Yansya diceraikan istrinya karena dia miskin. Setelah menjadi agent khusus, akankah hidupnya berubah menjadi lebih baik? atau menjadi semakin buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penangkapan Fabian
Yansya tidak membuang waktu. Setelah mendapat sinyal dari Aurora, ia berlari ke arah gudang, melompat cekatan, lalu memanjat pagar kawat berduri dengan gesit. Kakinya menapak ringan di dinding, lalu ia meraih tepi ventilasi yang sudah terbuka. Tanpa ragu, Yansya menyelinap masuk ke dalam, memanfaatkan waktu lima belas detik yang berharga itu.
Di dalam ventilasi, kegelapan menyelimutinya. Suara napas Yansya terdengar jelas, bercampur dengan bisikan Aurora dari earpiece, "Tetap lurus, Yan. Ada sensor gerak di bawah, jangan sampai terdeteksi." Yansya mengangguk dalam hati, merayap perlahan, mengandalkan sentuhan tangannya untuk memandu di lorong sempit itu.
Ia terus merayap, melewati belokan-belokan, sampai akhirnya ia melihat cahaya redup dari sebuah celah. Aurora kembali berbisik, "Kamu sudah dekat. Ada tangga di bawah celah itu. Hati-hati, ada penjaga yang berpatroli setiap tiga puluh detik." Yansya bersiaga, menunggu waktu yang tepat.
Ketika penjaga itu berbalik, Yansya segera menjatuhkan diri dari ventilasi, mendarat tanpa suara di samping tangga. Ia bersembunyi di balik tumpukan kardus besar, matanya mengamati sekeliling. Gudang itu luas, penuh dengan rak-rak tinggi yang berisi berbagai kotak dan barang.
Yansya bergerak cepat di antara tumpukan barang, mengendap-endap. Aurora terus memandunya, "Fabian ada di ruang kontrol, di lantai dua, di bagian paling belakang gudang. Ada tiga penjaga di koridor menuju sana." Yansya merencanakan serangannya dalam diam.
Ia melihat ketiga penjaga itu sedang asyik berbincang, membelakanginya. Yansya mengambil kesempatan itu, menyerang dari belakang dengan gerakan cepat dan mematikan. Dalam hitungan detik, ketiga penjaga itu tumbang tanpa mengeluarkan suara, tidak menyadari apa yang menimpa mereka.
Yansya segera naik ke lantai dua, menuju ruang kontrol. Pintu ruang kontrol terkunci rapat. Aurora berbisik, "Kuncinya ada di saku penjaga yang paling kanan di bawah. Aku sudah mengidentifikasinya." Yansya mendengus, kembali turun, mengambil kunci, lalu naik lagi.
Dengan kunci di tangannya, Yansya membuka pintu ruang kontrol. Di dalam, Fabian berdiri membelakanginya, sibuk menatap layar monitor besar. Ada dua anak buahnya yang juga berada di ruangan itu, sedang mengawasi monitor lainnya.
"Fabian," suara Yansya terdengar dingin dan tajam, membuat Fabian tersentak kaget. Fabian berbalik, matanya langsung melebar saat melihat Yansya berdiri di ambang pintu, dengan senjata teracung.
Dua anak buah Fabian langsung maju menyerang, tetapi Yansya terlalu cepat. Ia menghindari pukulan pertama, lalu membalas dengan tendangan keras yang membuat salah satu anak buah Fabian terhuyung. Yang satunya lagi langsung ia lumpuhkan dengan pukulan telak ke leher.
Fabian menyeringai, "Berani sekali kau datang sendirian, Yansya." Ia mengeluarkan pisau lipatnya, bersiap untuk bertarung. "Apa kau lupa siapa yang melukaimu dulu?" Nada Fabian penuh ejekan.
"Aku tidak melupakan apa pun, Fabian," balas Yansya, suaranya dipenuhi amarah. "Termasuk apa yang kau lakukan pada Reno." Yansya menyerbu, tidak memberi Fabian kesempatan untuk menyerang lebih dulu.
Pertarungan sengit pecah di dalam ruang kontrol. Fabian, yang cerdik dan kuat, mencoba menusuk Yansya dengan pisaunya, tetapi Yansya menghindarinya dengan gesit. Setiap gerakan Yansya cepat, presisi, dan mematikan.
Yansya mendaratkan pukulan keras ke wajah Fabian, membuat pria itu terhuyung. Fabian membalas dengan tendangan yang mengarah ke perut Yansya, tetapi Yansya menangkisnya, lalu memutar tubuhnya, mengunci lengan Fabian.
"Kau akan membayar mahal untuk semua ini, Fabian," desis Yansya, lalu ia membanting Fabian ke lantai. Pisau lipat Fabian terlepas dari genggamannya, terlempar jauh. Yansya tidak memberi ampun. Ia mencekik leher Fabian, menekan kuat-kuat, memastikan pria itu tidak bisa bernapas atau melawan. Wajah Fabian mulai memerah, tangannya mencakar-cakar lengan Yansya, berusaha melepaskan diri.
