Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin Dekat Semakin Dalam
Langit sore di Bayongbong menggantung warna jingga yang lembut. Suara burung-burung kecil bersahutan dari balik pohon, mengiringi langkah pelan dua insan yang berjalan berdampingan menyusuri pematang sawah.
Nada melangkah di samping Abyan. Keduanya diam, namun bukan karena canggung. Justru sebaliknya, dalam diam itu mereka saling memahami, seolah kata-kata hanya akan merusak keindahan momen yang mereka rasakan.
“Aku suka tempat ini,” ujar Abyan akhirnya, memecah keheningan.
Nada menoleh.
"Kenapa?”
“Karena di sini... segalanya terasa jujur,” jawab Reyhan lirih.
“Langit jujur menunjukkan warna aslinya. Orang-orang jujur dalam hidupnya. Dan kamu... jujur dengan perasaanmu.”
Nada tersenyum, pipinya sedikit memerah.
“Aku belum pernah merasa sedamai ini.”
Abyan menatap ke kejauhan.
“Aku juga.”
Hubungan mereka memang belum diberi label. Tidak ada janji, tidak ada status. Hanya ada rasa yang tumbuh dari kejujuran, kesederhanaan, dan kebersamaan yang tulus. Setiap pertemuan menjadi ruang belajar. Tentang cinta, tentang hidup, dan tentang bagaimana menjadi manusia yang lebih utuh.
Di sekolah, Abyan semakin dekat dengan siswa-siswi. Ia mengajar komputer dasar dan membuat klub literasi kecil di perpustakaan yang baru direnovasi. Nada selalu hadir membantu, menyusun buku, membuat jadwal, atau sekadar duduk mendengarkan.
Suatu sore, mereka duduk di depan rak buku, menyortir buku-buku sumbangan dari kota.
“Pernah kepikiran mau kuliah?” tanya Abyan, sambil menyodorkan buku ke Nada. Nada mengangguk.
"Dulu sempat. Tapi Bapak bilang... biaya sekolah adik-adikku lebih penting. Jadi aku ikhlas. Lagipula, aku masih bisa belajar dari buku.”
Abyan terdiam sesaat. Ditatapnya gadis yang tengah anteng membaca buku itu.
“Kamu perempuan paling tangguh yang pernah aku temui.” Nada tersenyum kecil.
“Aku bukan tangguh, Abang. Aku cuma belajar menerima takdir tanpa berhenti berharap.”
Kalimat itu menghantam Abyan dalam-dalam. Ia belajar bahwa tidak semua orang bisa menikmati kemewahan pilihan. Dan perempuan di hadapannya ini—yang dia sadari daei hatinya yang paling dalam bahwa gadis ini adalah yang ia cintai—adalah seseorang yang memilih untuk kuat, bukan karena tidak punya pilihan, tapi karena tahu apa yang paling layak diperjuangkan.
Hari-hari berlalu seperti aliran sungai di musim hujan penuh, deras, tapi tetap menyegarkan.
Nada dan Abyan semakin sering menghabiskan waktu bersama, tidak selalu dengan bicara. Kadang cukup membaca di bawah pohon jati, berbagi makanan dari rumah, atau menatap bintang di halaman masjid desa.
Di bawah langit malam, Abyan pernah bertanya,
“Kalau suatu hari aku pergi... kamu akan tetap ingat aku, kan?”
Nada menatap langit. Mereka baru usai kegiatan kajian malam itu, sebelum Nada pergi Abyan mengajaknya bicara di teras masjid sambil menunggu teman-teman Abyan yang bertugas membantu merapikan masjid.
“Aku tidak akan lupa orang yang membuatku pertama kali percaya bahwa cinta bisa hadir tanpa janji.”
Abyan mengangguk, lalu membisikkan, “Kalau kamu rindu, lihat bintang paling terang. Aku akan menitipkan rinduku di sana.”
Pipi Nada seketika memerah, Abyan berbisik terlalu dekat di telinganya, hingga hembusan nafasnya terasa hangat di pipi Nada.
Tiga bulan berlalu. Separuh masa KKN sudah berjalan. Kedekatan mereka menjadi rahasia yang disimpan rapi oleh waktu. Rosa, sahabat Nada, sesekali menggoda tapi tahu batas. Ia melihat sahabatnya bahagia, dan itu cukup.
Namun kebahagiaan, seperti musim, selalu punya waktu berganti.
Pada suatu sore yang mendung, Abyan memanggil Nada ke balai desa. Mereka duduk di bangku panjang, menghadap sawah yang mulai menguning.
