FB Tupar Nasir, ikuti FB nya ya.
Diam-diam mencintai kakak angkat. Namun, cintanya tidak berbalas. Davira, nekad melakukan hal yang membuat seluruh keluarga angkatnya murka.
Letnan Satu Arkaffa Belanegara, kecewa dengan kekasihnya yang masih sesama anggota. Sertu Marini belum siap menikah, karena lebih memilih jenjang karir yang lebih tinggi.
Di tengah penolakan sang kekasih, Letnan Arkaffa justru mendapat sebuah insiden yang memaksa dia harus menikahi adik angkatnya. Apa yang terjadi?
Yuk kepoin.
Semoga banyak yang suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 Pertemuan Terakhir
Langkah Davira terasa berat ketika meninggalkan ruang kerja manajer PT Graha Sejahtera Sentosa. Surat pengunduran dirinya sudah ia serahkan. Suasana hatinya bercampur aduk, antara lega karena akhirnya berani mengambil keputusan, tapi juga sedih sebab ia harus meninggalkan pekerjaan yang selama dua tahun menjadi penopang hidupnya.
Ia tahu, ini bukan hanya soal pekerjaan. Ada hati seseorang yang selama dua tahun diam-diam melingkupinya dengan perhatian dan cinta, yakni Arda.
Ketika Davira keluar dari lobi, Arda sudah menunggunya di halaman parkir. Lelaki itu berdiri bersandar di pintu mobilnya, wajahnya kelam. Begitu mata mereka bertemu, Davira langsung menunduk. Ia tidak punya tenaga lagi untuk menanggung tatapan kecewa itu.
"Jadi… ini keputusanmu, Vira?" Suara Arda terdengar lirih tapi penuh luka.
Davira berhenti sejenak. Tangannya menggenggam erat tas yang ia bawa. "Iya, Mas. Dengan berat hati saya harus meninggalkan perusahaan ini. Saya sudah pamit. Mulai besok, saya bukan karyawan di sini lagi."
Arda menghela napas panjang, menahan sesuatu yang hampir meledak di dadanya. Ia menatap langit sore yang mulai jingga, lalu kembali menatap Davira. "Kalau begitu… biarkan aku mengantarmu pulang. Anggap saja ini, pertemuan terakhir kita."
Davira terdiam. Dalam hatinya, ia ingin menolak. Ia tahu, setiap kebersamaan dengan Arda hanya akan memperkeruh keadaan. Tapi ia juga tidak tega melihat wajah lelaki itu yang begitu memohon.
"Tapi, Mas...." Suara Davira bergetar.
"Tolong, Vira. Jangan tolak aku kali ini. Anggap saja ini permintaan aku yang terakhir. Lagipula setelah ini, kita belum tentu bisa bertemu lagi, kan?" bujuk Arda lagi.
Akhirnya Davira mengangguk pelan. Ia iba melihat Arda yang begitu serius dan memohon. Ia masuk ke mobil, duduk di kursi penumpang. Arda menyalakan mesin dan membawa mobil itu melaju, tanpa ada percakapan berarti di sepanjang jalan. Hanya ada keheningan, hanya ada suara detak jam dan deru kendaraan.
Mobil Arda tiba di depan sebuah rumah, ketika Davira menghentikannya. Davira menghela napas lega. Ia segera membuka pintu. "Terima kasih banyak sudah mengantar saya, Mas. Maafkan saya atas segalanya," ujarnya.
Namun saat itu pula, sebuah mobil lain melintas cepat lalu berhenti mendadak di pinggir jalan. Pintu mobil terbuka kasar, dari dalam mobil itu muncul Kaffa, dengan wajah merah padam, matanya menyala bagai api. Dia terlihat sangat marah.
"DAVIRA!" bentaknya lantang, membuat beberapa tetangga yang kebetulan lewat menoleh.
Davira tercekat. Jantungnya berdegup kencang. Ia buru-buru turun dari mobil Arda, tapi telat, Kaffa sudah melangkah cepat ke arahnya. Lalu ia meraih lengan Davira dengan kasar.
"Apa maksudmu?!" Kaffa menunjuk mobil Arda. "Kamu berani jalan berdua dengan laki-laki lain tanpa sepengetahuan aku?" sentaknya emosi, napasnya turun naik.
"Bukan begitu, Kak! Dengar dulu...." Davira mencoba menjelaskan.
"Dengar apa?" Kaffa memotong kasar. "Aku sudah lihat dengan mata kepalaku sendiri! Kamu turun dari mobilnya, Vira! Jangan bohong!"
Arda yang masih berdiri di samping mobil mencoba menengahi. "Mas, tolong tenang dulu. Saya hanya mengantar Davira. Dia pamit dari perusahaan tempat dia bekerja untuk mengundurkan diri. Tidak ada yang lebih dari itu."
Tapi, Kaffa malah mendorong dada Arda. "Kamu diam! Aku tidak butuh penjelasanmu! Aku bicara dengan istriku!" sentaknya. Arda terpaksa mundur satu langkah, meskipun ia masih ingin memberi penjelasan. Sayang, Kaffa terlanjur emosi.