Aurora, yang memantau dari jauh, berbisik tegang, "Jangan bunuh dia, Yan! Kita butuh dia hidup-hidup!" Yansya mendengar, tetapi amarahnya terlalu besar. Ia menekan lebih kuat, matanya menatap tajam ke wajah Fabian yang mulai membiru.
Fabian mulai kehabisan napas. Tubuhnya mengejang, matanya melotot. Yansya melihat semua itu, mengingat kembali rasa sakit yang dialami Reno. Yansya ingin menghabisinya saat itu juga, mengakhiri semua penderitaan.
Namun, suara Aurora kembali terdengar, lebih tegas kali ini, "Pikirkan Lisa, Yan! Pikirkan semua orang! Jangan biarkan amarah menguasai!" Kata-kata itu menusuk ke dalam hati Yansya, perlahan meredakan amarah yang membakar.
Yansya mengendurkan cekikannya sedikit, memberi Fabian kesempatan untuk menghirup napas. Fabian terbatuk-batuk, megap-megap, mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa kesadarannya. Wajahnya pucat pasi, penuh ketakutan.
Yansya kemudian menarik Fabian berdiri, mengikat tangannya ke belakang dengan borgol yang ia bawa. "Kau beruntung, Fabian," ucap Yansya, suaranya masih dingin. "Kali ini, kau lolos." Yansya menatap Fabian dengan tatapan penuh peringatan.
"Kau... kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku," Fabian bergumam, suaranya lemah, tetapi masih ada jejak kesombongan di sana. "Maria... dia akan membalas dendam." Fabian mencoba menantang Yansya.
Yansya mendengus. "Maria akan menghadapi konsekuensinya sendiri," balas Yansya, ia tidak gentar. "Sekarang, kita pergi." Yansya menyeret Fabian keluar dari ruang kontrol, menuju ke bawah.
Aurora memandu Yansya lagi, "Ada jalan keluar rahasia di bagian belakang gudang, dekat dengan area bongkar muat. Penjaganya sudah berhasil aku lumpuhkan dari sistem." Yansya mengikuti arahan itu dengan sigap.
Yansya menyeret Fabian melewati koridor-koridor, melewati tumpukan barang yang tadi menjadi tempat persembunyiannya. Ia memastikan Fabian tidak bisa berteriak atau memberi isyarat kepada siapa pun.
Ketika mereka sampai di area bongkar muat, Yansya melihat sebuah pintu kecil yang tersembunyi di balik tumpukan peti. Ia membukanya, dan udara segar langsung menyambutnya.
Di luar, mobil Yansya sudah menunggu, persis di tempat ia memarkirkannya. Yansya mendorong Fabian masuk ke kursi belakang, lalu ia masuk ke kursi pengemudi. Ia mengunci pintu mobil.
Aurora berbisik, "Bawa Fabian ke markas, Yan. Serahkan dia pada pihak berwenang. Kita sudah berhasil." Nada Aurora terdengar lega, dan ada sedikit rasa puas di sana.
Yansya mengangguk, menyalakan mesin mobil. "Kita akan ke markas," balas Yansya, lalu ia menekan pedal gas. Mobil melesat membelah kegelapan malam, membawa Fabian menuju keadilannya.
Di sepanjang perjalanan, Fabian terdiam di kursi belakang, sesekali melirik Yansya dengan tatapan penuh kebencian. Namun, Fabian tidak berani melakukan apa pun. Ia tahu ia sudah kalah.
Yansya mengemudi dengan tenang, amarahnya sudah mereda, digantikan oleh rasa lega dan kepuasan. Ia berhasil menangkap Fabian, dan Reno akan mendapatkan keadilan. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri.
Ketika Yansya tiba di markas, ia langsung disambut oleh beberapa agen yang sudah bersiap. Fabian segera diserahkan, dibawa untuk diinterogasi. Yansya menatap kepergian Fabian, sebuah babak baru telah dimulai. Para agen membawa Fabian ke ruang interogasi khusus, sebuah ruangan kedap suara dengan pencahayaan yang terang benderang. Yansya mengamati mereka dari jauh, memastikan tidak ada celah bagi Fabian untuk melarikan diri lagi. Kepala Direktur Bram pasti akan segera tahu tentang penangkapan ini, dan Yansya sudah membayangkan keributan yang akan terjadi.
Yansya berjalan menuju ruang briefing, tempat ia sering bertemu dengan timnya. Ia perlu melaporkan semuanya secara rinci kepada Aurora, dan ia juga perlu menghubungi Lisa, meskipun ia tahu Lisa akan sangat marah karena ia mengambil risiko sendirian. Namun, rasa lega karena misi berhasil lebih besar daripada rasa takutnya akan kemarahan Lisa.
Ia menyalakan layar komunikasi khusus, dan wajah Aurora langsung muncul. "Kau berhasil, Yan," ucap Aurora, senyum tipis terukir di bibirnya. "Aku tahu kau tidak akan mengecewakanku." Nada suara Aurora penuh kekaguman.
