Ini tentang TIGA TRILIUN...
yang dipermainkan oleh DIMITRY SACHA MYKAELENKO, hanya demi satu tujuan:
menjebak gadis yang sejak kecil selalu menghantui pikirannya.
Dialah Brea Celestine Simamora—putri Letkol Gerung Simamora, seorang TNI koplak tapi legendaris.
Pak Tua itulah yang pernah menyelamatkan Dimitry kecil, saat ia bersembunyi di Aceh, di tengah api konflik berdarah.
Kenapa Dimitry sembunyi? Karena dialah
pewaris Mykaelenko—BRATVA kelas dunia
Kepala kecilnya pernah di bandrol selangit, sebab nama Mykaelenko bukan sekadar harta.
Mereka menguasai peredaran berlian: mata uang para raja, juga obsesi para penjahat.
Sialnya, pewaris absurd itu jatuh cinta secara brutal. Entah karena pembangkangan Brea semakin liar, atau karena ulah ayah si gadis—yang berhasil 'MENGKOPLAKI' hidup Dimitry.
Dan demi cinta itu… Dimitry rela menyamar jadi BENCONG, menjerat Brea dalam permainan maut.
WARNING! ⚠️
"Isi cerita murni fiksi. Tangung sendiri Resiko KRAM karena tertawa"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Agen KGB?
***
“Ya ampun… maaf banget, Mbak. Aku telat parah. Gara-gara tadi harus nolong bencong salah frekuensi di kamar 1706.”
Aku buru-buru nyelonong masuk ke unit 1709, setelah di bukain pintu sama mbak Keke.
Dan sekali lihat ruangan itu, aku langsung nge-freeze.
Interior unit ini… jauh banget levelnya dibanding unit 1706 yang tadi. Sofa empuk beludru biru, dinding berlapis wallpaper gold-beige, lampu gantung kristal kecil, sampai karpet bulu yang rasanya sayang banget diinjak kakiku yang pakek sepatu murah.
Pokoknya vibe-nya unit ini: kelas eksekutif.
Sementara unit Dimitry tadi? Kosong. Mirip tempat transit buat alien.
“Brea… nggak usah minta maaf,” jawab Mbak Keke sambil tersenyum tipis, meski matanya tampak letih. “Aku juga salah. Terpaksa banget, pindah unit tiba-tiba. Makanya baru sempat kabarin kamu subuh tadi. Itu pun kamu nggak balas pesanku, apalagi angkat telepon ku.”
Aku refleks mengerutkan kening.
“Hah? Pesan? Telepon?”
Setahuku, WA-ku pagi ini cuma ada notifikasi diskon lipcream sama satu pesan dari Gojek yang salah kirim.
Aku buru-buru cek HP di saku. Dan benar: nggak ada pesan apa-apa dari mbak Keke pakek WA, yang ada cuma Via Line. itu pun masuknya mungkin pas aku sudah nyampe sini. Padahal Mbak Keke bilang sudah ngirim dari subuh.
Mampus. Jadi siapa yang ngawur di sini? WA-ku, HP-ku, atau… sinyal apartemen ini yang nggak beres?
Tapi jelas aku nggak mungkin bilang begitu ke Mbak Keke. Bisa-bisa dia pikir aku ngeles biar nggak ketahuan tidur kayak kebo.
“Eh, iya, maaf Mbak. Mungkin WA-ku lagi error,” ucapku cepat, menutup wajah pakai tangan.
“Maklum, HP murah kalau dipaksa update suka nyebelin.”
Mbak Keke hanya menghela napas pelan. “Nggak apa-apa, Brea. Yang penting kamu udah datang.”
Aku duduk di sofa empuk itu, nyaris kelelep sama busanya yang manja. Tapi satu pertanyaan langsung meluncur:
“Kenapa Mbak pindah tiba-tiba? Tadi Mbak bilang… terpaksa?”
Mbak Keke terdiam. Lama. Baru akhirnya buka suara, nada suaranya datar, tapi jelas.
“Jadi begini, Brea… semalam ada orang yang tiba-tiba datang dan minta unitku. Katanya dia pengen banget pindah ke 1706. Dan dia sanggup bayar ganti rugi dengan harga fantastis. Bahkan, dia menawarkanku unit ini, 1709, yang jauh lebih luas, lebih bagus, dan lebih eksklusif.”
Aku langsung bengong. Fantastis katanya… Ini barter apartemen atau lagi barter ginjal, sih?
“Hah? Jadi Mbak… langsung pindah?” tanyaku akhirnya.
Mbak Keke mengangguk kalem. “Iya. Jujur aja aku memang sudah lama ngincar unit 1709. Tawaran itu terlalu bagus buat dilewatkan. Apalagi syaratnya sepele: aku cuma harus pindah malam itu juga.”
Sepele katanya. Kalau aku jadi dia, sepele itu artinya ketinggalan charger, bukan pindah rumah tengah malam karena disuruh orang asing.
Aku langsung melotot. “Se-pele? Mbak… itu bukan sepele! Itu mencurigakan, banget!”
Mbak Keke tersenyum tipis, jelas-jelas berusaha meremehkan kekhawatiranku. Tapi di kepalaku udah kayak alarm darurat di mall—weewoo weewoo, semua lampu merah nyala.
“Apa Mbak nggak mikir ini… kayak, you know, ‘too good to be true’?” aku ngoceh sambil nahan dorongan buat tepuk jidat sendiri.
