Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 - Memborong Biji Jarak (3)
Udara pagi membawa aroma khas sawah yang baru disiram embun.
Di kejauhan, bunyi alu menumbuk padi bersahut-sahutan, berpadu dengan kokok ayam dan derit roda gerobak kayu.
Wirabuana menunggang kudanya, diiringi tiga prajurit. Salah satu prajurit setianya, menunduk sedikit ke arah sang Pangeran.
“Masih pagi benar, Pangeran,” katanya dengan nada hati-hati.
Wirabuana tersenyum tipis. “Semakin pagi, semakin jernih mata orang yang bekerja.”
Beberapa penduduk menunduk dalam-dalam ketika rombongan lewat.
Di depan sana, tampak halaman luas milik Rakryan,
bangsawan pemegang wilayah bagian timur.
Di sana, para pelayan sedang menata karung padi, memindahkan palawija, dan menimbang hasil bumi dengan tali serat kelapa.
Asap dupa cendana mengepul tipis di sudut halaman, tanda sembah pagi baru saja usai.
Saat rombongan berhenti di depan halaman, seorang penjaga segera berlari kecil memberi kabar
“Rakryan! Pangeran Galuh datang!”
Gerak berhenti. Saudagar yang menimbang karung buru-buru menghentikan timbangannya, pelayan menunduk, dan Rakryan itu segera bangkit dari tempat duduknya dengan wajah kaget dan hormat.
Saat turun dari kuda, mata Wirabuana menangkap sesuatu di seberang halaman.
Sebuah pendopo kecil, dinaungi pohon sawo tua. Di sana, sekitar dua puluh anak-anak desa duduk melingkar. Mereka memperhatikan seorang lelaki tua yang sedang memegang biji-bijian dan selembar kain.
Wirabuana memiringkan kepala, lalu bertanya pelan,
“Ada apa di sana, Rakryan?”
Rakryan menoleh cepat, sedikit tersenyum bangga. “Ah, itu, Pangeran. Kami memanggil seorang Resi. Ia kami minta untuk mengajar anak-anak di pagi hari.”
“Pagi hari saat semua memulai kegiatan?” Wirabuana menatap, alisnya terangkat sedikit.
Rakryan menjawab dengan nada penuh semangat, “Justru karena pagi hari, Pangeran. Anak-anak para petani dan pelayan dapat belajar menghitung sebelum mereka turun membantu orang tuanya."
Ia melanjutkan, "Resi mengajarkan mereka cara membaca nilai tukar, berapa banyak padi agar sepadan dengan segenggam garam, berapa harga seikat palawija jika dijual pada musim paceklik. Kami tak ingin mereka tumbuh menjadi rakyat yang mudah ditipu.”
Sekilas, mata Wirabuana yang tajam itu melunak. Ia memandang anak-anak yang duduk rapi, sebagian di antaranya memegang sekantong biji-bijian sambil menghitung dengan jari.
“Sebuah langkah yang cerdas, Rakryan,” katanya tenang. “Menjaga akal rakyat agar tak mudah diperdaya.... Kalian menjaga rakyat agar tahu cara menimbang, bukan sekadar tunduk."
Sekarang Wirabuana tahu, mengapa Ayahandanya selalu berkata bahwa wilayah ini dapat menjadi contoh bagi daerah lain.
Bukan hanya karena tanahnya subur,
tetapi karena para bangsawan dan saudagar di sini tidak hanya memperkaya diri, tetapi juga mau memperkaya akal rakyatnya.
"Jika semua wilayah berpikir seperti ini,” gumam Wirabuana pelan,
“Galuh akan semakin kokoh... bahkan ketika masa sulit datang..."
“Maafkan kedatangan kami yang terlalu pagi,” katan Wira, suaranya berwibawa namun lembut. “Pagi adalah waktu terbaik untuk melihat kegiatan... "
Rakryan menunduk dalam. “Kehormatan besar bagi kami, Pangeran. Mari, silakan ke paseban, kami baru saja menerima laporan dari para saudagar.”
Seorang pelayan muda datang membawa kendi air segar dan piring berisi ketan kukus tabur kelapa dan gula aren.
