NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: sedang berlangsung
Genre:Dunia Lain
Popularitas:475
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Benturan Bisikan

Fajar tipis menyinari perkemahan Hale. Rowan berdiri di samping Edrick, keduanya memandang peta yang terbentang di meja kayu.

“Jika kabar itu benar,” kata Rowan, “maka kita tidak hanya melawan Kaelith. Kita melawan bara yang lahir dari darah Hale sendiri.”

Edrick menunduk, wajahnya tegang. “Aku tidak bisa menutup mata lagi. Aku harus tahu kebenaran dengan mataku sendiri. Kau pimpin pasukan utama. Aku akan kirim sekelompok pengintai untuk mencari jejaknya.”

Rowan mengangkat alis. “Dan jika mereka menemukannya?”

Edrick menatap tajam. “Maka aku akan tahu ke mana pedangku harus mengarah.”

 

Di sisi timur, Darius berdiri di atas bukit kecil, menatap jalan tanah yang dipenuhi gerobak kayu—suplai makanan untuk pasukan Hale.

Selene ada di sampingnya, busur siap di tangan. “Apakah ini perlu? Serangan kecil ini tidak akan mengubah arah perang besar.”

Darius menggeleng pelan. “Ini bukan soal arah perang. Ini soal menunjukkan bahwa aku bisa mengguncang fondasi Hale dengan tanganku sendiri. Biarkan mereka merasakan bara bahkan sebelum melihat nyalanya.”

Ia mengangkat pedangnya. “Hancurkan mereka.”

Serangan kilat pun dimulai. Gerobak terbakar, prajurit Hale yang menjaga lari kocar-kacir. Di tengah kobaran api, sorak prajurit Kaelith berubah: “Untuk Darius!”

Nama itu kembali menggaung, makin keras, makin tak bisa diabaikan.

 

Sore harinya, pengintai Hale kembali ke Edrick. Tubuh mereka lelah, tapi mata mereka masih terbelalak oleh apa yang dilihat.

“Jenderal,” salah satu melapor, “kami melihatnya dengan mata kepala sendiri. Darius memimpin serangan. Ia bukan lagi sekadar prajurit Kaelith. Ia menjadi pemimpin. Namanya… disebut lebih keras daripada Kaelith sendiri.”

Edrick terdiam. Ashenlight di punggungnya bergetar, suara bisikan kembali menghantam pikirannya.

“Bara merah… saudaramu… sudah mulai menjadi api.”

Edrick menunduk, rahangnya mengeras. Ia tahu, setiap hari yang lewat hanya membuat bara itu tumbuh semakin sulit dipadamkan.

 

Di perkemahan Kaelith, berita serangan Darius juga sampai ke telinga sang pemimpin.

Seorang komandan bersujud di hadapannya. “Tuan, pasukan kecil yang dipimpin Darius membakar suplai Hale. Mereka kembali membawa kemenangan.”

Kaelith hanya tersenyum dingin. “Biarkan dia. Semakin besar apinya, semakin besar pula bayangannya. Dan aku tahu kapan harus menginjak bara sebelum jadi nyala.”

Tapi dalam hatinya, Kaelith mulai resah. Api yang ia kira hanya alat… kini mulai tumbuh menjadi pesaing.

 

Malam itu, dua saudara duduk di perkemahan masing-masing.

Edrick menatap api unggun biru dari pedangnya.

Darius menatap kobaran merah dari obornya.

Dan di dalam hati keduanya, suara yang sama berbisik:

“Api ini akan bertabrakan. Tak ada jalan kembali.”

 

Tenda besar Kaelith dipenuhi asap dupa pahit, aroma yang menempel di lidah setiap orang yang masuk. Ia duduk di kursinya, jari-jarinya mengetuk meja kayu, matanya menyipit.

Seorang komandan melapor, “Nama Darius semakin sering disebut. Bahkan prajurit yang tak pernah berlutut untuk siapa pun kini menyebutnya sebagai pemimpin.”

Kaelith tersenyum tipis, tapi sorot matanya tajam seperti pisau. “Bara yang terlalu cepat menyala akan habis terbakar dirinya sendiri. Biarkan dia percaya dirinya semakin besar. Aku akan menguji apakah apinya mampu membakar… atau hanya bayangan yang rapuh.”

Ia memberi perintah: “Kirim Darius dan pasukannya ke garis depan, ke lembah berdarah. Jika ia jatuh, aku tak perlu mengotori tanganku. Jika ia kembali, aku akan tahu apakah bara itu pantas menjadi api.”

 

Malam itu, Darius duduk bersama Selene di tepi sungai kecil. Suara air yang mengalir seakan menenangkan, tapi pikirannya tidak.

Selene menatapnya. “Aku dengar Kaelith mengirimmu ke lembah berdarah. Itu bukan hadiah, itu jebakan.”

Darius mengangguk perlahan. “Aku tahu. Tapi jebakan juga bisa menjadi panggung. Jika aku selamat, aku akan kembali bukan sebagai bawahannya, tapi sebagai obor yang tidak bisa dipadamkan.”

Selene menatapnya dalam, lalu berkata pelan, “Kalau begitu, aku akan memastikan obor itu tetap menyala, bahkan di tengah badai.”

 

Di perkemahan Hale, Edrick berdiri di hadapan Rowan dan para perwira. Peta terbentang, dipenuhi garis merah dan biru.

Rowan menunjuk ke lembah berdarah. “Pengintai melaporkan pergerakan besar pasukan Kaelith ke arah sini. Tapi anehnya, dipimpin oleh Darius. Bukan Kaelith sendiri.”

Para perwira berbisik, bingung dengan strategi itu. Tapi Edrick hanya terdiam, matanya tajam menatap titik merah itu.

“Jika benar dia yang memimpin,” akhirnya Edrick berkata, “maka inilah saatnya. Aku harus melihatnya sendiri. Aku harus tahu apakah masih ada saudaraku di balik bara itu… atau hanya api yang ingin menghanguskan segalanya.”

 

Pagi berikutnya, pasukan bergerak dari dua arah.

Darius memimpin dari timur, membawa prajurit yang sudah menyebut namanya lebih keras daripada Kaelith.

Edrick memimpin dari barat, membawa prajurit Hale yang masih percaya pada sinar biru pedangnya.

Lembah berdarah menunggu mereka. Tempat di mana tanah pernah menyerap darah ribuan prajurit dalam perang lama, dan kini siap meminum lagi darah baru.

 

Kaelith berdiri jauh di puncak bukit, menyaksikan pasukan bergerak. Angin malam meniup jubahnya.

“Biarlah mereka menyalakan obor mereka masing-masing,” katanya dingin. “Dan saat api mereka bertabrakan, aku akan memungut abu yang tersisa.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!