Erlin, gadis mandiri yang hobi bekerja di bengkel mobil, tiba-tiba harus menikah dengan Ustadz Abimanyu pengusaha muda pemilik pesantren yang sudah beristri.
Pernikahan itu membuatnya terjebak dalam konflik batin, kecemburuan, dan tuntutan peran yang jauh dari dunia yang ia cintai. Di tengah tekanan rumah tangga dan lingkungan yang tak selalu ramah, Erlin berjuang menemukan jati diri, hingga rasa frustasi mulai menguji keteguhannya: tetap bertahan demi cinta dan tanggung jawab, atau melepaskan demi kebebasan dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Kyai Abdullah mengajak Billy dan santri lainnya mencari keberadaan Umi Farida dan Riana.
Usai kejadian mengerikan yang menimpa Erlin, Kyai Abdullah memanggil Billy dan beberapa santri ke serambi mushola.
Wajahnya serius, sorot matanya penuh kewaspadaan.
"Umi Farida dan Riana sudah keterlaluan dan kita harus segera mencari keberadaan mereka." ucap Kyai Abdullah.
Mereka menganggukkan kepalanya dan akan membantu Kyai mencari keberadaan mereka berdua.
Disaat bersamaan tiba-tiba Sisil berlari menuju ke padepokan.
"Kyai, mereka ada di rumah tua dan Ustadzah Riana sekarang sedang berteriak kesakitan." ucap Sisil.
Kyai yang mendengarnya langsung mengajak mereka menuju ke rumah tua yang ada di dekat pondok pesantren.
Sesampainya di sana Kyai melihat Riana yang berteriak kesakitan.
Riana terbaring di lantai, tubuhnya menggeliat kesakitan.
Teriakannya melengking, tangannya mencakar-cakar tanah, seolah ada sesuatu yang membakar tubuhnya dari dalam.
“AAAAAHHHH! Lepaskan aku!! Jangan siksa aku!!” jerit Riana, matanya melotot, urat-urat di lehernya menegang.
Sementara itu, Umi Farida berdiri tak jauh dari sana.
Wajahnya penuh tawa angkuh, matanya berkilat aneh.
“Hahaha! Lihatlah! Aku sudah berhasil memisahkan Erlin dari Abimanyu! Semua rencanaku berjalan lancar! Tidak ada yang bisa menghalangiku!!”
Kyai Abdullah melangkah maju dengan tenang, namun sorot matanya tajam.
Billy dan para santri mengikuti di belakang, hati mereka berdebar melihat kengerian di depan mata.
“Farida…” suara Kyai Abdullah dalam dan tegas.
“Berhentilah sebelum Allah menurunkan murka-Nya. Apa yang kamu lakukan bukan hanya mendzalimi Erlin, tapi juga menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam lembah kesyirikan.”
Namun Umi Farida justru tertawa semakin keras, suaranya menggema di rumah tua itu.
“Kyai! Jangan ikut campur! Aku sudah lama menunggu kesempatan ini. Erlin harus hancur! Abimanyu harus kehilangan cintanya! Hanya dengan begitu aku puas!”
Tiba-tiba tubuh Riana bergetar semakin hebat dan menjerit lagi, kali ini suaranya berubah serak, seolah ada sesuatu yang berbicara melalui dirinya.
“Panas! Panas! Lepaskan aku!!” ucap Riana dengan ketakutan.
Kyai Abdullah menengadahkan tangannya dan berdoa kepada Allah.
Riana memberontak kepanasan dan kemudian ia jatuh pingsan.
"Ayo kita bawa mereka ke rumah sakit," ucap Kyai Abdullah
Billy membopong tubuh Riana dan yang lainnya membawa Umi Farida.
Kyai Abdullah segera melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit.
Di dalam mobil para santri memegangi umi Farida yang akan melompat dari mobil.
Tak berselang lama Kyai andil menghentikan mobilnya di depan ruang UGD.
