Erlin, gadis mandiri yang hobi bekerja di bengkel mobil, tiba-tiba harus menikah dengan Ustadz Abimanyu pengusaha muda pemilik pesantren yang sudah beristri.
Pernikahan itu membuatnya terjebak dalam konflik batin, kecemburuan, dan tuntutan peran yang jauh dari dunia yang ia cintai. Di tengah tekanan rumah tangga dan lingkungan yang tak selalu ramah, Erlin berjuang menemukan jati diri, hingga rasa frustasi mulai menguji keteguhannya: tetap bertahan demi cinta dan tanggung jawab, atau melepaskan demi kebebasan dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Abimanyu melangkah masuk dengan hati-hati, menutup pintu perlahan di belakangnya.
Ia memperhatikan kamar Erlin yang sederhana, dengan beberapa buku dan peralatan kecil yang tertata rapi dan banyak sekali foto mobil yang berhasil Erlin rakit sendiri.
Erlin duduk di tepi ranjang dengan wajah yang masih terlihat lelah.
"Ada apa Bi? Ingin aku pulang, terus buat anak? Setelah itu kamu ceraikan aku dan ...,"
Erlin membelalakkan matanya saat bibir suaminya menutup bibirnya yang sedang bicara.
Spontan Erlin langsung mendorong tubuh suaminya.
"Dasar pria mesum! Menjijikkan sekali," Erlin menghapus bekas ciuman suaminya.
"Erlin, aku ini suamiku dan aku berhak menciummu." ucap Abimanyu.
"Berhak sih, Bi. Tapi ya nggak langsung nyosor seperti bebek."
Abimanyu menghela nafas panjang saat mendengar perkataan dari istrinya.
"Aku lakukan itu supaya kamu berhenti bicara yang menyakitkan, Lin. Aku tidak pernah berpikir untuk menceraikanmu, apalagi hanya karena seorang anak.”
Erlin terdiam sejenak sambil menatap wajah suaminya.
"Bi, jujur sama aku. Kamu nikahi aku karena anak, kan?
Abimanyu menatap mata Erlina dalam-dalam, seakan ingin menembus dinding keras kepala yang dibangun oleh Erlin.
"Tidak, Lin. Aku menikahimu bukan karena anak. Anak itu memang harapan, tapi bukan alasannya aku menikahimu. Aku yakin karena kamu adalah takdir yang Allah pilihkan untukku.”
Erlin menggeleng pelan, berusaha menarik tangannya tapi Abimanyu justru menggenggam lebih kuat.
“Kalau bukan karena anak, lalu kenapa? Aku ini keras kepala, Umi kamu tidak suka sama aku, Riana juga jelas tidak rela. Kenapa harus aku, Bi?" tanya Riana.
Abimanyu mendekat sambil menggenggam erat tangan istrinya.
"Aku mencintai kamu saat pertama kali bertemu di sirkuit."
Erlin langsung mematung menatap wajah suaminya.
"Sirkuit? Abi lihat aku balap motor?" tanya Erlin.
Abi menganggukkan kepalanya dan ia mengatakan kalau ia melihat di barisan paling depan.
Abimanyu tersenyum tipis, kenangan itu jelas sekali dalam benaknya.
“Iya, Lin. Aku lihat kamu di lintasan. Dengan helm yang menutupi wajahmu, aku bahkan tidak tahu siapa kamu saat itu. Sejak hari itu aku suka sama kamu dan ternyata kamu anak dari Abi Husein."
Erlin memicingkan matanya saat mendengar perkataan dari suaminya.
"Ayo kita pulang, Lin. Tidak enak kalau kamu dirumah Abi Husein." pinta Abimanyu.
Erlin menghela nafas panjang sambil menatap wajah suaminya.
"Semua rumah yang ada disana itu, Bi. Tidak suka sama aku. Jadi buat apa aku pulang?"
"Semua rumah? Lin, masih ada aku dan Kyai yang suka dengan keberadaan kamu."
Erlin mengerucutkan bibirnya saat suaminya menjelaskannya.
"Lin, ayo pulang. Aku nggak mau istriku disini sendirian."
"Lebih baik disini sendirian, Bi. Daripada disana yang selalu menyudutkan aku." ucap Erlin.
Abimanyu menarik napas panjang, lalu duduk di samping Erlin.
Tatapannya serius, tapi ada kelembutan yang tidak bisa disembunyikan.
“Lin, kamu tahu nggak? Di sana memang ada orang-orang yang mungkin nggak suka sama kamu. Tapi, kalau kamu tetap di sini, mereka akan lebih bahagia."
Erlin mengangguk kecil saat suaminya berkata seperti itu.
"Baiklah, ayo kita pulang. Tapi, tolong selalu percaya sama aku, Bi."
"Insyaallah, suamimu ini akan percaya sama kamu."
