Setelah sepuluh tahun berumah tangga, akhirnya Sri Lestari, atau biasa di panggil Tari, bisa pisah juga dari rumah orang tuanya.
Sekarang, dia memilih membangun rumah sendiri, yang tak jauh dari rumah kedua orang tuanya
Namun, siapa sangka, keputusan Tari pisah rumah, malah membuat masalah lain. Dia menjadi bahan olok-olokan dari tetangganya.
Tetangga yang dulunya dikenal baik, ternyata malah menjadikannya samsak untuk bahan gosip.
Yuk, ikuti kisah Khalisa serta tetangganya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengorbanan Andin
Rohani tak menyangka, jika Andin begitu berani terhadapnya.
Sebelumnya dia sudah memperingati Amar untuk mendidik istrinya. Akan tetapi, jawaban yang di berikan anaknya, semakin membuatnya terpojok.
"Emak, kalian berdua sama-sama berjasa di hidupku ... Aku tak bisa memilih di antara kalian. Emak memang benar, emak yang melahirkan sekaligus membesarkan aku. Tapi, Andin istriku, dia tempat aku melepas beban. Dia menerima setiap kekurangan ku. Kalian berdua, punya tempat yang berbeda, tapi satu hal yang pasti. Kalian berdua sama-sama hal terpenting di hidupku, maka dari itu, aku meminta pada mu, sebagai orang tua, tolong, hargai pilihanku," papar Amar, kala Rohani memintanya untuk mendidik Andin.
"Dan satu lagi, mungkin saja Andin udah terlalu lelah. Dia lelah dengan
Ucapan Amar terngiang-ngiang sepanjang hari di telinga Rohani.
Baginya sekarang Amar sudah tak lagi berpihak padanya. Amar lebih meyayangi Andin, di bandingkan dirinya. Maka dari itu, Amar lebih memilih untuk memperingatkannya, di bandingkan mendidik istrinya.
Tanpa Rohani tahu, padahal di kamar. Amar juga melakukan hal yang sama terhadap isterinya.
"Kamu kenapa? Lelah?"Amar menggenggam tangan istrinya, yang sedang menemani Nisa bermain. "Cerita ya, dan maafkan emak, yang sikapnya di luar batas," lanjut Amar.
"Aku lelah bang, lelah ... Selama ini, aku memang bersikap acuh tak acuh padanya, karena aku menganggap emak sebagai orang tuaku. Tapi, makin kesini, sikap mak semakin membuat batin ku tersiksa. Disana, di luar sana, entah berapa banyak keburukan ku, yang di katakannya, bahkan kupingku sendiri terasa panas bang, coba abang duduk dengan ibu-ibu disana, dengarkan apa yang mereka katakan, sehari aja," tutur Andin, tanpa menatap ke arah Amar.
Tak butuh waktu lama, Amar menarik tubuh Andin ke pelukannya.
Dan pecah lah, tangisan Andin. Andin menangis dengan sesenggukan di pelukan Amar.
Dan ini, selama mereka menikah. Mungkin bisa di katakan ini tangisan pertama Andin. Andin menangis bak anak kecil, yang mainannya di rebut secara paksa.
"Maaf, maafkan abang," Amar mengelus-elus punggung Andin yang masih saja terisak. "Kita pindah?" tanya Amar hati-hati.
"Bagaimana dengan emak? Nanti, emak pasti mengira, jika aku lah, yang menghasutmu," Andin menatap Amar dengan mata yang masih mengeluarkan air matanya. "Lagi pula, aku juga gak tega ninggalinnya disini seorang diri, takut emak kenapa-napa," lanjut Andin menundukkan kepalanya.
Amar kembali menarik Andin ke pelukannya, seraya mencium kepala wanita yang sangat memahami hidupnya.
"Terima kasih," lirih Amar, karena Amar tersentuh dengan ucapan Andin. Karena masih peduli, pada emaknya. "Abang bebaskan kamu, untuk mengungkap uneg-uneg mu ya. Jika memang emak terlalu lewat batas, kamu boleh menegurnya," ujar Amar.
Andin mengangguk di pelukan Amar.
Tersentuh, karena Amar tidak menyalahkan ataupun mengajarinya, serta menekannya.
Sehari ini, Rohani lebih banyak diam. Bahkan, dia tidak keluar, walaupun hanya untuk ke rumah Sari. Rohani, memilih untuk tinggal di rumah.
Dan lagi-lagi, tingkah Rohani membuat Andin heran.