"Kita berhasil, Aurora," balas Yansya, ia mengangguk. "Terima kasih atas bantuanmu. Tanpamu, aku tidak akan bisa melakukan ini." Yansya tulus mengakui peran penting Aurora.
Aurora hanya tersenyum. "Sekarang, aku harus bersembunyi lagi. Maria tidak akan tinggal diam setelah ini." Aurora menghela napas. "Tetapi, setidaknya Fabian sudah tertangkap. Itu sudah cukup bagiku."
"Tunggu, Aurora," Yansya mencoba menghentikannya. "Siapa sebenarnya Maria? Dan kenapa dia sangat ingin Fabian membalas dendam?" Ada banyak pertanyaan yang masih belum terjawab.
Aurora terdiam sejenak. "Nanti, Yan. Ada waktunya kau akan tahu segalanya," ucap Aurora, nadanya menjadi serius. "Tapi sekarang, fokuslah pada dirimu dan timmu. Maria adalah lawan yang jauh lebih berbahaya dari yang kau bayangkan."
Aurora kemudian memutuskan sambungan, meninggalkan Yansya sendirian di ruang briefing. Yansya menatap layar kosong itu, pikirannya kembali dipenuhi pertanyaan tentang Maria dan dendam Aurora.
Yansya kemudian mengeluarkan ponselnya, mengaktifkannya, dan panggilan dari Lisa langsung masuk. Ia menghela napas, bersiap menghadapi rentetan pertanyaan dan amarah dari kekasihnya.
"Yansya! Kamu di mana?! Kenapa ponselmu mati?! Aku khawatir sekali!" Suara Lisa terdengar panik dan marah, seperti yang sudah Yansya duga.
"Aku baik-baik saja, Sayang," balas Yansya, ia mencoba menenangkan Lisa. "Aku baru saja selesai dengan Fabian." Yansya memberitahukan penangkapan Fabian dengan singkat.
Ada keheningan sejenak di ujung telepon, lalu Lisa berteriak, "Apa?! Kamu menangkap Fabian sendirian?! Tanpa memberitahuku?! Yansya!" Lisa terdengar semakin marah, dan Yansya tahu ia akan berada dalam masalah besar.
"Aku akan jelaskan nanti, Sayang," ucap Yansya, ia tersenyum tipis. "Sekarang, aku harus membuat laporan dan menemui Kepala Direktur Bram." Yansya tahu ia tidak bisa menghindari Lisa, tetapi ia bisa menundanya sebentar.
"Jangan pikir kamu bisa menghindariku, Yansya," ancam Lisa. "Aku akan menunggumu di apartemen. Kita perlu bicara serius." Lisa menutup telepon, meninggalkan Yansya dengan perasaan campur aduk.
Yansya menggelengkan kepala, tersenyum kecil. Ia tahu Lisa mencemaskannya, dan kemarahannya adalah bentuk kepedulian. Yansya kemudian berjalan menuju ruangan Kepala Direktur Bram.
Ketika Yansya mengetuk pintu dan masuk, Kepala Direktur Bram sudah berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan tajam. "Fabian tertangkap, Yansya," ucap Kepala Direktur Bram, nadanya serius. "Aku sudah mendengar laporannya."
"Ya, Pak," balas Yansya. "Saya berhasil menangkapnya." Yansya menjelaskan secara singkat tentang insiden di gudang dan bagaimana ia berhasil menangkap Fabian.
Kepala Direktur Bram mengangguk. "Kerja bagus, Yansya," ucap Kepala Direktur Bram. "Tetapi, ada satu hal yang menggangguku. Siapa Aurora?" Kepala Direktur Bram menatap Yansya dengan penuh selidik, seolah ia sudah tahu tentang Aurora.
Yansya terdiam. Ia tidak tahu apakah ia harus menceritakan semuanya kepada Kepala Direktur Bram. Informasi tentang Aurora bisa sangat sensitif, dan Yansya tidak ingin membahayakan Aurora.
"Dia... seorang informan, Pak," balas Yansya, mencoba menjaga kerahasiaan Aurora. "Dia juga punya dendam pribadi pada Fabian, dan dia membantu saya melacak Fabian." Yansya mencoba memberikan jawaban yang umum.
Kepala Direktur Bram menatap Yansya lama, seolah mencoba membaca pikirannya. "Baiklah, Yansya," ucap Kepala Direktur Bram akhirnya, ia mengangguk. "Aku akan memercayaimu untuk saat ini. Tapi ingat, setiap informasi yang kamu sembunyikan bisa membahayakan semua orang."
Yansya mengangguk. "Saya mengerti, Pak," balas Yansya. "Saya akan memastikan semua informasi penting akan saya sampaikan." Yansya tahu ia harus berhati-hati dalam melindungi Aurora, tetapi juga tidak boleh membahayakan timnya.
good 👍👍👍👍❤❤❤❤
menegangkan ❤❤❤❤❤
good thor👍👍👍👍👍
good job👍👍👍👍