NovelToon NovelToon
The Absurd Girl And The Cold Flat Boy

The Absurd Girl And The Cold Flat Boy

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Irma pratama

Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kebenaran Harus Diungkap

...BAB 35...

...KEBENARAN HARUS DI UNGKAP...

Di tempat gelap belakang gudang, kedua pasangan yang baru saja melakukan perbuatan terlarang akhirnya berbenah dengan terburu-buru. Nafas mereka masih memburu, pakaian dirapikan asal-asalan. Santri putri itu menatap si Ustad dengan wajah khawatir.

"Kalau nanti aku... hamil gimana? Kita kan udah sering melakukan ini, Ustad..."

Ustadz itu meliriknya santai, bahkan nyaris meremehkan.

"Tenang, saya selalu pakai pengaman, kan? Lagi pula... Selama ini juga nggak pernah ada masalah," ucapnya, meyakinkan.

Sementara si santri putri menggigit bibir, masih tampak ragu, tapi mengangguk pelan.

"Sekarang kamu duluan balik ke asrama. Jangan bareng-bareng, nanti malah ketahuan. Aku mau ke dapur sebentar, ambil air. Haus banget," kata si Ustad.

Santri putri itu melirik sekitar, lalu berlari pelan kembali ke arah asrama putri, menyusuri sisi gedung dengan waspada.

Ustad itu melangkah santai ke arah dapur pesantren. Tapi langkahnya melambat ketika tiba di depan pintu dapur yang setengah terbuka.

Dia mengerutkan kening saat melihat semangkuk mie yang masih mengepul di meja, lengkap dengan sumpit yang tersandar.

"Loh... ini mie siapa?" gumamnya curiga. "Baru dimasak... panas... jangan-jangan..."

Dia menoleh ke kiri dan kanan dengan waspada, matanya menyipit tajam. Hatinya mulai tidak tenang.

"Jangan-jangan... ada yang lihat tadi?" bisiknya sendiri. Perasaan tak nyaman mulai merayap di punggungnya. Dia mendekat ke mangkuk itu, memegang sumpitnya, lalu mendesah.

"Mudah-mudahan cuma anak iseng kelaparan... bukan orang yang lihat sesuatu yang nggak seharusnya..."

Dia menatap gelapnya lorong belakang dapur, tapi tak menyadari bahwa kebenaran sudah di tangan seseorang... dan malam ini, Allah sedang mengirimkan pelajaran besar untuknya.

*****

Saat Adzan Subuh berkumandang, suara sayup muadzin membelah keheningan pesantren. Arabella yang semalam sulit tidur, segera bangkit dari tempat tidur kamar tamu. Dia merapikan kerudungnya, membenarkan gamis, lalu melangkah keluar kamar dengan langkah pelan namun mantap.

Di ruang tamu, matanya langsung menangkap sosok Ustad Izzan yang sedang duduk dengan tenang, Al-Qur'an terbuka di pangkuannya. Wajahnya teduh, namun sorot matanya menunjukkan bahwa dia sudah lama terjaga. Izzan mengangkat pandangannya dan menyapanya dengan suara pelan.

"Mau ke kamar santri dulu?"

Arabella menggeleng pelan, "Langsung ke masjid aja, Ustad."

Izzan mengangguk ringan, lalu menatap gadis itu dengan nada lebih lembut. "Nggak usah khawatir soal semalam, ya, Ara. Kamu udah lakukan yang benar. Selebihnya, biar kami yang urus."

Arabella tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, Ustad. Terima kasih..."

Kenapa gue seneng banget sama panggilan dari Ustad Izzan...

Ara...

Kayak Spesial gitu...

Dia lalu melangkah keluar rumah menuju masjid, meninggalkan jejak kaki pelan di jalan setapak pesantren yang masih basah embun. Udara Subuh menenangkan, namun dalam hatinya, Arabella tahu... hari ini akan menjadi awal dari pengungkapan besar.

