NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / CEO / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu / Duda / Balas Dendam
Popularitas:11.9k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

34. Mereka Akhirnya Bertemu

Elena menatap bayangan dirinya di cermin kamar apartemen. Gaun satin berwarna champagne membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk yang dulu saat remaja tidak pernah ia tunjukkan. Riasannya tegas, lipstik merah berpadu dengan sorot mata yang berani.

Ia menyentuh rambut yang terurai di bahunya, lalu tersenyum tipis.

Tidak ada lagi Elena yang polos dan canggung. Malam ini, ia akan memastikan Sean tercengang atas kebenaran itu.

Ia meraih tas di atas tempat tidur, lalu berjalan keluar kamar. Di dekat pintu, ia mengenakan heelsnya perlahan, memastikan setiap langkahnya nanti terdengar mantap. Setelah menutup pintu apartemen, pandangannya sempat berhenti pada pintu di seberang. Namun ia segera mengalihkan pikirannya, menarik napas pelan, dan melangkah menyusuri koridor menuju lift tanpa menoleh lagi.

......................

Di rumahnya, Damian berada di sofa taman halaman rumah. Tangannya sibuk menyalakan lilin-lilin yang mempercantik area itu. Sesekali ia melirik ponselnya yang tergeletak di meja. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri meski rasa cemas perlahan tumbuh karena pertemuan besar yang akan segera terjadi.

Suara gerbang terbuka membuatnya menegakkan tubuh. Sebuah taksi masuk perlahan lalu berhenti di depan gerbang. Dari sana, Elena turun dan menutup pintu taksi dengan anggun.

Damian terpaku. Pandangannya langsung terkunci pada sosok wanita itu. Gaun yang membalut tubuh Elena jatuh sempurna mengikuti langkahnya. Rambut hitam panjangnya tergerai, berkilau tertimpa cahaya taman. Wanita itu tampak menawan hingga membuatnya kehabisan kata-kata.

Damian sempat berpegangan pada sandaran sofa, takut tubuhnya kehilangan keseimbangan karena terpesona. Dadanya bergetar pelan saat Elena berjalan semakin dekat. Bahkan senyuman wanita itu juga menghipnotisnya.

“Elena…” hanya itu yang sanggup keluar dari bibir Damian, lirih namun sarat kekaguman.

“Om…” panggil Elena lembut sambil menaiki undakan menuju area taman. Sementara kedua tangannya menggenggam tasnya di depan perut.

Damian sempat tertegun sebelum akhirnya tersadar, “Ah, ya. Selamat datang.”

Elena tersenyum kecil sambil menyelipkan helai rambutnya yang jatuh ke belakang telinga, “Apa aku cantik malam ini?” tanyanya pelan, tapi cukup untuk membuat Damian kehilangan kata.

Tanpa sadar, pria itu mengangguk cepat, “Sangat cantik,” jawabnya, matanya tidak beranjak sedikit pun dari Elena.

“Terima kasih, Om,” ucap Elena dengan senyum yang lebih lebar. Tatapannya lalu berkeliling, menyadari sekeliling taman yang sepi dan tenang, “Hanya ada kita berdua?”

“Untuk sementara,” jawab Damian lembut, “Anakku akan menyusul nanti. Mari, ikut aku masuk.”

Elena mengangguk, lalu berjalan di belakang Damian menuju rumah.

Setelah pintu utama terbuka, Elena sempat terpaku melihat beberapa pelayan berbaris rapi di sisi pintu, menunduk memberi salam.

“Selamat datang, Nyonya,” ucap mereka serempak dengan nada sopan namun tegas.

Elena spontan membelalakkan mata, “Nyonya?” gumamnya pelan, menoleh ke arah Damian dengan ekspresi bingung.

Pria itu hanya tersenyum menenangkan, “Aku yang menyuruh mereka.”