Dokter dan perawat segera membawa mereka berdua.
Disaat kyai Abdullah akan masuk kedalam, tiba-tiba Hayden memanggil Kyai Abdullah.
"Kyai, ijinkan aku menemani Riana. Sepertinya dia sekarang sedang mengandung anakku." ucap Hayden.
Kyai Abdullah langsung menghela nafas panjang dan akhirnya ia mengijinkan Hayden untuk masuk kedalam rumah sakit.
Kyai Abdullah, Hayden, Billy dan para santri menunggu di luar ruang UGD.
"Sebenarnya ada apa, Kyai? Saya tadi melihat anda yang keluar dari rumah tua."
Kyai Abdullah meminta Billy yang menceritakan kepada Hayden.
Hayden menggelengkan kepalanya dan tidak menyangka jika Umi Farida dan Riana bisa melakukan hal sekejam itu.
Tak berselang lama dokter keluar dari ruang UGD dan menghampiri Kyai Abdullah.
“Riana mengalami luka bakar aneh, seolah-olah kulitnya melepuh dari dalam. Kami sedang berusaha menanganinya. Sedangkan Umi Farida mohon maaf, beliau mengalami gangguan jiwa berat. Kondisinya tidak stabil, harus dipindahkan ke ruang khusus.”
Kyai Abdullah mengangguk pelan, matanya menerawang.
“Segala perbuatan yang berlandaskan pada syirik dan kebencian pasti akan kembali menghantam pelakunya. Inilah bukti kuasa Allah.”
Hayden menunduk, wajahnya diliputi rasa bersalah.
Ia memandang ke arah pintu ruang UGD, hatinya bergejolak.
“Riana, kenapa kamu harus sampai begini?” gumamnya lirih, hampir berbisik.
Billy yang berdiri di samping Kyai menatap Hayden dengan sorot mata penuh pertanyaan.
“Hayden, kamu bilang tadi kalau Riana mengandung anakmu? Apa benar?”
Hayden menghela napas berat, lalu menatap Kyai Abdullah dengan jujur.
“Benar, Kyai. Aku sempat menjalin hubungan dengannya sebelum aku sadar siapa dia sebenarnya. Aku khilaf dan aku tidak pernah tahu bahwa Riana akan sekejam ini.”
Kyai Abdullah menatap Hayden dalam-dalam, seolah menembus hatinya.
“Anak adalah titipan Allah, tidak bersalah atas perbuatan orang tuanya. Jika benar Riana mengandung, maka tanggung jawab ada padamu. Tapi ingat, jalan yang salah tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Tugasmu sekarang adalah bertaubat dan memperbaiki apa yang bisa diperbaiki.”
Hayden menganggukan kepalanya dan berjanji akan bertaubat.
“Ya Allah, ampuni aku…”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam ruang UGD. Para perawat berlarian, wajah mereka panik.
“Dokter! Pasien kejang lagi! Tekanan darahnya drop!”
Semua yang menunggu di luar sontak berdiri. Hayden maju setapak, namun dokter segera keluar dan mengangkat tangannya.
“Tenang, kami akan lakukan yang terbaik. Tapi luka bakar ini bukan luka biasa. Seperti ada sesuatu yang menyerang dari dalam tubuhnya.”
Kyai Abdullah menundukkan kepala, lalu berbisik lirih.
“Ya Allah, lindungi mereka yang terjerumus dalam jalan gelap. Berilah kesempatan untuk bertaubat sebelum ajal menjemput.”
Billy mendekat ke arah Kyai dan meminta agar menghubungi Abimanyu.
"Mungkin saja dengan Abimanyu dan Erlin mendoakan mereka berdua. Mereka akan sembuh, Kyai." ucap Billy.
Kyai Abdullah mengambil ponselnya dan segera menghubungi Abimanyu yang berada di rumah sakit yang sama.
Abimanyu yang sedang menemani Erlin langsung mengangkat ponselnya.