*****

Di kamar santri, pagi masih muda namun sudah gaduh. Dina sibuk membuka laci-laci, Elis mengecek kolong tempat tidur, dan Sari sibuk melihat ke balik pintu. Ketiganya panik.

"Bella gak ada!" seru Dina.

"Masa iya dia tidur lagi di dapur?" timpal Elis.

"Atau... jangan-jangan dia naik pohon lagi dan ketiduran di sana, kayak waktu itu!" Sari menebak sambil menunjuk jendela.

Tanpa banyak pikir, ketiganya keluar kamar dan mulai memeriksa pohon-pohon di halaman pesantren. Mereka mendongak ke atas, mencoba mencari bayangan seseorang di antara dedaunan.

Devan, Balwi, dan Balwa yang baru keluar dari asrama putra, melihat tingkah absurd trio santriwati itu langsung nyengir.

"Lagi nyari burung? Atau sarang lebah?" celetuk Devan dengan nada usil.

"Cari Bella!" jawab Dina tanpa menoleh.

"Loh, ngapain nyari si Bella di atas pohon?" tanya Balwi heran.

"Siapa tau dia tidur di sana kayak dulu!" jawab Elis.

Balwa yang sedari tadi mengamati sekitar menunjuk ke arah masjid. "Itu bukannya Bella?" katanya santai.

Mereka semua sontak menoleh ke arah pintu masuk masjid. Dan benar saja, sosok gadis dengan kerudung pastel dan langkah kalem sedang berjalan masuk ke masjid.

"BELAAAA!!!" ketiganya berseru bersamaan, membuat Arabella yang baru masuk ke masjid hampir tersedak napasnya sendiri.

Dina, Elis, dan Sari segera berlari menghampirinya, penuh rasa penasaran dan kekhawatiran. Sementara trio jail di belakang cuma geleng-geleng melihat kekonyolan pagi itu. Arabella memelototi ketiga sahabatnya sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri.

"Astaghfirullah, kalian hampir bikin gue jantungan, tau nggak?!"

Dina mengangkat tangan, tampak menyesal tapi tetap membela diri.

"Maaf, Bell... kami panik. Soalnya kamu nggak ada dikamar. Kita kira kamu naik pohon lagi."

"Naik pohon? Emang Gue kuntilanak apa?" Arabella melongo, tak percaya dengan imajinasi sahabat-sahabatnya.

Elis angkat bahu. "Ya... Siapa tau aja... soalnya kan kamu pernah beneran ketiduran di atas pohon waktu malam-malam ngintip bintang katanya."

Sari menambahkan, "Makanya kami cek, siapa tahu kamu ngelakuin hal absurd lagi."

Arabella memutar bola matanya. "Hadeeeh..."

Sari mendekat dan bertanya dengan nada penasaran, "Tapi serius, Bell. Kamu ke mana? Dari semalam nggak keliatan. Kamu keluar sebelum Adzan, ya?"

Arabella menghela napas sebentar sebelum menjawab, "Gue cuma keluar bentar sebelum Adzan. Cuma ke rumah Uma Salma buat balikin ponsel. Kan semalem Gue pinjem buat nelpon Mommy. . Kalian juga tau, kan?"

Ketiganya mengangguk, tapi wajah mereka masih menyimpan banyak pertanyaan. Namun Arabella buru-buru mengalihkan perhatian mereka.

"Udah ah, nggak usah dibahas. Ntar juga kalian tau sendiri."

Dina, Elis, dan Sari saling tatap. Mereka bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang Arabella sembunyikan, tapi melihat wajah Arabella yang mulai lesu, mereka memilih menyimpannya dulu... untuk sekarang. Arabella melangkah cepat, menarik tangan Dina dan berbisik.

"Ayok, buru... keburu shaf depan penuh."

Saat mereka mendekat ke tangga masjid, terdengar suara para ustadz yang sedang menyapa santri satu per satu.

"Pagi, anak-anak."

"Semangat ya solat subuhnya."

"Jangan ngantuk, nanti wudhunya sia-sia."