Erlin bangkit dari duduknya dan mengambil jaket serta helmnya.
Mereka berdua keluar dari kamar dan berpamitan dengan Abi Husein.
"Erlin, ini masakan ibu, kamu bawa ya. Ibu sudah menyiapkan makanan kesukaan kamu."
Erlin berjalan keluar tanpa menghiraukan Ibu Mina.
"Biar saya saja Bu yang membawanya." ucap Abimanyu.
Abimanyu berpamitan kepada orang tua Erlin dan mengajak istrinya masuk kedalam mobil.
"Motor kamu biar diambil sama Agil,"
Erlin mengangguk kecil sambil memakai jaketnya.
Abimanyu segera melajukan mobilnya menuju ke rumahnya.
Abi Husein meminta istrinya untuk bersabar menghadapi Erlin.
"Iya Abi, Aku akan selalu sabar menghadapi Erlin."
Abi Husein mengajak istrinya masuk kedalam rumah.
Mobil melaju pelan meninggalkan halaman rumah Abi Husein.
Erlin bersandar di kursi samping, memandangi jalanan tanpa berkata apa-apa.
Tangannya meremas ujung jaket, seolah menahan perasaan campur aduk di dalam dada.
Abimanyu sesekali melirik istrinya, lalu tersenyum kecil.
“Lin, aku tahu ini nggak mudah buat kamu. Tapi aku janji, mulai sekarang kita jalanin semuanya sama-sama.”
“Kalau kamu nggak tepati janji itu, Bi. Aku akan kabur lagi.”
"Kalau kamu kabur, Lin. Aku juga ikut kabur cari kamu."
Erlin tersenyum kecil saat mendengar perkataan dari suaminya.
Dua jam kemudian, mobil yang dikendarai Abimanyu akhirnya berhenti di halaman rumah besar itu.
Lampu teras menyala terang, menandakan semua orang di dalam masih terjaga.
"Bi, aku takut masuk ke dalam rumah." ucap Erlin.
"Tidak usah takut, ada aku disini. Ayo kita turun sekarang." ajak Abimanyu.
Mereka berdua turun dari mobil dan masuk kedalam rumah.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam, ayo masuk." ucap Kyai Abdullah yang meminta Abimanyu dan Erlina untuk masuk ke dalam.
Umi Farida bangkit dari duduknya dan menghampiri mereka.
"Kenapa kamu bawa dia lagi, Bi? Dia menantu kampungan dan sudah mendorong Umi tadi." ucap Umi Farida.
"Umi, Erlin masih sah istriku. Dan aku berhak membawa Erlin pulang kerumahku." ujar Abimanyu.
Kyai Abdullah meminta Abimanyu untuk membawa Erlina masuk ke kamarnya.
"Abi, malam ini jatah aku. Abi jangan lupa." ucap Riana yang sengaja menunjukkan posisinya sebagai istri pertama Abimanyu.
Abimanyu menoleh ke arah Riana dengan tatapan tajam.
“Riana, cukup! Jangan bicara seenaknya di depan Erlin. Kamu tahu aturan agama, kan? Istri itu bukan barang yang bisa dijatah seperti makanan. Jangan pernah rendahkan pernikahan ini dengan ucapan seperti itu.”
Riana terdiam, wajahnya memerah menahan malu dan marah.
Ia tak menyangka Abimanyu akan menegurnya sekeras itu di depan Umi dan Kyai Abdullah.
"Abi, Riana istri pertama kamu. Jadi..."
"CUKUP!"
Kyai Abdullah mempersilahkan Abimanyu masuk terlebih dahulu.
Abimanyu menggandeng tangan Erlin dan masuk ke dalam kamarnya.
Kyai Abdullah meminta Riana untuk masuk ke dalam kamar.
Riana mengangguk kecil dan masuk kedalam kamar.
"Umi, Abimanyu sudah memilih Erlin dan sebagai orang tua kita hanya bisa mendoakan. Jangan sampai kita menjadi sebab anak sendiri durhaka pada orang tuanya.”
Umi Farida langsung masuk ke kamar dan meninggalkan suaminya yang masih mengajaknya bicara.
"Astaghfirullah Umi, kenapa kamu seperti anak kecil." ucap Kyai Abdullah.
Kyai Abdullah ikut masuk ke kamar dan melihat istrinya yang sudah menutup tubuhnya dengan selimut.
Beliau hanya tersenyum tipis saat melihat tingkah istrinya yang seperti anak kecil.
Sementara itu di kamar atas dimana Abimanyu meminta Erlin untuk istirahat.
"Bi, aku minta maaf sudah membuat kalian bertengkar gara-gara aku." ucap Erlin.
Abimanyu yang sedang membuka jasnya menoleh, lalu mendekat ke arah Erlin yang duduk di tepi ranjang.