Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke kongo, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji yang Tak Pernah Usai
Suara debur ombak di pelabuhan Makassar malam itu seolah menjadi saksi bagi setiap perpisahan yang tak pernah sederhana. Di pinggir laut mereka duduk menghadap ke laut, keluarga Aswangga duduk dalam diam setelah tawa perlahan mereda. Udara asin laut membawa aroma logam dan minyak solar, berpadu dengan rasa getir dalam dada Byantara yang kian berat menekan.
Pak Aswangga menatap anak lelakinya lama-lama. Dalam sorot matanya tersimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebanggaan. Ada kekhawatiran, ada kasih, tapi juga ada sesuatu yang tak terucap, seperti sebuah beban seorang ayah yang mengerti bahwa hidup tentara selalu menagih pengorbanan, bahkan dalam urusan hati sekalipun.
“Byan…” suara sang ayah parau memecah keheningan, pelan tapi tegas, seperti perintah yang keluar dari pos jaga waktu fajar. “Papa tahu arah dari semua perkataanmu tadi.”
Byantara menegakkan tubuhnya, lalu menghela napas panjang. Ia menatap ke arah laut, jauh di ujung dermaga tempat lampu-lampu kapal berkerlip redup. “Byan cuma nggak mau salah langkah, Pa. Nggak mau ngulang masa lalu.”
“Dan masa lalu itu siapa, Byan?” suara Pak Aswangga melembut, tapi menusuk.
Hening. Hanya terdengar suara debur ombak yang menghantam batas dermaga.
“Maksud papa… kamu masih memikirkan Kalea?”
Byantara tak menjawab. Ia menatap batas air, jemarinya menggenggam gelas kopi begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Papa… kalau orang lain bicara soal tugas, tentang perang, tentang rekan seperjuangan, aku bisa jawab semua dengan logika. Tapi kalau sudah bicara soal Kalea…” suaranya patah di ujung, “…aku kehilangan kemampuan itu.”
Bu Aswangga terdiam. Ia menatap suaminya seolah meminta agar percakapan itu tak dilanjutkan. Tapi Pak Aswangga tahu, ada luka lama yang justru harus dihadapi malam ini, sebelum putranya berangkat besok pagi.
“Byan, dengar papa baik-baik,” ucapnya pelan tapi mantap. “Kau dan Kalea memang bukan sedarah, tapi dunia akan selalu menganggap kalian begitu. Dan itulah kenapa dulu papa dan mama setuju waktu kalian berdua janji untuk saling menjaga batas. Ingat, bukan karena papa tidak percaya kalian, tapi karena dunia ini lebih kejam dari medan tempur.”
Byantara menunduk. Ia tahu betul kalimat itu bukan sekadar peringatan, tapi kebenaran yang tak bisa ia bantah sama sekali.
Pak Aswangga melanjutkan dengan nada lirih, “Papa lihat bagaimana dulu kamu dan Kalea tumbuh. Dari kecil, kalian berdua sudah seperti dua sisi dari satu koin, saling menyeimbangkan, tapi tidak pernah bisa bersatu. Kamu keras, Kalea lembut. Kamu berani mati, Kalea berani hidup demi orang lain. Tapi nak…” suaranya melemah, “…ada garis yang tak bisa kamu langkahi.”
Byantara menelan ludah. Ada sesuatu yang menyesak di dadanya. “Papa pikir aku nggak tahu itu?” ujarnya lirih. “Tiap kali aku lihat dia tersenyum, aku ingat janji itu, Pa. Tapi tiap kali aku lihat dia terluka… rasanya seperti ada peluru yang nyasar ke dada sendiri.”
Pak Aswangga menatap anaknya dengan mata yang mulai berkaca. “Kamu pikir hanya kamu yang merasa begitu? Mama kamu ini… tiap kali lihat kalian, selalu berdoa semoga Tuhan kasih jalan terbaik. Tapi jalan terbaik itu bukan selalu yang paling mudah, Byan.”
Bu Aswangga menunduk, menutupi matanya dengan ujung jilbab. Ia tahu, anaknya bukan hanya berjuang melawan musuh di hutan Papua nanti, tapi juga melawan hatinya sendiri.
“Papa,” ucap Byantara pelan, “kalau Kalea nanti butuh aku… aku tetap akan datang, meski dunia menganggap aku siapapun. Aku janji dulu ke dia, Pa. Janji yang nggak bisa aku langgar.”
Pak Aswangga menatap laut lama-lama sebelum menjawab. “Janji prajurit itu dua, Byan. Satu kepada negara, satu lagi kepada hatinya sendiri. Kadang, keduanya tak bisa berjalan searah. Dan di situ lah ujian seorang laki-laki dimulai.”
Byantara terdiam. Kata-kata itu terasa seperti pisau tajam yang masuk perlahan ke dalam pikirannya. Ia menatap wajah ayahnya, lelaki yang sudah menua tapi tetap tegak dengan seragam purnawira yang seolah masih melekat di tubuhnya.
