NovelToon NovelToon
Petaka Jelangkung

Petaka Jelangkung

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / TKP / Hantu / Tumbal
Popularitas:691
Nilai: 5
Nama Author: lirien

Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.

Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.

Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tersesat

Sepanjang perjalanan, hawa terasa semakin dingin. Di kanan-kiri jalan, deretan pohon pinus menjulang, menyingkirkan panas terik siang itu dengan bisik angin yang lembut. Kabut perlahan menebal di area perkebunan, menambah dingin yang meresap hingga ke tulang.

Akhirnya, Mas Agus tiba di jalan yang sedikit lebih lebar. Di sisi kiri, tampak sebuah rumah panggung yang sederhana. Di halaman, seorang nenek sedang tekun menampi beras.

"Permisi, Bu. Numpang tanya. Akses menuju Gunung Merbabu, benar ke sebelah sini?" tanya Mas Agus sopan, sambil menunjuk jalan di depannya.

Nenek itu mengerutkan kening, tanpa sepatah kata pun, hanya menunjuk ke arah kanan Mas Agus. Anehnya, sisi kanan jalan tampak kosong, tanpa jalan yang bisa dilalui.

"Maksudnya belok ke kanan ya, Bu?" tanya Mas Agus lagi, tapi nenek itu tetap bergeming, jari telunjuknya menuding ke kanan.

"Terima kasih, Bu. Permisi." Mas Agus, masih bingung, menekan gas motor dan melanjutkan perjalanan. Ia berniat bertanya pada orang lain di depan.

Tak lama kemudian, ia melihat rumah panggung lain yang berdiri sendiri. Ia hendak berhenti untuk menanyakan arah lagi, tapi sesuatu membuatnya ragu. Rumah itu—dan nenek yang menampi beras—tampak persis sama seperti yang tadi ia temui.

"Apa-apaan ini?" desis Mas Agus dalam hati, sambil menekan gas lebih cepat. Ia tak menoleh ke belakang meski rasa penasaran menyesakkan dadanya.

Jantungnya berdetak cepat, rasa bingung bercampur takut. Ia hanya bisa terus melaju, berharap bisa segera meninggalkan jalan yang aneh itu.

Ketika ketiga kalinya ia melewati rumah panggung itu—lagi-lagi dengan nenek yang sama menampi beras—rasa gugup hampir membuat motornya oleng. Beruntung, ia berhasil menenangkan diri dan menyeimbangkan motor.

"Astaghfirullah aladziim…" gumam Mas Agus, mengusap wajahnya. Beberapa langkah dari rumah misterius itu, ia menurunkan kecepatan. Sejenak, ia memejamkan mata dan berdoa agar perjalanan ini dimudahkan.

Tiba-tiba, sebuah tepukan lembut menghentikan langkahnya.

"Mas, mau ke mana? Kayaknya lagi bingung?"

Pak Agus terperangah, mendapati seorang kakek tua menyapanya. "Sa-saya mau ke Gunung Merbabu, Kek."

"Oh, itu ada belokan ke kanan. Ya kelewat dikit, Mas."

Pak Agus jelas bingung, sebab tadi tidak melihat jalan ke arah kanan. Ia menengok ke sebuah rumah yang tampak rusak di sisi kiri, rumah yang sebelumnya ditempati oleh nenek-nenek.

"Maaf, Kek. Itu rumah siapa?" tanya Pak Agus gelagapan.

"Oh, itu mah rumah kosong. Udah puluhan taun dibiarkan begitu. Makanya udah rusak."

Pak Agus belum bisa mencerna apa yang barusan menimpanya. Dalam pikirannya, yang terlintas hanyalah satu: harus segera keluar dari kawasan aneh itu. Ia pun pamit pada kakek tua yang menunjukkan jalan, lalu menoleh ke motornya untuk berbalik dan mengambil belokan yang tadi terlewat.

"Pantas saja si Nenek tadi nunjuk ke kanan, rupanya memang ada jalan. Tapi kenapa tadi gak keliatan? Apa memang ada makhluk iseng yang bikin orang kesasar?"

Merinding menyadari dirinya baru saja nyaris bersinggungan dengan dunia gaib, Pak Agus menarik napas panjang. Beruntung, ia masih selamat. Namun perjalanan menuju Gunung Merbabu masih cukup panjang. Waktu terus berjalan, dan ia harus cepat sebelum sore menjelang.

......................

Pak Agus berusaha menepis bayangan kejadian mistis beberapa saat lalu. Bertemu nenek misterius di sebuah rumah yang ternyata kosong benar-benar menyita pikirannya. Untunglah, ia selamat dan tidak terus berputar di tempat yang sama. Apalagi, perjalanan ke Gunung Merbabu masih panjang.

Terik matahari mulai menyengat ketika motornya memasuki area terbuka. Pepohonan jarang, dan rerumputan yang mengering menambah kesan gersang di sepanjang jalan.

"Kalau ada yang iseng buang puntung rokok, bahaya," gumam Pak Agus sambil memacu motornya.

Perjalanan kali ini lancar, tanpa gangguan berarti, kecuali rasa haus dan teriknya matahari. Jalanan berdebu karena kemarau ekstrem. Pak Agus memutuskan singgah di sebuah warung kecil untuk beristirahat. Ia membeli minuman botol dan camilan khas warung, lalu duduk sejenak mengatur napas sebelum melanjutkan perjalanan.

Sang pemilik warung pun berbasa-basi, menanyakan hendak ke mana Pak Agus pergi. Sosok yang ditanya pun menjawab tujuannya.

"Wah, padahal bentar lagi sore. Lumayan tuh perjalanannya, Mas."

"Iya. Makanya ini gak bisa santai lama-lama. Makasih ya, Pak. Permisi."

"Iya. Sumangga, Mas..."

Pak Agus kembali menaiki motornya. Ia memacu kendaraan, memburu waktu agar sampai di kediaman Ki Wangsit sebelum malam. Gara-gara berputar-putar di dekat rumah kosong yang aneh tadi, waktunya tersita lebih banyak dari yang dibayangkan. Padahal tidak sampai sepuluh menit, tetapi nyatanya hampir tiga jam telah terlewati.

"Pusing kalau lama-lama berurusan sama hal mistis begitu," gumam Pak Agus sambil merinding. Ia kembali menata fokus pada jalan dan peta di Googlle Maps.

Selang beberapa jam kemudian, Gunung Merbabu mulai tampak dari posisi Pak Agus. Awan di langit mulai menguning, semburat cahaya keemasan menembus dari arah barat. Ia melintasi desa di kaki gunung. Sosoknya yang asing menarik perhatian Mbok Ijah, yang mengintip dari pintu rumah.

Pak Agus lekas menemui ketua RW setempat, lalu izin naik untuk bertamu ke rumah sang kuncen. Karena mustahil membawa motor ke hutan, ia pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki—setengah berlari. Rasanya seperti berkejaran dengan waktu. Senja seolah mengejarnya dari belakang.

Dengan langkah yang kencang, Pak Agus menembus hutan. Suasana sore itu terasa aneh, berbeda dari kemah yang pernah ia lakukan beberapa waktu lalu. Ia menyadari, mungkin keanehan ini adalah buntut dari kelakuan anak didiknya.

Di ambang magrib, Pak Agus tiba di pekarangan rumah Ki Wangsit. Sang kuncen bahkan sedang berada di pintu, hendak masuk saat Pak Agus menyapanya.

"Kula Nuwun, Bah..."

Ki Wangsit menoleh dan menjawab, terkejut. "Loh? Pak Agus?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!