“Ini hasil bumi kami sendiri, Pangeran,” ujar Rakryan dengan bangga.
Wirabuana duduk di tikar halus di paseban batu, mengambil sepotong ketan.
“Bagaimana laju perdagangan di wilayah ini, Rakryan?” tanyanya tenang, namun penuh penekanan.
Rakryan menjawab hati-hati, “Masih ramai, Pangeran. Memang... ada keluhan dari para petani. Harga palawija turun. Mereka mengatakan saudagar menawar terlalu rendah.”
Wirabuana menatap lurus ke arah para saudagar. Lelaki-lelaki berkulit legam itu menunduk.
Tapi seorang di antara mereka, memberanikan diri bicara.
“Bukan maksud kami menekan harga, Pangeran. Di wilayah lain, panen melimpah, jadi harga turun. Kami hanya menyesuaikan.”
“Menyesuaikan,” ulang Wirabuana pelan, jemarinya mengetuk lutut. “Aku berharap menyesuaikan itu artinya petani tidak lapar, saudagar tidak tamak, dan lumbung wilayah kalian tidak kosong.”
Keheningan menurun, hanya suara angin yang lewat membawa aroma tanah basah dan dupa yang mulai padam.
Wirabuana menoleh, sorot matanya kembali tajam. “Aku ingin laporan tertulis, hasil panen bulan ini, harga beli, harga jual di wilayah lain.”
Rakryan memberi isyarat pada Juru Wilah. “Bawa catatan mu kemari.”
Wirabuana membaca catatan itu dan menatap para saudagar, “Kalian tak perlu cemas. Kakang Suraghana akan mengatur wilayah perdagangan kalian, agar kalian mendapatkan harga terbaik.”
Rakryan tampak terkejut. “Pangeran pertama juga datang?”
"Ya,” jawab Wirabuana sambil menggulung satu lontar dan membuka lontar lainnya.
“Mungkin saat ini beliau sedang berbincang dengan para lurah kalian. Dan Kakang Sempakwaja juga kemungkinan tengah memeriksa ladang dan perkebunan bersama para petani.”
Wirabuana lalu mencondongkan tubuh, sibuk bertanya dengan Juru Wilah dan Juru Pajeg, meneliti satu per satu catatan hasil bumi, harga tukar, serta nama-nama desa yang tercantum di lontar itu.
Beberapa saudagar saling pandang, antara kagum dan gugup.
Baru kali ini mereka melihat ketiga putra mahkota turun langsung memeriksa wilayah dengan mata mereka sendiri.
Mereka memang pernah mendengar kabar dari daerah lain yang telah lebih dulu dikunjungi,
tetapi tidak menyangka pemeriksaannya sedetail ini.
Setiap ladang dilihat, setiap timbangan ditanya, bahkan cara rakyat berdagang-pun diperhatikan.
Salah satu saudagar berbisik pelan,
“Benar kata orang tua... darah Raja Wretikandayun memang kuat dalam diri mereka.”
Rakryan tersenyum samar, menyahut lirih, “Dulu, semasa Raja Wretikandayun masih awal membangun Galuh, beliau pun sering datang bersama Senopati Jagatpati. Saat itu, semua lurah, bangsawan, dan saudagar dikumpulkan di alun-alun. Setiap keluhan didengar, setiap saran ditimbang.”
Ia menunduk sedikit, suaranya menurun, seolah separuh kagum, separuh gentar.
“Namun siapa pun yang berbuat curang... akan berhadapan langsung dengan Senopati Jagatpati.”
Beberapa saudagar tampak bergidik, seolah nama itu masih membawa bayang-bayang ketakutan.
“Jagatpati,” gumam salah satu dari mereka, “Katanya hanya dengan tatapan matanya, orang yang berdusta bisa mengaku tanpa dipaksa?"
Rakryan menghela napas panjang, lalu menatap Wirabuana dengan nada penuh hormat.
“Tapi Baginda Wretikandayun-lah yang membuat rakyat tetap percaya pada keadilan. Beliau Mendengar setiap aduan dengan sabar... dan memutuskan dengan hati, bukan hanya hukum.”