“Pa… kalau aku hapus perasaan itu, apa aku masih jadi manusia?” suara Byantara nyaris berbisik.
“Justru di situ kamu diuji jadi manusia, Nak,” jawab sang ayah lembut. “Menghapus bukan berarti melupakan. Tapi belajar menempatkan cinta di tempat yang seharusnya. Ada cinta yang tak harus dimiliki, tapi cukup dijaga dalam doa.”
Keheningan kembali turun di antara mereka. Hanya suara kapal yang bersandar, dan desiran angin laut membawa aroma asin yang membuat dada semakin berat. Bu Aswangga menatap anaknya, lalu meraih tangan Byantara dan menggenggamnya erat.
“Nak, kamu ingat waktu Kalea masih kecil? Waktu dia jatuh dari sepeda, kamu yang pertama kali angkat dia, gendong dia sambil marah-marah karena dia nekat balapan sama anak-anak kompleks?” Bu Aswangga tersenyum kecil, mengenang masa itu. “Dari dulu kamu memang pelindungnya. Tapi sekarang dia sudah punya tempat lain untuk berlindung, tempat yang lebih tepat, yang bukan kamu lagi.”
Byantara memejamkan mata. Ia masih bisa mendengar tawa kecil Kalea dari masa lalu, dan kini bayangannya berbaur dengan sosok Letda perempuan berseragam yang berdiri tegak di antara prajuritnya di tanah Goma. Seolah masa lalu dan masa kini saling bersilangan di satu garis tipis yang tak bisa ia lintasi.
“Pa, Ma…” ucapnya akhirnya, suaranya bergetar. “Aku nggak tahu apa aku siap. Tapi aku tahu, besok pagi aku harus berangkat dengan hati yang kosong. Kalau aku bawa semua ini ke medan tugas, aku bisa kehilangan akal sehatku.”
Pak Aswangga menepuk bahunya perlahan. “Itu keputusan yang tepat, Nak. Prajurit tak boleh berangkat dengan beban di dada. Biarkan hatimu kosong, biar nanti Allah yang isi dengan ketenangan.”
Byantara mengangguk. Matanya menatap laut lepas, tempat di mana besok kapal KRI akan membawanya dan ratusan prajuritnya menuju Papua. Misi pengamanan di perbatasan yang tak pernah sepi dari bahaya, tapi bagi Byantara, bahaya yang sesungguhnya justru ada di sini, di antara darah dan cinta yang tak mungkin bersatu.
Malam semakin larut. Mereka berjalan menyusuri dermaga. Lampu-lampu pelabuhan menyorot bayangan panjang tiga sosok yang berjalan beriringan, seorang ayah yang pernah bertempur, seorang ibu yang selalu menahan air mata, dan seorang anak yang siap menjemput takdirnya.
Di ujung dermaga, Pak Aswangga berhenti. Ia menatap laut yang gelap, lalu berkata lirih tanpa menoleh, “Byan, kamu tahu kenapa dulu papa menamai kamu Byantara?”
“Belum pernah tahu, Pa,” jawabnya.
“Karena papa ingin kamu jadi penengah, di antara perang dan damai, di antara cinta dan tanggung jawab. Nama itu doa, Nak. Jangan biarkan perang di dalam dirimu lebih besar dari perang yang sebenarnya.”
Byantara terdiam lama. Ia menatap laut, lalu menatap wajah ayahnya yang mulai diterpa cahaya jingga dari mercusuar. “Kalau begitu, Pa,” katanya pelan, “biarkan aku bertempur satu kali lagi, bukan dengan senjata, tapi dengan diriku sendiri.”
Pak Aswangga tersenyum samar, lalu menepuk pundaknya. “Itu baru anakku.”
Mereka bertiga berdiri lama di sana, membiarkan angin laut mengelus wajah mereka yang mulai basah oleh kabut malam. Entah siapa yang mulai lebih dulu, tapi tiba-tiba air mata Bu Aswangga menetes , pelan, tanpa suara, seperti laut yang pasang di bawah bulan.
Byantara menatap ibunya, lalu memeluk kedua orang tuanya erat-erat. “Doakan aku, Ma, Pa. Kalau besok aku berangkat, aku bukan cuma bawa nama Kodam Hasanuddin, tapi juga nama keluarga ini. Nama yang papa bangun dengan darah dan kejujuran.”
“Pergilah, Nak,” ujar sang ayah pelan. “Dan pulanglah bukan hanya hidup, tapi juga utuh.”
Angin malam berhembus pelan membawa suara azan Isya dari masjid pelabuhan. Suara itu terdengar seperti panggilan suci di antara riuh kehidupan laut. Di dadanya, Byantara tahu, malam ini ia telah melepaskan satu cinta yang tak akan kembali, tapi juga menemukan kembali dirinya sebagai seorang prajurit sejati.