“Sudahlah, jangan banyak alasan kalau miskin ya miskin jangan hidup nyusahin orang lain.” Ucap istri dari saudara suamiku dengan sombong.
“Pak…Bu…Rafa dan Rara akan berusaha agar keluarga kita tidak diinjak lagi. Alhamdulillah Rafa ada kerjaan jadi editor dan Rara juga berkerja sebagai Penulis. Jadi, keluarga kita tidak akan kekurangan lagi Bu… Pak, pelan-pelan kita bisa Renovasi rumah juga.” Ucap sang anak sulung, menenangkan hati orang tuanya, yang sudah mulai keriput.
“Pah? Kenapa mereka bisa beli makanan enak mulu? Sama hidupnya makin makmur. Padahal nggak kerja, istrinya juga berhenti jadi buruh cuci di rumah kita. Pasti mereka pakai ilmu hitam tu pah, biar kaya.” Ucap istri dari saudara suaminya, yang mulai kelihatan panas, melihat keluarga Rafa mulai maju.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pchela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan untuk Lastri
Pagi-pagi buta, Herman dan Ratna sibuk berkutat di dapur rumah mereka. Ratna, yang tengah mengaduk cairan berwarna merah mencolok di wadah panci besar. “Cukup segitu saja mas, kalau kebanyakan bau’nya jadi nyengat.” ujar Ratna.
“Ah, ngak bakalan kelihatan. Orang itu warnanya cantik juga, baunya masih sedep kok ini, tambahin setetes lagi biar kayak saos asli. Rasanya pedesnya juga belum nyengat.” Ujar Herman, dia kembali meneteskan cairan berwarna merah tanpa merek.
“Kita pinter ya mas, modal dikit untung bisa tiga kali lipat. Kalau dari dulu kita gini, cepat kaya kita mas. Daripada jual saos asli, modal banyak untung dikit. Yang ada kita malah buntung, kalau gini kan. Kita bisa jadi orang paling kaya di kampung nanti.” Ucap Ratna dengan nada bangga.
Herman tertawa pelan. “Iya, tapi waktu itu kita ngak punya tempat buat kabur. Sekarang, kan ada rumah ibuk. Jadi, orang-orang yang kita tipu nggak bakalan tahu kita ada di mana.” Ucap Herman.
Mereka sama sekali tidak sadar, jika Bu Sri sudah bangun dan melihat mereka sibuk di dapur.
“Perlu ibu bantu nak, ibu udah bangun. Ibu bisa bantu kalian.” Ucap Bu Sri, yang sedari tadi sudah berjalan dengan langkah gemetar menuju tempat mereka.
Ratna dengan cepat menutup ember campuran. “Duh, ngapain sih Ibu kamu kesini?” Kesal Ratna menatap suaminya dengan wajah bengis.
“Usir mas,jangan sampai ibu kamu lihat terus ngadu ke mas Adi. Aku ngak mau kena kasus!!” Kesal Ratna, dia mendorong-dorong punggung suaminya agar mencegah ibu mertuanya masuk. Dan melihat racikan curang mereka berdua.
“Buk! Kenapa Ibu bangun? Ini masih pagi buta Bu! Ibu istirahat saja! Ndak usah bantu aku dan Ratna, kami berdua bisa ngerjain sendirian.” Tolak Herman dengan tegas, wajahnya panik berharap ibunya tidak melihat usaha curang mereka.
“Ndak, apa! Ibu bisa bantu dikit, ibu ndak mau kembali istirahat. Ibu ndak mau merepotkan kalian. Siang dan malam ibu lihat, menatu dan anak ibu kerja keras, ibu mau bantu.” Kekeh bu Sri.
“Ndak. Bu!!” Tolak Herman, Ratna mendengus sebal suaminya terlalu lembek padahal dulu dia bisa memukul ibunya, tapi sekarang dia sangat lembek padahal cuma melarang ibunya masuk ke dapur.
Ratna mendesah berat. “Udah mas, biarkan ibu bantuin kita. Ibu, bantuin nyapu rumah sama siapkan makanan, sama satu lagi lihat cucunya di kamar sana. Udah bangun apa belum, sekalian buang sampah sama urus cucunya. Biar, aku sama mas Herman bisa fokus ngerjain usaha kami. Soalnya, ibu ndak bakalan paham soal rasa saos gini.” Tungkas Ratna, Herman pun menatap ke arah Ratna.
“Oh, bener bu. Kalau, Ibu mau bantu sudah sana kerjakan pekerjaan rumah aja. Kalau Ibu memang kasihan sama mantu Ibu, biar Ratna setelah buat gini bisa istirahat.” Ucap Herman, dia setuju dengan ucapan sang istri.