“Aku akan wisuda dua bulan lagi,” ucap Abyan tiba-tiba. KKN mereka tinggal menghitung hari, secepatnya Abyan dan rombongan akan kembali ke Jakarta.
Nada menoleh cepat, namun berusaha tetap tenang.
“Oh... selamat ya, Bang.” Reyhan memaksakan senyum melihat respon Nada.
"Setelah ini, aku mungkin harus kembali ke Jakarta. Atau... mungkin lebih jauh dari itu.” Nada diam. Mendengarkan kalimat lanjutan Abyan yang terdengar masih menggantung.
"Kakekku ku ingin aku lanjut S2 di luar negeri. Ada target yang sedang aku kejar,” lanjut Abyan.
Keheningan menggantung. Angin bertiup pelan, menyapu ujung kerudung Nada.
“Kenapa baru bilang sekarang?” tanyanya pelan. Ada sesuatu yang tiba-tiba menyusup ke dalam hatinya dan membuatnya hampa.
"Aku takut... kehilangan rasa ini. Aku egois, Nad. Aku ingin menikmati rasa ini tanpa dihantui jarak. Tapi semakin hari, aku sadar... kita harus bersiap.”
Nada menunduk, mencoba menenangkan hatinya yang mulai gemetar.
“Kalau Bang By pergi, aku akan mendoakan. Karena cinta sejati, harusnya bukan mengekang, tapi menguatkan.”
Abyan menatap gadis itu dalam-dalam.
“Kamu terlalu bijak untuk usiamu.”
Nada menatap balik.
“Atau mungkin karena aku mencintaimu dalam diam yang paling jujur.” lirih Nada, membuat Abyan seketika membeku.
Sisa waktu terasa semakin sempit. Mereka berusaha memanfaatkan setiap detik. Kadang dengan tawa, kadang dengan tangis kecil yang ditahan. Tapi mereka tahu, perpisahan bukan akhir dari cinta. Justru, di sanalah cinta diuji.
Satu minggu menjelang kepulangan tim KKN, mereka mengadakan perpisahan di aula kecamatan. Acara berlangsung meriah. Tarian, drama, dan sambutan. Nada duduk di bangku paling depan, matanya sesekali mencari Abyan yang sedang sibuk di belakang panggung.
Saat acara usai, Abyan menghampiri Nada, menyerahkan sebuah buku bersampul cokelat tua.
“Ini buku catatan KKN. Tapi aku selipkan sesuatu di halaman terakhir,” katanya.
Nada menerimanya dengan dua tangan.
“Terima kasih.”
“Dan ini...” Abyan merogoh saku, menyerahkan selembar foto kecil. Foto mereka berdua, di depan pohon jati.
“Simpan ya.”
Nada mengangguk, berusaha menahan air mata.
“Maaf, aku nggak bisa janji banyak,” ucap Abyan, suaranya sedikit bergetar.
“Tapi kalau semesta mengizinkan... aku akan kembali.”
Nada tersenyum, kali ini dengan air mata yang jatuh perlahan.
“Dan kalaupun tidak... semoga kita tetap saling menemukan, di dalam doa.”
Malam itu, setelah Abyan dan timnya pergi, Nada menangis diam-diam di kamarnya. Bukan karena kehilangan, tapi karena cinta pertamanya telah mengajarkannya banyak hal.
Bahwa cinta tidak harus dimiliki untuk menjadi berarti.
Bahwa cinta yang paling indah adalah yang hadir dengan keikhlasan.
Dan bahwa perempuan sepertinya, meski tak punya gelar atau kekayaan, tetap pantas dicintai dengan utuh.
Ia membuka buku catatan Abyan. Di halaman terakhir, Abyan menulis:
“Untuk Nada,
Aku tak bisa janji akan kembali secepat yang kamu mau.
Tapi aku janji, kenangan kita akan jadi bagian dari perjalanan hidupku.
Kalau suatu hari takdir mempertemukan kita lagi,
semoga kamu tetap menjadi perempuan kuat seperti hari ini.
Dan jika aku kembali dalam wujud yang berbeda, jangan pernah ragu untuk bilang: ‘Aku mengenalmu lewat cahaya mata itu."
– Abyan Elfathan.
Nada menutup buku itu sambil memeluknya erat. Dalam hati, ia berbisik,
"Terima kasih, cinta pertamaku. Karena kamu, aku tahu cinta tak pernah butuh kasta untuk tumbuh."
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira
lanjut kak