“Apalagi penghuni baru 1706 itu kan—” aku berhenti, sengaja berbisik dramatis, “—bencong berdaster ungu.”
Mbak Keke mendengus. “Brea, jangan gitu, ah.”
“Tapi serius, Mbak!” aku hampir lompat dari sofa.
“Unitnya terlalu kosong. Nggak ada sepatu, nggak ada dekorasi, cuma ada kasur, lemari, sama satu lukisan Rusia yang super aneh itu. Mbak nggak curiga? Kalau orang itu cuma pakai apartemen buat… semacam tempat persembunyian? Atau malah, lagi mau melaksanakan rencana jahat?”
Suara aku makin naik sendiri, bulu kuduk juga ikut joget. Sumpah, logika ini nggak bisa ditolak: siapa sih orang waras yang rela bayar ganti rugi segila itu, cuma buat downgrade ke unit cupu kayak 1706?
Mbak Keke diam, tangannya meremas bantal sofa, wajahnya keliatan kayak laptop kelelahan di pakek ngetik.
Dan aku tahu banget… biasanya kalau aku sudah mulai overthinking begini: 90% ending-nya terbukti bener.
Mbak Keke akhirnya angkat bahu.
“Ya mungkin kosong karena dia baru pindah aja, Bre.”
Ha! Jawaban template detected.
Aku langsung nyamber, “Baru pindah apa baru lahir, Mbak? Serius deh, siapa sih orang bodoh yang rela downgrade apartemen, bayar ganti rugi segunung, cuma demi pindah ke ruangan lebih sempit di baning uniteini? Itu udah nggak make sense. Bau amisnya kerasa banget sampe jauh, loh.”
Mbak Keke sempet nyengir kecut, tapi aku bisa liat dari matanya: klik! Otaknya juga lagi mikir yang sama.
Dia narik napas panjang. “Kamu tau nggak… ada satu hal lagi yang bikin aku kepikiran omongan kamu ini”
Aku otomatis majuin badan, setengah kayak reporter infotainment siap gosipin seleb.
“Apa?”
“Waktu mau tandatangan kontrak tukar unit,” dia menurunkan suara, “orang itu dateng nggak sendirian. Dia bawa bodyguard. Badannya gede-gede banget... kayak… tembok hidup.”
Aku langsung kebayang Hulk pakai jas. Serem tapi konyol.
Mbak Keke lanjut, “Dan dia ngomong sesuatu sama bodyguardnya… pakai bahasa yang, hmm… mirip Rusia gitu. Aku nggak ngerti sih, tapi jelas bukan bahasa yang biasa kita denger.”
Breng. Fix?!
Aku udah bisa nebak ending-nya.
“Udah jelas, Mbak,” aku nekenin kata-kataku sambil ngacungin telunjuk dramatis kayak dosen killer.
“Itu bukan sekedar bencong berdaster ungu. Dimitry itu… suspicious level internasional. Kalau nggak mafia, ya paling nggak, agen KGB nyasar.”
Mbak Keke membelalak. Mukanya berubah seketika, kayak baru baca tagihan listrik yang salah cetak satu nol.
“Ya Tuhan, Brea… jangan-jangan aku beneran lagi kena masalah besar... ya?” dia langsung berdiri, panik banget. “Aduh... Aku nggak bisa di sini lagi nih. Ayo kita keluar aja. Kita ngobrol di tempat lain. Aku… aku nggak mau di unit ini dulu. Serem ah!”
Dan aku beneran shock.
Secepat itu! Cewek yang biasanya santai kayak liburan ke Bali, sekarang udah kayak ayam dikejar pisau.
Aku cuma bisa ngikutin langkahnya yang terburu-buru.
Dalam hati aku bergumam: nah, lo… tadi aku dibilang overthinking, sekarang malah Mbak Keke yang udah siap bikin sinetron thriller sendiri.
***
Sepulang dari ngobrolin kerjaan sama Mbak Keke, aku kira semua urusan hari ini kelar. Ternyata belum.
Begitu buka pintu rumah, ruang tamu sudah gelap. Tanda-tanda Mamak sama Ayahku sudah tidur.
Tapi ternyata Enggak!
Karena pas aku menyalakan lampu mushola, eh...
Jebret!!!
Siluet ayahku langsung nongol.
"Ayah ngapain sih di situ?"
Suaraku melengking lantaran kaget.
Dia,
Letkol Gerung Simamora, lagi berdiri tegak di pojokan musholla.
Muka datarnya, sama bahu lebarnya…bikin fiturnya jadi mirip genderuwo.
Untung aja ini mushola kecil di rumah kami sendiri, kalau kuburan mungkin aku sudah meniggoy saking takutnya.
“Kenapa kamu nggak nurut sama Saloka, hem?” Katanya pelan, tapi suaranya Men,,, dalem banget.
“Dan baru pulang jam segini?”
Aku langsung kaku. Kalau suara Ayah udah turun setengah oktaf gitu, tandanya... Pak Thanos lagi murka.
“Yah… jangan marah dulu dong." jawabku, pakek nada suara yang sengaja ku bikin selembut mungkin.
"Tadi aku ketemunya sama Mbak Keke agak telat, ayah taukan kita ngobrol soal kerjaan. Soalnya sebelum ketemu dia, aku harus nolongin orang dulu.”
Aku pikir jawaban itu bisa bikin adem. Rupanya salah besar, Men...
Dia makin ngamuk!
***