“Iya,kalau gitu biar ibu saja yang urus rumah.” Jawab patuh Bu Sri. Dia tidak perduli soal tubuhnya yang semakin lemas karena saat malam hari sesaknya kambuh. Tubuhnya pun makin kurus, tapi dia paksaan buat batu ratna dan Herman.
“Pinter juga si Lastri sama mas Adi bawa ibu kesini. Gue bisa punya pembantu gratis kalau gini. Ah, sekarang gue doain nenek tua itu sembuh deh. Ngak, lagi gue doain dia cepat mati. Biar, gue punya babu gratis.” Batinnya, sembari cekikikan.
Berbulan-bulan berlalu, Ratna dan Herman mengumpulkan pundi-pundi uang yang cukup banyak. Dari hasil saos curang yang mereka jual, Herman dan Ratna meraup keuntungan sepuluh kali lipat dari biasanya.
Ratna mengecilkan pengeluaran, dia hanya makan enak satu minggu sekali. Sementara, Bu Sri dia hanya kasih makan tempe dan nasi doang, tanpa lauk lain setiap hari. Ratna, mau mengumpulkan pemasukannya agar dia bisa beli mobil, dan barang-barang mewah lainnya lalu memamerkan pada Adi dan Lastri.
“Ratna, kamu sama Herman sudah dapat untung yang bayak. Setiap hari, ibu lihat kamu dan suami kamu hitung uang yang banyak, tapi kenapa setiap hari cuma makan tempe saja? Kenapa tidak pernah beli lauk lain?” Tanya Bu Sri.
“Ndak. Uangnya sengaja, Mas, Herman kumpulan buat beli mobil. Biar kita bisa pulang ke kampung pakai mobil.” Ujar Ratna dengan wajah ketus.
Dia kembali enek mencium aroma minyak oles di tubuh Bu Sri. Ratna tengah hamil anak keduanya, setelah mendengar isu bahwa Lastri ke kota untuk mengecek kandungan anak kedua mereka, jadi Ratna tidak mau ketinggalan juga.
Dia harus punya anak lagi, yang nantinya akan menjadi pesaingnya anak kedua Lastri dan Adi. Atau mungkin, anak mereka akan menindas anaknya Lastri dan Adi, nanti.
................... ...
“Kita, tadi tidak mapir ke rumah Herman ya mas? Padahal aku kangen sama ibu.” Ucap Lastri. Mereka pulang dari kota dengan angkutan umum.
“Iya buk, kita ndak kesana sekarang, rumah mereka jauh dari rumah sakit tadi. Kalau mampir kesana dulu, kayaknya malam kita baru bisa pulang bu. Belum lagi, kalau malam kendaraan umum jarang mau ada yang narik sampai desa. Lain, kali saja ya Bu.” Sahut adi.
Dia beralasan untuk tidak datang ke rumah Herman dan Ratna. Ada rasa sakit yang belum bisa dia jelaskan mengganjal di hatinya. Untuk saat ini, Adi hanya ingin fokus dengan keluarganya, biarlah Ibu bahagia dengan Herman di sana, sesuai dengan kemauan ibu.
Lasti menatap raut wajah berbeda dari suaminya, dia tahu bahawa ada hal yang tengah suaminya sembunyikan darinya. Tetapi, dia tidak mau mendesak mas Adi untuk cerita, dia aka menunggu saat suaminya cerita sendiri.
“Pak, berhenti di depan.” Ucap Adi, Lastri menatap bingung. Mereka belum sampai di rumah kenapa mas Adi meminta berhenti disini.
Lastri tetap patuh turun mengekori suaminya, Adi dengan sigap membatu Lastri turun dari angkutan umum. “Pak terimaKasih ya, ini uangnya sisanya ambil saja pak.” Ucap Adi dengan raut wajah ramah.
“Ah, terimakasih banyak mas,e. Lancar selalu rezekinya.” Sahut pak supir dengan nada suara yang nyaring. Adi lantas mengajak Lastri untuk berjalan di atas tanah tandus.
“Kamu, pasti bingung mas mau ajak kemana ya? Lihat saja nanti ya, mas mau tunjukin sesuatu buat kamu, dan juga Rafa.” Ucap Adi.
Rafa, anak pertama mereka sudah bareng dengan mereka lagi. Tadi pagi, saat mereka kekota. Adi dan Lastri sempat menitipkan rafa pada tetangganya.
“Emang kemana mas?” Tanya Lasri yang penasaran. “Sudah ikut saja.” Sahut mas Adi, lantas mereka berjalan ke arah kebun mereka.