudah terbukti dengan pertanyaan Lengkara ketika mereka duduk bersama. Ya, pertanyaan masalah ayam dan kebiasaan latahnya Yudha.
Cukup lama Bima tenggelam dalam lamunan, berpikir bagaimana langkahnya ke depan. Baru juga sehari, tapi sudah begini. Dia tidak sengaja menyakiti, wanita itu menangis karena penolakannya.
Padahal, alasan dia menolak juga demi Lengkara sendiri. Sekalipun Yudha mengatakan rela, dia menerima dan hidup Lengkara menjadi milik pria lain seutuhnya, tapi Bima tetap tidak bisa, tepatnya tidak tega dan tidak ingin mencuri kesempatan yang nantinya terkesan membodohi Lengkara.
Selang beberapa lama, Bima dibuat terkejut dengan Lengkara yang tampak gelisah di bawah selimut. Awalnya Bima menduga jika wanita itu kepanasan, tapi setelah Bima menyingkap selimutnya, Lengkara masih sama.
Wanita itu gelisah, seperti akan menangis dengan keringat yang membasah di keningnya. Hendak bagaimana? Bima tidak memiliki pengalaman menenangkan seseorang bermimpi buruk seperti ini.
"Lengkara ... hei, bangunlah." Hanya itu yang bisa dia lakukan, memangil namanya seraya menepuk pelan wajah wanita itu.
"Yudha!!!!"
Bersamaan dengan napas yang terengah-engah, Lengkara terbangun usai berteriak kencang bahkan membuat jantung Bima berdetak dua kali lebih cepat. Tatapannya tampak kosong, dia baru sedikit lebih tenang setelah Bima menghidupkan lampu.
"Mimpi buruk?" tanyanya singkat, Lengkara masih mengatur napas dan belum menerima air mineral yang Bima berikan.
Lengkara mengusap kasar wajahnya, kenapa mimpi yang sudah lama berlalu kembali berulang juga. Persis sama, sungai dan suasana yang sama. Satu kalimat yang Lengkara ingat, aku tidak pergi.
"Mas." Lengkara mendongak dan menatap lekat wajah sang suami. Dia tidak memusingkan kenapa dan kenapa, mungkin marah juga setelah tuduhan berkedok pertanyaan yang dia lontarkan.
"Minumlah, tenggorokanmu akan sakit nanti."
Awalnya dia ingin mengadu, dia bermimpi yang sama seperti dahulu. Namun, mendapati wajah pria itu masih datar, Lengkara mengurungkan niatnya.
Usai menenangkan diri, Lengkara kembali tidur membelakangi Bima. Kemungkinan besar marahnya akan berlangsung hingga esok hari. Atau mungkin lebih, Bima tidak tahu juga.
.
.
Sesuai dugaan, keesokan harinya Lengkara masih seperti semalam. Bima tidak membujuknya, dia berpikir memang begitu wajah Lengkara. Hingga, ketika Bima hendak pamit, Lengkara tiba-tiba mengikuti langkahnya menuju halaman depan.
"Mau kemana?"
"Antar ke rumah, aku ingin bertemu Ameera," ucapnya tanpa memandang ke arah Bima, wajah cemberut dengan rambut kusut itu sama sekali tidak cocok untuk keluar rumah.
"Tapi aku_"
"Aku apa? Sibuk? Tidak punya waktu buat mengantarku? Begitu saja terus, kita sudah menikah tapi kamu makin sibuk ... tahu begini mending_"
"Naiklah, aku akan mengantarmu," ucapnya tenang mengakhiri perdebatan, telinganya tidak sekuat itu menghadapi omelan Lengkara.
"Mas kenapa sih? Apa karena makin cakep terus kaya mas begini? Mas tidak sayang aku lagi?" tanya Lengkara yang memang sejak dahulu suka cari perkara, pria itu memijit pelipisnya dan menghela napas perlahan.
"Sayang ... sangat-sangat sayang, naiklah aku bisa terlambat," tekan Bima kemudian menarik pergelangan tangan Lengkara, percayalah untuk seseorang yang belum pernah menjalin hubungan jelas saja terkejut mendapati watak wanita yang begini.
"Ini yang kau bilang penurut dan manis, Yudha?"
.
.
- To Be Continued -