Itu suara Ustadz Jiyad, Ustadz Hamzah, dan Ustadz Azzam. Tapi di antara mereka, langkah Arabella sempat melambat. Matanya menangkap sosok yang sangat dia kenali. Sosok yang semalam membuatnya mual dan nyaris histeris. Sosok yang seharusnya menjadi panutan, namun menyimpan kelakuan menjijikkan di balik jubah dan pecinya.

Ustadz Izzan yang berada paling belakang melihat perubahan ekspresi Arabella sekilas. Dia menyadarinya, namun tidak bicara. Arabella menegakkan bahunya sekuat mungkin, tapi rasa muak dan jijik masih menempel seperti debu di hati. Dia menggigit bibir, buru-buru melengos, lalu berkata singkat.

"Guys, Gue duluan, ya."

"Loh... Bell" panggil Sari, namun Arabella sudah melangkah cepat ke dalam masjid, menyusup di antara barisan santri putri, dan duduk sambil memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang.

Dia butuh ketenangan. Butuh iman. Dan butuh keberanian yang lebih besar untuk menghadapi kenyataan... bahwa iblis bisa bersembunyi di balik jubah paling suci. Arabella membuka mata perlahan, berharap bisa menemukan ketenangan dalam heningnya masjid. Tapi yang pertama kali tertangkap oleh pandangan matanya justru wajah yang semalam membuatnya ingin muntah, santri putri teladan yang semalam bersama sang ustad di sudut gelap gudang.

Mereka bertatapan.

Santri itu tersenyum manis, seolah tak ada yang terjadi, seolah dirinya masih gadis suci yang patut diteladani, seolah tidak ada dosa yang disembunyikan di balik kerudung rapi dan sorot mata lembutnya.

"Pagi, Bella," sapanya ramah, suaranya begitu manis seperti biasa.

Arabella terdiam sejenak. Di dalam dadanya ada perang batin. Antara keinginan untuk meludahi kemunafikan itu, dan menjaga rahasia besar yang hanya segelintir orang tahu. Dengan napas pelan yang ditahan, Arabella akhirnya membalas... hanya dengan anggukan kecil dan senyum yang bahkan tak sampai ke matanya.

"Pagi..." jawabnya lirih, lebih seperti hembusan angin daripada ucapan yang tulus.

Lalu Arabella segera mengalihkan pandangan, menatap sajadah di depannya, mencoba menenangkan dadanya yang kembali sesak.

Dalam hati dia bergumam, Kenapa harus ketemu mereka pagi-pagi begini sih... Kenapa nggak bisa lepas dari bayangan semalem?

Tapi Arabella tahu, sejak semalam hidupnya sudah berubah. Dan ini baru permulaan.

*****

Setelah sholat subuh dan dzikir bersama selesai, suasana masjid mulai ramai. Para santri bangkit, melipat sajadah, dan bersiap meninggalkan masjid untuk menjalani kegiatan pagi sesuai jadwal.

Ada yang menuju ruang kajian, ada yang bergegas ke dapur, dan tak sedikit yang mengambil jalur menuju kandang untuk memberi makan ternak.

Di tengah keramaian itu, suara lembut namun tegas dari Kiyai Hasyim terdengar memanggil, "Izzan."

Ustad Izzan yang masih berdiri di dekat pintu masjid langsung menoleh dan menghampiri abinya tanpa banyak bertanya. Para ustad yang melihatnya tak merasa aneh karena mereka tahu Izzan adalah putra kandung Kiyai Hasyim, dan pembicaraan penting di antara mereka sudah menjadi hal biasa.

Tak lama kemudian, Kiyai Hasyim mengalihkan pandangannya pada Arabella yang baru saja keluar dari masjid bersama Dina, Sari, dan Elis.

"Bella," panggil Kiyai dengan senyum hangat.

Arabella mendekat pelan. "Iya, Kiyai?"