Biasanya, setiap paket yang datang ke rumah, Rohani selalu mengoceh, ataupun menyindirnya yang menghabiskan uang Amar. Tapi hari ini berbeda. Bahkan, Rohani, tidak menegur Andin sedikit pun.
Padahal, jelas-jelas Andin mengeluarkan uang, untuk membayar paket yang di pesannya.
Sudah satu minggu berlalu, pagi ini tubuh Rohani menggigil hebat. Dia keluar dari kamar, untuk memanggil Amar. Namun, sebelum mencapai kamar Amar, Rohani jatuh pingsan.
Andin yang mendengar suara seperti benda jatuh dari dapur, bergegas ke depan, untuk melihatnya.
Betapa terkejut Andin, kala melihat Rohani, tergeletak, dengan penampilan wajah yang begitu pucat.
Tak butuh waktu lama, Andin menjerit memanggil Amar. Lelaki, yang masih terlelap, itu terkejut bukan main.
"Kita bawa ke rumah sakit aja,"
Amar mengangkat tubuh emaknya, ke sofa. Sedangkan Andin menghubungi tetangga untuk meminjamkan mobil. Karena gak mungkin, mereka menggunakan sepeda motor. Mengingat, keadaan Rohani, yang tidak sadarkan diri.
Tiba di rumah sakit, ternyata tekanan darah Rohani sangat rendah. Tak hanya itu, asam urat dan kolestrol siap menemani. Dan tentu saja penyakit lambung, yang enggan pergi.
"Tolong temani emak ya, abang daftar dulu," pinta Amar pada Andin, yang ikut menemani.
Sedangkan Nisa, di titipkan pada Juli. Beruntung, anaknya mau main disana, karena Juli, memang sering menjemput Nisa, untuk bermain dengan anak-anaknya.
Beberapa saat kemudian, Rohani bangun dari pingsannya. Dia menatap Andin yang berada di dekat kakinya, yang sedang memijit pelan, kakinya.
"Matikan ac-nya, mak kedinginan," pinta Rohani.
"Pakai selimut aja ya mak, ini masih di igd. Belum di dorong ke ruangan," lirih Andin.
"Tapi mak kedinginan," Rohani menggigil.
"Tapi, disini bukan hanya emak aja, banyak orang lain yang kepanasan. Pakai selimut, sama kaos kaki ya mak, kebetulan Andin bawa," kembali Andin melakukan tawar-menawar dengan mertuanya.
Akhirnya, mau tak mau Rohani harus mengalah. Apalagi, orang di sampingnya ikut menyeletuk membenarkan Andin.
Rohani di dorong, ke ruangan penyakit dalam. Dan setelah di cek lebih lanjut, dari laboratorium, ternyata Rohani juga mengalami hb rendah. Maka dari itu, dia sampai pingsan, akibat terlalu lemah.
"Pasien harus melakukan donor darah, kebetulan kami hanya punya stok satu kantong, jadi untuk keluarga, tolong sediakan satu pendonor yang golongan darahnya sama dengan pasien ya," kata perawat, pada Amar dan Andin.
"Golongan darahnya apa ya? Kalo boleh tahu," tanya Andin.
"A+," sahut perawat.
"Abang O, nanti coba abang tanyakan sama bi Nurma," lirih Amar.
"Aku A+ bang, darah aku aja," ungkap Andin.
"Jangan, nanti kamu lemas," larang Amar keberatan.
"Kasihan emak, lagi pula umur bi Nurma, tidak memungkinkan untuk melakukan donor darah," kata Andin lagi.
"Baik lah, abang tanyakan sama perawat dulu ya,"
Rohani yang menyimak pembicaraan anak mantunya, tersentuh kala Andin mau berkorban untuknya.
Dia tak menyangka, perempuan yang dianggap saingannya dalam merebut perhatian Amar, tenyata mau berkorban sejauh ini.
Rasa minder dan bersalah menelusup ke relung hatinya.
Rohani minder, meminta maaf ataupun sekedar mengucapkan ungkap rasa terima kasih pada Andin.
"Emak makan dulu ya," Andin yang melihat, mertuanya sudah membuka mata, mendekati sendok ke mulut Rohani.
Dia berniat, menyuapi mertuanya.
Baru saja, Rohani menelan bubur yang di suapi Andin. Tubuhnya bereaksi, hebat, Rohani kembali memuntahkan bubur yang di suapi Andin.
Tak hanya bubur, Rohani juga memuntahkan semua isi perutnya. Sampai-sampai Rohani merasakan rasa pahit di tenggorokannya.
Semoga masalahnya lekas membaik thor