Davira semakin panik. Ia maju selangkah, berusaha menenangkan Kaffa. "Kak, tolong jangan salah paham. Aku ke perusahaan hanya untuk pamit, bukan untuk yang lain. Mas Arda memaksa mengantarku pulang, katanya ini pertemuan terakhir. Itu saja, Kak. Demi Allah, itu saja!" yakinnya sungguh-sungguh. Sudut matanya mulai dipenuhi kaca-kaca.
Namun, telinga Kaffa seakan tertutup oleh bara cemburu. Napasnya memburu, rahangnya mengeras. "Kamu pikir aku bisa percaya semudah itu? Jangan-jangan kamu sengaja pamit dari perusahaan hanya supaya bisa bertemu dengannya, untuk sekedar melepas rindu kalian!"
Wajah Davira langsung memucat. Dia tidak terima dengan kalimat tudingan Kaffa. Kepalanya menggeleng sebelum ia berkata. "Tidak! Demi Allah, tidak, Kak!"
Tapi Kaffa sudah tidak bisa berpikir jernih. Ia menggenggam kuat bahu Davira, nadanya menusuk. "Atau jangan-jangan… kamu sudah tidak suci lagi? Kamu sudah menyerahkan kehormatanmu pada laki-laki itu. Sehingga kamu berani menyusulnya saat aku tidak berada di rumah?" tuduhnya semakin menyakiti hati Davira.
Kalimat itu menghantam dada Davira seperti petir. Ia terbelalak, air matanya jatuh deras. Tangannya menepis genggaman Kaffa. "Astaghfirullah, Kak! Bagaimana bisa Kakak menuduh aku seperti itu? Aku sungguh-sungguh pergi ke perusahaan itu hanya untuk berpamitan dan mengundurkan diri," jelas Davira, suaranya pecah penuh luka.
Arda terhenyak, dia merasa di kambing hitamkan. Sementara dirinya dan Davira tidak melakukan apa-apa selain mengantar Davira, itupun karena ia yang memaksa.
Saat Arda kembali ingin menengahi, Kaffa menghalau dan mengusir Arda. Arda terpaksa menjauh, akan tetapi masih tetap berada tidak jauh dari mobilnya, untuk memantau perdebatan antara Kaffa dan Davira. Arda hanya khawatir, jangan sampai perdebatan itu berakhir pada kekerasan fisik.
Kaffa masih dengan amarahnya, meski sorot matanya sedikit bergetar. "Jawab, Davira! Apa kamu masih menjaga kehormatanmu?"
Davira menutup wajah dengan kedua tangannya, menangis tersedu. "Kak, Vira bersumpah, Vira masih menjaga kehormatan Vira dengan baik. Vira tidak pernah menyerahkannya pada siapa pun. Kehormatan Vira hanya akan Vira berikan pada suami, lelaki yang Vira cintai."
Kaffa tercekat. Kata-kata itu membuat hatinya berguncang. "Suami? Siapa yang kamu maksud?" Suaranya menurun, tapi penuh penekanan.
Dengan air mata bercucuran, Davira menatap lurus ke arah Kaffa. "Suami Vira adalah Kak Kaffa. Dan hanya kepada Kak Kaffa… Vira akan menyerahkan kehormatan ini. Karena Vira... Vira mencintaimu, Kak."
Sejenak dunia hening. Kata-kata itu bagai palu yang menghantam ego Kaffa. Tubuhnya kaku, matanya berkedip cepat menahan perasaan yang campur aduk.
Lalu perlahan, bibirnya bergetar. "Kalau memang kamu masih menjaga kehormatanmu, kalau memang semua ucapanmu benar...." Ia mendekat, sorot matanya menusuk dalam. "Buktikan padaku, Davira."
Davira terbelalak. Tubuhnya bergetar hebat. Ia mundur setapak, namun Kaffa meraih tangannya. "Buktikan bahwa kata-katamu bukan dusta. Buktikan bahwa kamu memang masih menjaga kehormatanmu hanya untukku."
Air mata Davira mengalir semakin deras. Hatinya berkecamuk antara rasa sakit karena dituduh, dan rasa cinta yang masih tersisa. Dalam batinnya, ia tahu malam itu akan menjadi malam yang menentukan, apakah dirinya akan kembali dipercaya oleh suaminya, atau justru semakin hancur?
Arda masih berdiri terpaku, menyaksikan semua adegan yang membuat dadanya ikut remuk. Ia tahu, di sini bukan lagi tempatnya. Dengan langkah berat, ia kembali ke mobilnya. Mesin dinyalakan. Ia pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan Davira dalam pusaran badai rumah tangganya sendiri.
Dan di dalam rumah itu, pertarungan hati antara cinta dan luka baru saja dimulai.
semangat 💪💪💪 lanjut up thor
gedek bayikk
buat Vira pergi lagi ...biar nyaho kak