"Uma minta kamu ke rumah," ujar Kiyai. "Bantuin Umi beresin kamar Ning Najwa, soalnya Ning Najwa mau pulang hari ini dari program pertukaran santri."

Beberapa santri putri yang mendengar nama Ning Najwa sempat melongo. "Ning Najwa balik?" bisik Sari ke Dina.

"Wah, makin rame deh rumah Kiyai," gumam Elis pelan.

Mereka bertiga lalu menoleh ke Arabella dan hanya tersenyum kecil, karena mereka tahu... sedekat apa hubungan Arabella dengan keluarga Kiyai Hasyim bukan rahasia lagi. Arabella sering diminta bantuan oleh Uma Salma, bahkan kadang seperti putri sendiri di rumah itu.

"Baik, Kiyai,” jawab Arabella lembut sambil menunduk sedikit.

Dan dengan langkah ringan, Arabella pun menuju rumah Kiyai, tidak tahu bahwa hari ini, akan ada kejutan besar lainnya yang menunggunya di sana.

Sesampainya di rumah Kiyai Hasyim, Arabella mengetuk pelan pintu seraya mengucap salam, "Assalamu'alaikum..."

Uma Salma muncul dari dalam dengan wajah teduh dan langsung menyambutnya, "Wa'alaikumussalam, ayo masuk, Nak..."

Arabella mengikuti Uma Salma hingga mereka berhenti di depan kamar Ning Najwa.

Begitu pintu kamar dibuka, aroma harum bunga menyambut, dan kamar itu sudah tampak bersih dan rapi seperti baru selesai dibereskan.

Arabella mengerutkan kening, "Loh... ini kamar Ning Najwa udah rapi, Uma. Bukannya tadi Saya disuruh bantu beresin, ya?"

Uma Salma tersenyum lembut, lalu menggenggam tangan Arabella dan menariknya pelan untuk duduk di tepi ranjang.

"Maaf ya, Sayang... Uma dan Abi memang sengaja bilang begitu, karena kalau nggak pakai alasan itu, kamu pasti nggak enak diajak ke sini sepagi ini," ujar Uma pelan, suaranya penuh kehati-hatian.

Arabella menatap Uma dengan bingung dan sedikit was-was. "Memangnya... ada apa, Uma?"

Wajah Uma menjadi sedikit serius, meski tetap lembut. "Hari ini, Abi akan memanggil orang tua ustad dan santri yang kamu lihat semalam. Dan kamu... harus jadi saksi, Nak."

Arabella spontan terbelalak. "A-a-apa? Saksi? Tapi, Uma... kalau mereka nggak terima? Kalau Saya dituduh fitnah mereka...?" Tangannya refleks menggenggam ujung gamisnya, gugup dan takut bercampur jadi satu.

Uma Salma langsung memeluk Arabella, menepuk pelan punggungnya, "Tenang, Nak... kamu nggak sendiri. Ada Uma, ada Kiyai, ada Ustad Izzan. Mereka nggak bisa seenaknya. Kamu sudah menyelamatkan banyak orang dengan keberanianmu. Jadi jangan takut."

Arabella memejamkan mata sejenak dalam dekapan Uma, menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan.

"Baik, Uma... Saya akan hadapi ini."

Dan di dalam hatinya, dia berdoa semoga keberaniannya ini menjadi awal dari terkuaknya kemunafikan yang tersembunyi di balik jubah suci.

Langkah para tamu terdengar memasuki rumah Kiyai Hasyim satu per satu. Di ruang tamu yang hangat dan teduh itu, kedua orang tua santri putri teladan duduk dengan wajah santai dan penuh senyum. Mereka sudah terbiasa dipanggil oleh Kiyai Hasyim, biasanya untuk membahas prestasi anak mereka yang memang dikenal cemerlang.

"Saya pikir ini tentang lomba debat yang akan datang, Pak Kiyai," ucap sang ayah dengan nada bangga. "Anak saya memang sedang fokus latihan akhir-akhir ini."