Elena sempat membuka mulut hendak memprotes, tapi langkah kaki seorang wanita membuatnya menoleh. Jane muncul dari arah dapur, berdiri sopan di hadapan Elena.

Wanita itu menunduk sejenak, lalu menatap Elena dengan tatapan yang sulit dibaca.

“Selamat datang di keluarga Evans,” ucap Jane datar dan tanpa senyum.

Elena mengernyit. Nada suara dan cara bicara Jane terasa berbeda, tidak hangat, dan bahkan sedikit menusuk. Padahal, terakhir kali mereka bertemu, wanita itu sangat ramah. Ada sesuatu yang berubah tapi Elena belum tahu apa.

“Sudah, kalian siapkan hidangan malam,” suara Damian memecah ketegangan. Elena menoleh pada pria itu, sementara para pelayan langsung menunduk.

“Baik, Tuan,” jawab mereka serempak sebelum bergegas ke dapur, menyisakan Jane yang masih berdiri di tempat.

“Kau tidak pergi?” tanya Damian agak tajam.

“Saya menunggu perintah, kalau Nona Elena membutuhkan sesuatu.”

“Nona?” Damian menatapnya tidak percaya, “Aku sudah menyuruhmu memanggilnya Nyonya. Dia akan menjadi istriku.”

“Tapi itu belum resmi,” jawab Jane datar, nyaris tanpa ekspresi.

“Kau—”

“Sudah, Om,” sela Elena cepat sambil menyentuh lengan Damian dengan lembut, mencoba menenangkan. Ia mengelus sedikit, memberi isyarat agar pria itu tidak memperpanjang masalah.

Kemudian, Elena menatap Jane, “Aku akan memanggilmu kalau butuh sesuatu. Sekarang pergilah.”

Jane menunduk singkat, “Baiklah,” jawabnya dingin sebelum berbalik pergi.

Begitu langkah Jane menjauh, Damian mendecak kesal, “Ada apa dengan wanita itu?”

“Sudahlah, Om,” ucap Elena lembut, “Jangan merusak malam ini hanya karena hal kecil seperti itu.”

Damian menatapnya, lalu perlahan tersenyum hangat, “Hanya kau yang bisa menenangkanku.”

Elena tersenyum tipis, “Baguslah kalau Om sadar.”

Damian terkekeh kecil, lalu mengulurkan tangan, “Mari, ikut aku.”

Damian menuntun Elena melewati koridor di belakang ruang tamu, langkah mereka beriringan di bawah cahaya lampu gantung. Aroma harum bunga memenuhi udara, membuat suasana terasa hangat dan tenang.

Tatapan Elena berkeliling, menyapu setiap sudut yang tampak begitu rapi dan menawan. Di sepanjang meja konsol, sudut ruangan, terpasang rangkaian bunga segar seperti mawar pink, lily, dan sedikit baby’s breath yang tertata dengan detail indah.

Damian melirik reaksi Elena dari samping, bibirnya tersenyum kecil melihat kekaguman yang jelas di wajah wanita itu.

“Om yang menyiapkan semua ini?” tanya Elena, matanya belum lepas dari isi rumah ruangan.

“Tentu pelayanku, aku hanya memberi mereka perintah,” jawab Damian

“Tapi tetap saja ini berasal dari ide Om, kan?”

“Benar. Aku ingin malam ini terasa istimewa untukmu.”

Elena mengangguk sambil tersenyum, sambil terus melangkah menuju tempat yang masih asing baginya.

Mereka kemudian melangkah masuk ke ruang keluarga. Ruangan itu memiliki langit-langit tinggi, dinding dipenuhi rak buku yang menjulang, dan api unggun yang membara stabil di perapian yang memantulkan cahaya keemasan ke seluruh ruangan.

Mulut Elena perlahan melebar. Ia terpana.

“Tempat ini… luar biasa,” gumamnya, matanya berkilat kagum.

Damian hanya tersenyum tipis, mengisyaratkan agar ia duduk.

“Duduklah,” ujarnya lembut.

