NovelToon NovelToon
Bayangan Sang Triliuner

Bayangan Sang Triliuner

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Berita yg meresahkan

“Iya, itu saya,” jawab Atha singkat.

Mereka pun berbincang santai sejenak. Setelah hampir setengah jam berlalu, Atha dan Fandi berpamitan untuk pulang. Ketiga gadis itu mengantar mereka hingga ke depan rumah.

Tiinn…

Bunyi klakson Fandi terdengar pelan sebagai tanda perpisahan.

Ketiganya saling berpandangan, lalu menghela napas bersamaan.

“Dugaan kita benar,” ujar Rami akhirnya.

“Benar apanya?” tanya Rora, menoleh.

“Guru ternyata masih punya hubungan keluarga dengan mereka,” jawab Rami.

“Iya sih… tapi kan dari awal siapa yang bilang Kak Fandi anaknya guru?” Rora mengangkat satu alisnya.

“Sudah, ayo masuk,” potong Epi.

Mereka kembali ke dalam dan duduk di ruang tengah.

“Sekarang bagaimana?” tanya Rami. “Apa kita harus cari kerja baru?”

“Itu juga yang kupikirkan,” sahut Rora. “Tapi kalau dipikir-pikir, tabungan kita sudah lumayan. Bagaimana kalau beli rumah saja?”

“Gila! Rumah itu mahal, woy,” kata Rami ketus.

“Patungan lah,” balas Rora. “Kan buat kita tinggal bareng juga.”

“Perumahan zaman sekarang mahal semua. Lagi pula aku nggak mau beli rumah bekas. Kita nggak tahu sebelumnya dipakai buat apa,” Rami menggeleng tidak setuju.

“Bagaimana kalau kita beli tanah, lalu bangun rumah sendiri?” kata Epi tiba-tiba.

“Nah, itu lebih gila lagi, Pi,” Rami mendecak. “Uang dari mana? Di Jakarta, tanah pasti mahal.”

“Kalau soal uang, ada,” jawab Epi tenang. “Guru pernah memberiku sebuah kartu tabungan. Aku cek kemarin… dari dulu saldonya selalu bertambah. Sepertinya ada aliran dana dari keluarga Dirgantara.”

“Serius?” Rora terkejut. “Kamu dikasih guru?”

“Iya,” jawab Epi. “Dulu guru memang memberikannya padaku. Katanya untuk menarik uang dan belanja kebutuhan padepokan. Aku yang pegang.”

“Kalau dipikir-pikir, masuk akal,” sambung Rami. “Guru nggak pernah kerja di luar padepokan, tapi kita juga nggak pernah kekurangan.”

“Tapi apa nggak apa-apa kalau kita pakai uang itu?” tanya Rora ragu.

“Aku rasa nggak masalah,” kata Epi. “Kita buatkan juga satu kamar khusus buat guru. Jadi kalau beliau kembali, beliau bisa tinggal bersama kita. Untuk sekarang, kita fokus cari guru dulu.”

“Berarti kita harus keluar malam?” tanya Rami.

“Sepertinya begitu,” jawab Epi. “Dan kita butuh satu motor lagi.”

“Oya, soal rumah tadi,” Rora menimpali. “Kalau mau beli tanah, kita cari di mana?”

“Nanti malam kita keliling saja,” jawab Rami. “Biasanya suka ada spanduk ‘Tanah Dijual’.”

“Iya juga, ya,” gumam Rora.

“Sudahlah, kita nonton TV saja. Lihat ada berita apa hari ini,” kata Rora sambil menyalakan televisi.

Tak lama kemudian, wajah ketiga gadis itu berubah serius. Layar televisi menampilkan berita terkini yang menggemparkan Jakarta dan sekitarnya.

Breaking News:

Telah ditemukan kembali kepala manusia di tempat pembuangan sampah. Seperti kasus sebelumnya, yang ditemukan hanyalah bagian kepala, sementara tubuh korban tidak diketahui keberadaannya. Dalam tiga hari terakhir, tercatat sepuluh orang menghilang, dan saat ditemukan hanya tersisa bagian kepala. Aparat masih melakukan penyelidikan. Masyarakat diimbau untuk tidak keluar rumah setelah waktu magrib demi keamanan bersama.

