Setelah sepuluh tahun berumah tangga, akhirnya Sri Lestari, atau biasa di panggil Tari, bisa pisah juga dari rumah orang tuanya.
Sekarang, dia memilih membangun rumah sendiri, yang tak jauh dari rumah kedua orang tuanya
Namun, siapa sangka, keputusan Tari pisah rumah, malah membuat masalah lain. Dia menjadi bahan olok-olokan dari tetangganya.
Tetangga yang dulunya dikenal baik, ternyata malah menjadikannya samsak untuk bahan gosip.
Yuk, ikuti kisah Khalisa serta tetangganya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perintah Rohani
Akhirnya, Amar berhasil membuka bengkel las kembali.
Ya, namanya juga usaha. Sudah satu tahun, Amar hanya menerima kerjaan-kerjaan kecil. Belum ada yang menggunakan jasanya untuk membuat pagar ataupun sekedar pintu-pintu bagasi.
Amar banyak menerima hiasan-hiasan untuk peletakan pot-pot bunga.
Dan sesekali, dia menerima pesanan ayunan baik dari sekolah tk, ataupun orang-orang yang berada.
"Maaf ya mak, belum bisa menggantikan uang emak," ujar Amar, kala menikmati sarapan pagi.
"Ya mau bagaimana lagi, kamu harus berhemat Andin ... Jangan suka foya-foya, gak usah lah, pesan paket-paket itu setiap harinya," sinis Rohani melirik Andin.
"Itu gratis mak, kan udah berulang kali aku katakan sama emak, itu sampel gratis ... Sekarang aku jadi affiliate di aplikasi tikt*k," terang Andin mencoba bersabar, dengan tuduhan yang setiap hari di dengarnya.
"Affiliate, affiliate ... Mak tahu, emak udah tua. Tapi mak bukan orang bodoh, yang gampang di bodohi, mak tahu kamu bohong," sindirnya lagi.
"Benar mak, sekarang istriku jualan di tikt*k ... Dia hanya mempromosikan barang-barang itu melalui vidionya ... Nanti, jika orang-orang tertarik, dan membeli lewat vidio Andin, nanti Andin mendapatkan komisi," papar Amar ikut menjelaskan. "Emak pikir, uang belanja selama ini dari mana? Ya dari Andin mak, kita makan pakai uangnya," sambung Amar lagi.
Rohani hanya bisa mengunci mulutnya, kala Amar sudah angkat bicara. Dia takut, takut kembali anaknya pergi merantau. Apalagi, sekarang dia udah gak punya pemasukan yang banyak, seperti yang sebelum-sebelumnya.
Tapi, walaupun mulutnya diam Dalam hati, dia kembali menggerutu, karena tidak percaya dengan ucapan Andin dan Amar.
"Mana ada orang yang mau memberinya barang gratis," monolog Rohani.
Setelah Amar pergi bekerja, Rohani memutar mata malas, kala melihat keseharian Andin yang hanya tahu membuat video dari panselnya.
Namun, dia tak berani mengganggu, apalagi kala Amar mengatakan jika selama ini, mereka mengandalkan uang dari Andin untuk kebutuhan sehari-hari.
Kalau dia mah, ogah mengeluarkan uang untuk makan tiga orang lainnya.
Dari pada semakin panas melihat kelakuan menantunya. Rohani memilih keluar untuk sekedar menghirup udara segar.
Dia memilih untuk duduk di warung lain, yang biasanya menjadi tempat berkumpul ibu-ibu, untuk membahas masalah orang kampung yang tak habisnya.
"Sepi ya bu Mar, apalagi sejak Azhar buka warung," Rohani basa-basi.
"Namanya juga rezeki bu, disana juga udah serba ada. Bukan kayak warung saya," balas penjaga warung yang di panggil bu Mar.
"Bu Mar heran gak? Masak, semenjak buka warung dia bisa membeli segalanya," Rohani mulai gencar.
"Ya, gak heran sih ... Apalagi, jika warung lengkap kayak gitu. Yang herannya, kenapa setiap bu Rohani datang kesini, selalu saja membicarakan orang lain? Saya udah tobat bu, kan dengar sendiri saat mejelis kemarin, kita di larang menggosip," tutur bu Mar.
Rohani memutar mata malas, dia menatap bu Mar dengan tatapan sinis. Wanita yang dulu kerap mendukungnya, perlahan-lahan mulai menjauhinya. Dan Rohani tahu betul, alasan dibalik semua itu ialah, karena sekarang dia udah tidak sekaya dulu.