Elena menurut, duduk di sofa abu-abu yang empuk. Damian menyusul, duduk di sampingnya, sementara tatapannya beralih ke nyala api yang menenangkan.

“Ini ruang keluarga,” ucap Damian, “Meski begitu, jarang sekali digunakan. Rumah ini terlalu sunyi untuk disebut rumah.”

Elena menoleh padanya, lalu tanpa pikir panjang, ia menggenggam tangan Damian dan meletakkannya di pangkuannya.

“Om,” ucapnya lirih namun mantap, “Aku akan memberikan keluarga yang Om impikan. Suatu hari, ruangan ini tidak akan sunyi lagi. Akan ada suara tawa, dan kehangatan yang selalu Om rindukan.”

Damian terdiam sejenak, menatap wajah Elena dengan tatapan lembut. Senyum kecil pun muncul di sudut bibirnya, “Aku tidak sabar menantikannya.”

Elena membalas dengan anggukan pelan, matanya memantulkan cahaya api yang berkilau hangat.

Tidak lama kemudian, dua pelayan masuk dengan langkah ringan, membawa nampan berisi kue-kue manis, potongan buah segar, dan teh hangat yang masih mengepul. Setelah menata semuanya di meja rendah di depan mereka, para pelayan menunduk sopan lalu pergi.

“Cicipilah,” ujar Damian pelan, mempersilakan Elena dengan gestur tenang namun penuh perhatian.

Elena meraih satu potong kue yang beraroma vanilla bercampur madu. Ia menatap Damian sejenak sebelum mencicipinya.

“Bagaimana?”

“Sangat enak,” jawab Elena dengan mulut yang masih penuh.

“Hati-hati,” ucap Damian saat melihat Elena hampir tersedak, lalu mengambil tisu untuk wanita itu.

“Oh ya, aku bertemu wanita bernama Iris,” ujar Elena setelah menelan makanannya, nada suaranya dibuat ringan seolah itu hanya obrolan santai, “Dia tinggal di depan apartemenku. Katanya, ayahnya kenalanmu, dan dia sahabat anakmu.”

Damian bersandar di sandaran sofa, jemarinya mengetuk pelan sandaran tangan, “Yang dia katakan benar. Anak itu berbeda dengan Sean. Dia ceria, sering bicara tanpa berpikir dulu. Kadang bisa membuat orang salah paham, tapi sebenarnya dia tulus. Harap maklum saja, sifat kekanak-kanakannya memang menonjol.”

Elena tersenyum samar, “Tidak masalah,” ujarnya lembut, padahal hatinya tidak sependapat, “Dia malah terlihat manis.”

Setelah jeda singkat, ia mencondongkan tubuh sedikit, “Tapi dengan sifat seperti itu, bagaimana dia bisa cocok dengan Sean?”

Damian mengalihkan pandangannya dari api unggun ke wajah Elena, “Mungkin justru karena perbedaan itu, mereka bisa saling melengkapi.”

Elena mengangguk pelan, “Itu masuk akal,” ucapnya datar.

Kemudian tatapan Elena beralih pada api unggun. Dalam diamnya, pikirannya berputar cepat.

Iris. Nama itu tidak ada dalam catatannya selama ini. Satu nama asing yang tiba-tiba muncul begitu dekat dengannya, bahkan tinggal di seberang pintu apartemennya. Tapi jika Iris benar-benar polos seperti yang dikatakan Damian, maka kebetulan ini bisa menjadi peluang.

Senyum halus tersungging di bibirnya. Ia sudah memutuskan bahwa wanita itu bisa dimanfaatkan dengan sangat mudah.

Sementara di garasi, Sean baru saja mematikan mesin mobilnya. Suara mesin yang berhenti meninggalkan keheningan yang terasa berat. Namun ia tidak segera turun, kedua tangannya masih menggenggam erat setir, menatap lurus tanpa fokus.