Suasana ruang tengah mendadak sunyi.

“Gila… dalam tiga hari sudah sepuluh orang hilang, dan yang ditemukan cuma kepala. Lalu di mana tubuhnya yang lain, ya?” tanya Rami, wajahnya pucat sekaligus penasaran.

“Pasti ini ulah sindikat mafia,” ucap Rora serius.

“Jadi gimana dong? Kita dilarang keluar, nih,” keluh Rami.

“Itu kan untuk orang yang nggak bisa bela diri,” kata Epi sambil tersenyum miring. “Kita bisa keluar.”

“Kau serius?” tanya Rami dan Rora bersamaan.

“Yah, bukankah guru saat ini entah siapa yang mengincarnya? Setidaknya, jika kita sudah terjun ke bawah tanah, kita akan tahu semua,” kata Epi.

“Benar juga, ya,” kata Rora mengangguk.

“Jadi gimana, beli motor aja deh. Soal kesulitan, cuma satu,” kata Rami.

“Kita beli mobil saja,” kata Epi santai.

“Gila, itu mahal woy! Belum lagi mau beli tanah,” kata Rami.

“Kita butuh mobil untuk menyimpan pedang, juga bisa kita sembunyikan. Kalau pakai motor, mau taruh pedang di mana? Keluar tanpa senjata sama saja bunuh diri,” kata Epi.

“Yah, kami tahu, tapi uang dari mana?” tanya Rami.

“Jangan bilang…” kata Rora menatap Epi curiga.

“Yah, uang dari guru. Aku yakin guru juga akan mengerti. Aku ingin membeli Jeep Wrangler Rubicon warna hitam,” kata Epi.

“Gila, itu mobil keren, tapi mahal banget tuh,” kata Rami.

“Ya udah, sih. Kalau Epi mau, guru kadang kalau kita tunjuk, langsung dibeliin,” kata Rora.

“Yah, juga sih. Aku setuju, naik mobil itu keren banget! Kapan kita pergi beli?” tanya Rami semangat.

“Kalau gitu, ayo kita pergi sekarang,” kata Rora.

Ketiga gadis itu pun bersiap. 15 menit kemudian, mereka sudah keluar, dan taksi sudah menunggu. Mereka segera naik, dan perjalanan pun dimulai. Setelah 35 menit, mereka sampai di dealer resmi.

Begitu masuk, mereka langsung disambut oleh petugas dealer.

“Selamat datang, Mbak,” sapa seorang staf showroom dengan senyum profesional. “Ada yang bisa kami bantu?”

Epi mengangguk singkat. Tatapannya langsung tertuju pada sebuah Jeep Wrangler Rubicon hitam yang berdiri gagah di tengah ruangan.

“Saya mau lihat Rubicon,” ucapnya tenang.

Rami bersiul pelan. “Yang hitam itu kelihatan sangar.”

Rora mengangguk setuju. “Cocok sama kamu.”

Staf itu mengikuti arah pandang Epi. “Jeep Wrangler Rubicon warna hitam, Mbak. Unit terbaru. Silakan.”

Mereka mendekat. Epi mengitari mobil itu perlahan. Jemarinya menyentuh bodi hitam doff yang dingin dan kokoh.

“Mesinnya?” tanya Epi tanpa menoleh.

“2.0L turbo, penggerak empat roda penuh. Suspensi Rubicon, siap medan berat,” jelas staf tersebut.

Rami mengintip ke dalam kabin. “Interiornya nyaman.”

“Full leather, head unit besar, dan sistem off-road lengkap,” lanjutnya.

Epi membuka pintu pengemudi, duduk sejenak, lalu tersenyum tipis.

“Ini yang aku cari.”

Rora menyandarkan tangan di pintu. “Yakin?”

Epi menutup pintu dengan bunyi mantap. “Iya.”

“Harganya?” tanyanya singkat.