"Abimanyu, apakah kamu bisa ke ruang UGD bersama dengan Erlin. Nanti Abi jelaskan disini." pinta Kyai Abdullah.
"Iya, Abi. Saya akan kesana sekarang."
Abimanyu menutup ponselnya sambil menggenggam tangan istrinya.
"Ada apa, Bi?" tanya Erlin dengan tubuh yang masih lemah.
"Kita ke ruang UGD, ya. Kyai meminta kita untuk kesana."
Erlin mengangguk kecil dan segera Abimanyu mengambil kursi roda.
Abimanyu mendorong kursi roda menuju ke ruang UGD.
Sesampainya disana,. mereka berdua melihat Kyai Abdullah, Billy, Hayden dan para santri lainnya ada di disana.
"Bi, ada apa?" tanya Abimanyu dengan wajah kebingungan.
"Umi Farida dan Riana terkena balasan dari apa yang mereka lakukan. Riana kini terluka parah, tubuhnya terbakar dari dalam. Sedangkan Umi Farida kehilangan kesadaran, jiwanya kacau. Aku memanggil kalian, karena doa dari hati yang tulus bisa menjadi obat yang tidak bisa diberikan oleh siapa pun kecuali dengan izin Allah.”
Erlin sangat terkejut ketika mendengar perkataan dari Kyai Abdullah.
"Bi, apa salahku sampai mereka begitu kejam ke aku?" tanya Erlin dengan suara yang parau.
"Sayang, kamu nggak salah apa-apa. Umi Farida dan Riana tidak suka kita bersatu sayang. Dan sekarang, apakah kamu mau mendoakan Umi Farida dan Riana?"
Erlin mengangguk kecil dan ia akan memaafkan mereka berdua.
Abimanyu dan Erlin menengadahkan tangannya dan mulai mendoakan mereka berdua.
"Ya Allah, berikanlah pintu maaf kepada Umi Farida dan Riana. Hamba hanya manusia lemah yang meminta pertolongan Mu. Berikanlah mereka kesembuhan. Aamiin..."
Abimanyu memeluk tubuh istrinya dan mengucapkan terima kasih karena kesabarannya.
Tak berselang lama dokter kembali keluar dan mengatakan kalau Riana dan Umi Farida sudah tenang.
“Entah bagaimana, tiba-tiba kondisi mereka stabil. Padahal secara medis kami sudah hampir kehilangan harapan.”
Kyai Abdullah tersenyum tipis, menengadahkan wajah ke langit-langit rumah sakit.
“Itulah kuasa Allah, Dokter. Tak ada yang mustahil jika hati yang tulus memohon.”
Billy dan para santri menitikkan air mata, menyaksikan sendiri kekuatan doa yang penuh keikhlasan.
Hayden menatap ke arah pintu UGD dengan mata basah. Hatinya bergetar, rasa sesal bercampur syukur.
“Ya Allah, Engkau masih memberi kesempatan pada mereka. Jangan biarkan aku menyia-nyiakan kesempatan ini.”
Erlin menggenggam tangan Abimanyu erat-erat. Meski tubuhnya masih lemah, wajahnya tampak damai.
“Abi, mungkin inilah jawaban kenapa kita harus sabar. Allah ingin menunjukkan bahwa kebencian tidak akan pernah menang dari doa yang ikhlas.”
“Kamu benar, Sayang. Kesabaranmu adalah kekuatan kita.”
Kyai Abdullah kemudian berdiri, menatap semua yang hadir.
“Anak-anakku, apa yang kalian lihat hari ini adalah pelajaran berharga. Syirik, dendam, dan kebencian hanya akan berakhir pada kehancuran. Namun doa, maaf, dan kesabaran itulah yang akan mengalahkan kegelapan.”
Hayden menghampiri Abimanyu dan ia meminta maaf karena sudah melakukan perbuatan itu.
"Aku sudah memaafkan kamu, Hayden. Jika kamu mencintai Riana, nikahi dia." ucap Abimanyu.