Beberapa detik berlalu sebelum ia mendesah pelan.

“Ck… lebih baik kuhadapi sekarang,” gumamnya, lalu membuka pintu dan keluar dari mobil.

Langkah kakinya terdengar mantap saat melewati halaman dan membuka pintu utama. Begitu masuk, napasnya sempat tertahan.

Rumah itu terasa berbeda, terlalu terang, dan terlalu indah. Meja dihiasi bunga segar, aroma wanginya memenuhi udara, dan pencahayaan hangat membuat seisi rumah tampak seperti tempat penyambutan tamu kehormatan.

Tatapan Sean menajam saat melihat beberapa pelayan berjalan keluar dari arah ruang keluarga sambil membawa nampan kosong. Ia bisa menebak bahwa wanita itu sudah datang.

Dari arah dapur, Jane muncul sambil menyeka tangannya dengan celemek.

“Tuan muda.”

Sean menoleh, “Mereka di ruang keluarga?”

Jane mengangguk pelan. Namun ketika Sean hendak melangkah, suara wanita itu menahannya.

“Tunggu.”

Sean berbalik, satu alisnya terangkat.

Jane menatapnya dengan sorot mata keibuan yang tegas, “Tuan muda… aku sudah menganggapmu seperti anakku sendiri. Apapun yang terjadi nanti, aku akan tetap membelamu, meskipun harus berhadapan dengan Tuan besar. Sekarang, lakukan apa yang menurutmu benar.”

Sean terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Senyum itu hangat, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang jauh lebih dalam.

“Terima kasih, Jane. Tapi kuharap kau tidak ikut terlibat, karena aku juga menganggapmu sebagai ibu keduaku.”

Ia menepuk lembut bahu wanita itu, lalu melangkah pergi meninggalkan Jane yang masih berdiri di tempat, menatap punggung Sean yang menghilang di balik koridor dengan tatapan cemas.

Sean melangkah masuk ke ruang keluarga dengan langkah berat. Suara percakapan dan tawa kecil terdengar lebih dulu sebelum pandangannya menangkap dua punggung manusia di depan perapian.

Ia berhenti di ambang pintu. Tatapannya tajam, napasnya berat, sementara tangan kanannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Sekilas, ia tampak berusaha menahan sesuatu yang mendidih di dalam dada.

“Ayah,” panggilnya datar, namun cukup keras untuk menghentikan tawa keduanya.

Damian segera menoleh, senyumnya mengembang lega.

“Kau sudah datang. Ayah menunggumu,” ucapnya, lalu berdiri dari sofa.

Sementara itu, Elena yang duduk di sebelah Damian langsung menegang. Jemarinya saling meremas di pangkuan, menatap lantai tanpa berani menegakkan kepala. Napasnya mulai tidak teratur. Ia tahu suara itu, bahkan sebelum ia melihat wajah pemiliknya.

Sean melangkah mendekat, langkah-langkahnya berat tapi mantap. Wajahnya datar, dingin, dan tanpa ekspresi.

“Ah ya, aku kenalkan padamu,” ucap Damian dengan nada gembira, tidak menyadari ketegangan yang menggantung di udara. Ia menunduk sedikit, memberi isyarat pada Elena untuk berdiri.

Elena akhirnya bangkit perlahan. Tatapannya bertemu dengan Sean yang kini berdiri di depan api unggun. Sekejap mata mereka saling mengunci.

Bagi Damian, itu hanya tatapan biasa. Tapi bagi mereka berdua, itu adalah tabrakan masa lalu.

Elena menelan ludah, berusaha menjaga ekspresi tetap tenang, tapi sorot matanya memancarkan luka dan dendam yang sulit tersamarkan.

Sean malah sebaliknya. Pria itu tampak tertegun. Alisnya berkerut dalam, dan jemarinya mulai gemetar pelan.

“Kau…?”

1
kalea rizuky
kok g lanjut
merry
selmt gk tu Elena,,,
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!