Staf itu menyebutkan angka.

Rami melirik Epi. “Kamu tenang banget dengarnya.”

“Karena ini perlu,” jawab Epi datar.

Staf itu langsung sigap. “Kalau begitu, kita bisa lanjut prosesnya sekarang, Mbak.”

“Sekarang,” kata Epi mantap.

Rami dan Rora saling pandang, lalu tersenyum kecil.

Beberapa waktu kemudian, Epi berdiri di samping Jeep Wrangler Rubicon hitam yang kini sudah berpelat sementara. Lampu showroom memantul di bodinya, membuat mobil itu terlihat semakin gagah.

Seorang staf perempuan mendekat sambil membawa map dan sebuah kotak kecil.

“Dokumen sudah lengkap, Mbak Epi,” katanya ramah. “Ini kuncinya.”

Dua buah remote kunci berpindah tangan. Berat dan dinginnya terasa nyata di telapak Epi.

“Terima kasih,” ucapnya singkat.

Rami menepuk ringan lengan Epi. “Jadi ini resmi milikmu.”

Rora mengitari mobil sekali lagi. “Akhirnya.”

Epi menekan tombol kunci.

Bip.

Lampu sein menyala bersamaan.

Rami tersenyum lebar. “Suaranya enak.”

Epi membuka pintu pengemudi. Aroma interior baru menyambutnya. Ia duduk dan menyalakan mesin.

Vrum.

Suara mesin rendah dan mantap memenuhi ruangan.

Rora mengangguk pelan. “Tenang, tapi berisi.”

Epi mematikan mesin, lalu keluar. “Kita jalan.”

Staf showroom membungkuk sopan. “Hati-hati di jalan, Mbak.”

Pintu kaca terbuka. Cahaya matahari menyambut mereka dari luar.

Epi masuk ke kursi pengemudi. Rami duduk di depan, Rora di kursi belakang.

Mesin kembali menyala. Vrum.

Jeep hitam itu melaju perlahan meninggalkan showroom.

“Kita beli alat-alat penyamaran dulu, ya,” ujar Epi sambil menambah kecepatan.

Mereka singgah di beberapa tempat untuk membeli perlengkapan yang diperlukan. Setelah semuanya lengkap, Jeep itu kembali melaju hingga akhirnya berhenti di rumah.

Rora bersandar di jok belakang. “Jadi, nanti malam kita keluar jam berapa?”

“Sekitar jam sepuluh saja,” jawab Epi.

Rami menoleh. “Kalau sekalian patroli terus ketemu penjahat gimana?”

Rora mengangkat bahu santai. “Ya kita habisi, lah.”

Rami terkekeh, lalu menatap Epi. “Oh ya, Pi. Kamu mau bawa pedang yang mana?”

“Keduanya,” jawab Epi tenang. “Untuk bertarung nanti lihat situasi. Kalau musuh brutal, aku pakai Kurotsumi Muramasa. Kalau tidak, cukup Seishin Masamune.”

Rora menatapnya serius. “Tapi kamu ingat, kan, apa kata guru soal Kurotsumi Muramasa?”

“Aku tahu,” sahut Epi. “Justru itu. Aku ingin melihatnya secara langsung.”

Rora terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Ini cuma pemikiranku, ya. Kedua pedangmu itu… sepertinya bukan sembarang orang yang bisa memegangnya. Berat, dan seperti menolak siapa pun. Hanya kamu dan guru yang bisa mengangkatnya. Sedangkan pedangku dan pedang Rami, kamu masih bisa memegangnya. Rasanya pedangmu punya… misterinya sendiri.”

Rami menoleh kaget. “Kok pikiran kamu sampai ke situ?”

“Ya logis saja,” jawab Rora. “Pedang seberat itu nggak bisa diangkat orang lain, tapi Epi bisa mengayunkannya dengan mudah.”

Rami terdiam, lalu matanya membelalak. “Iya juga, ya… Jangan-jangan—”

Ucapan Rami terhenti, meninggalkan keheningan tipis di dalam mobil.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!