Wirabuana yang mendengar mereka berbisik terdiam sejenak.
Dalam dirinya, ia tahu, ketegasan tanpa kasih bisa membuat rakyat tunduk, tapi tidak setia.
Wirabuana menggulung lontar terakhir, menghela napas pelan.
“Aku kira tidak ada hal yang aneh di sini,” ujarnya tenang. “Hanya saja, harga jual di wilayah yang kalian datangi masih terlalu rendah. Itu bisa merugikan petani kalau dibiarkan.”
Ia menatap Rakryan, lalu tersenyum tipis. “Tapi selebihnya… kalian mengelola wilayah dengan baik. Catatan panen rapi, pembagian hasil adil, bahkan aku lihat ada lebih dari satu tabib di desa ini. Itu jarang terjadi.”
Rakryan menunduk dalam, wajahnya sedikit lega. “Terima kasih, Pangeran. Kami berusaha menjaga keseimbangan.”
Wirabuana mengangguk pelan. “Itu benar. Kesehatan rakyat adalah akar kekuatan negeri. Tanah subur tak ada gunanya bila yang menanam sakit-sakitan.”
Rakryan tersenyum malu-malu, tapi sorot matanya berbinar karena bangga.
Ia tidak menyangka pangeran muda itu begitu memperhatikan hal-hal kecil yang sering diabaikan.
“Pangeran sungguh bijaksana,” katanya lirih.
Namun Wirabuana termangu menatap lurus ke arah jalanan desa.
“Ada sesuatu yang mengusik, Pangeran?”
Wirabuana tersenyum tipis.
“Kalian tidak takut kami datang berpencar dan pagi-pagi begini?”
Rakryan tertawa kecil, menunduk.
“Apa yang kami takuti, Pangeran? Kami tak punya hal yang disembunyikan.”
Wirabuana mengangguk.
“Bagus. Jadi apakah hari ini sudah ada saudagar yang keluar dari desa?”
Rakyan menoleh ke arah para saudagar, salah satu dari mereka menjawab,
“Tidak, Pangeran. Kami sudah sepakat untuk berdagang ke luar wilayah di waktu tertentu, setelah hasil bumi terkumpul cukup banyak, agar tidak rugi perjalanan. Kami juga sudah menjadwalkan kedatangan saudagar lain untuk tukar-menukar barang.”
Tiba-tiba, saudagar lain di belakang bersuara pelan,
“Namun... tadi pagi ada pedagang dari desa tetangga yang mengambil biji jarak, Pangeran.”
Wirabuana mengangkat alis.
“Siapa nama saudagarnya?”
Saudagar itu tampak ragu.
“Dari...saya lupa pangeran...mereka hanya mengatakan butuh biji jarak terbaik dari wilayah ini.”
Wirabuana terdiam.
Di dalam pikirannya, nama-nama wilayah yang menanam jarak melintas satu per satu.
Ada tiga daerah lain yang jauh lebih melimpah hasilnya. Jadi... mengapa mereka datang ke sini?
"Boleh aku lihat catatan jual belimu?” pinta Wirabuana.
Dengan sedikit gugup, saudagar itu segera menyerahkan gulungan yang dia simpan di kantongnya.
Wirabuana menerimanya, pandangannya menyapu baris-baris tulisan, mencermati rincian jual beli yang tercatat.
Seketika, matanya terpaku pada nama wilayah pembeli. Jauh sekali.
Ia mengerutkan dahi, hatinya disergap keheranan.
"Itu wilayahnya Puspa, kan? Kenapa mereka malah minta biji jarak dari sini?"
Pikirannya langsung berlari, menimbang-nimbang logistik dan kondisi wilayah tersebut. "Bukankah di sana juga bisa memproduksi minyak jarak sendiri untuk kebutuhan lentera wilayah mereka? Bahkan hasilnya lumayan melimpah."
"Apa jangan-jangan di sana sedang dilanda paceklik, atau terjadi sesuatu?" batinnya
Wirabuana masih heran, sorot matanya seolah penuh selidik.
“Tapi... mengapa mereka repot-repot datang jauh-jauh ke tempat ini? Tidak ke wilayah lain yang hasilnya lebih banyak"