Sawah dan kebunnya mulai ada yang di jual. Dan pasti, itu sedikit menurunkan pamornya di mata orang-orang kampung.
"Tapi ini kebenaran loh," Rohani kembali mencoba membuka mulut. Mengajak bu Mar, kembali mendukungnya.
"Kalo benar kita bergosip, kalo salah jatuhnya fitnah ... Aku gak mau kedua-duanya," tolak bu Mar, melarang Rohani menyeretnya dalam jerat dosa.
Tak ada cara lain, Rohani memilih meninggalkan warung bu Mar. Dia melangkah ke arah rumah adiknya. Disana lah, dia masih di terima dengan baik.
Nurma yang sedang mencabut rumput di halamannya menyambut kedatangan kakak tercintanya.
"Tumben ke sini kak, duduk dulu," ujar Nurma, mencuci tangannya di kran samping rumah.
"Ya, jalan-jalan, agak suntuk di rumah terus, cucumu kemana?" tanya Rohani basa-basi.
"Sekolah kak," kekeh Nurma, duduk disisi Rohani. "Suntuk kenapa sih kak?"
"Suntuk melihat kelakuan Andin. Setiap harinya, hanya tahu main hp, pesan barang, dan bikin-bikin video," adu Rohani.
"Tapi, kata anak Juli, si Andin udah jualan di tikt*k, katanya bisa mengahasilkan duit, jika ada orang beli dari videonya gitu," jelas Nurma.
"Tapi, gak masuk akal gak sih, masak bisa dapat duit dari ponsel," Rohani masih menyanggahnya.
"Namanya juga jaman udah canggih. Anak Juli bisa dapat puluhan ribu dari siaran langsung di tikt*k," terang Nurma lagi.
Rohani manggut-manggut. Setidaknya kehadiran Andin tidak menjadi beban untuk Amar. Dia bisa sedikit membantu keuangan anaknya.
Pembicaraan keduanya terus berlanjut. Sesekali, Rohani mulai menyoroti orang-orang yang menurutnya tidak berkenan di hatinya. Termasuk bu Mar, tentang peristiwa di warung tadi.
Tak hanya bu Mar, bu Suryani dan Sari juga tak luput dari mulutnya.
Bahkan Rohani mulai menilai jika sekarang Sari sudah sombong. Mentang-mentang Azhar sudah berhasil, Sari mulai jarang upah di sawah orang lain.
Dan bahkan, sawah sendiri saja dia malah menyuruh orang lain untuk bekerja. Sekarang Sari di nilai terlalu memanfaatkan Azhar.
Karena hampir masuk waktu dhuhur, Rohani memutuskan untuk pulang.
Sampai di rumah, Andin telah menyiapkan makan. Beserta bekal untuk di antar ke Amar.
"Titip Nisa ya mak, dia lagi tidur siang," ucap Andin, kala melihat mertuanya.
"Heum," lirih Rohani.
Rohani berjalam ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, setelah itu masuk ke kamarnya untuk melakukan kewajibannya.
Setelah salat, Rohani mengambil piring di dapur, dan mengisinya. Baru lah, dia berjalan duduk di depan kamar Andin dan Amar, untuk menjaga Nisa, takut-takut kalau anak yang udah tiga tahun lebih itu menangis.
"Kamu dan Amar, kenapa tidak memberi adik untuk Nisa? Dia kan, udah tiga tahun lebih," ujar Rohani kala Andin hendak masuk kamar.
"Kami sepakat, untuk tidak hamil dalam waktu dekat ini mak," sahut Rohani.
"Kenapa? Toh hamil bukan aib ... Lagi pula, selama hamil kamu ku jaga dengan baik, begitu juga saat melahirkan," tanya Rohani.
"Tapi aju gak mau mak, aku gak mau hamil dalam waktu dekat. Emak sendiri lihat kan, bagaimana usaha bang Amar sekarang, jadi keputusan kami berdua sudah bulat," tegas Andin.
"Anak-anak sekarang memang aneh ... Hamil di anggap petaka, padahal hamil itu sebuah keberkahan, lagipula, setiap anak membawa rezekinya masing-masing, gak usah takut," keukeh Rohani. "Lagipula, mumpung sekarang Amar masih kuat bekerja,"
"Kalo mau cucu yang banyak, kenapa emak dulu hanya punya dua anak? Seharusnya minimal anak emak tujuh, dan soal bang Amar kuat atau tidak, salah mak sendiri, tidak mengizinkannya menikah lebih awal," sahut Andin.
Rohani yang hendak membalas lagi, terpaksa di urungkan, kala mendengar suara tangis dari cucunya.
Semoga masalahnya lekas membaik thor