Ibu dari santri itu mengangguk. "Atau mungkin ada tawaran beasiswa. Anak saya memang sudah ditawari beberapa kali."

Sementara itu, orang tua dari si ustad duduk dengan wajah sedikit bingung. Mereka saling pandang sejenak, kemudian sang ayah bertanya hati-hati,

"Maaf sebelumnya, Kiyai... kami hanya ingin memastikan... ini tentang apa ya? Apa putra kami akan mendapat kepercayaan baru? Atau mungkin akan diangkat jadi pengurus?"

Kiyai Hasyim yang duduk tenang di hadapan mereka tersenyum tipis. Sorot matanya tajam tapi tetap penuh wibawa.

"Tenang dulu, Bapak, Ibu semua... Saya mengerti ini mendadak. Tapi insyaAllah nanti akan jelas semuanya. Kami sedang menunggu anak-anak kalian datang ke rumah ini. Kita akan bicarakan bersama."

Kening para tamu berkerut, semakin penasaran. Tidak ada yang menyangka bahwa pertemuan ini bukan soal prestasi, beasiswa, atau kenaikan jabatan. Tapi tentang aib besar yang akan segera terbongkar.

Dan di ruangan lain, Arabella yang duduk bersama Uma Salma menggenggam jemarinya erat. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, tapi dia tahu waktunya telah tiba.

"Assalamu'alaikum..." suara santri putri yang halus terdengar di ambang pintu ruang tamu, disusul oleh suara lebih berat dari ustad yang ikut mengucap salam.

"Wa'alaikumussalam," jawab para orang tua dan Kiyai Hasyim hampir serempak.

Santri putri tersenyum manis begitu melihat kedua orang tuanya, lalu langsung menghampiri mereka dengan tenang. "Abi, Ummi... kok datang ke sini? Apa ada kabar baik?" tanyanya santai, penuh harap, karena seperti biasanya, setiap kali dipanggil ke rumah Kiyai pasti menyangkut hal-hal membanggakan.

Namun, sang ustad justru menghentikan langkahnya begitu melihat orang tuanya yang duduk tak jauh dari Kiyai Hasyim. Wajahnya langsung berubah tegang.

"Abi? Umi? Kenapa kalian ada di sini?" tanyanya dengan suara pelan tapi jelas penuh kegelisahan. Matanya bergerak cepat, menatap sekitar ruangan mencari tanda-tanda, mencoba mengerti apa yang sedang terjadi.

Kedua orang tuanya saling pandang, terlihat kebingungan dan sedikit gugup. "Kami... tidak tahu," jawab ayahnya, jujur. "Kami hanya diminta datang ke sini oleh Kiyai Hasyim, kami pikir... mungkin ada sesuatu yang penting."

Ustad itu mulai merasakan hawa yang tidak biasa. Dia menatap Kiyai Hasyim yang duduk tenang namun penuh wibawa, dan sorot mata Kiyai Hasyim membuat jantungnya berdetak tak karuan.

Dan di balik tirai, Arabella berdiri diam bersama Uma Salma, mengintip dengan napas yang tertahan. Hatinya menjerit, namun dia tahu, kebenaran memang harus diungkap... meski itu artinya akan ada luka dan kecewa hari ini.

1
Retno ataramel
khusus bwt author aku kasih vote😍
Retno ataramel
siapa kah orang itu eng ing eng🤣
Retno ataramel
🤣🤣🤣
Retno ataramel
kecewa sama azzam,,,,
Retno ataramel
apakah itu ustad jihhad thor
lucifer: ustad Jiyad maksudnya say... maafkan typo 🙏
total 1 replies
lucifer
kayaknya itu salah ketik, penasaran Ustad
Retno ataramel
penisirin ustas siapa itu
Retno ataramel
ikut sedih thor
Retno ataramel
lanjut thor nunggu besok lama😍
Retno ataramel
banyakin up thor ak suka 🙏
Tara
jodohmu kaga jauh ...smoga cepat bucin ya...🤭🫣🥰😱🤗👏👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!