NovelToon NovelToon
Bukan Sekedar Takdir

Bukan Sekedar Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: xzava

Aku tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama, apalagi dari arah yang tidak kusadari.
Tapi ketika seseorang berjuang mendekatiku dengan cara yang tidak biasa, dunia mulai berubah.
Tatapan yang dulu tak kuingat, kini hadir dalam bentuk perjuangan yang nyaris mustahil untuk diabaikan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xzava, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35

"Oh!" Yura berpura-pura terkejut saat melihat kedatangan Rani. "Halo," sapanya ramah, disertai senyum hangat.

"Namanya Rani, sepupu gue," jelas Ardhan singkat.

"Aaah... Mari masuk," ujar Yura sambil memberi isyarat agar Rani mengikuti langkahnya ke dalam rumah. Ia lalu berbisik ke Ardhan, “Kenapa gak bilang kalau sepupu lo mau datang?”

“Maaf, sayang. Gue lupa,” jawab Ardhan dengan nada lembut, lalu dengan santainya melingkarkan lengannya di pinggang Yura. “Hari ini sibuk banget di kantor.”

“Heh, lepas!” celetuk Yura spontan, mendorong tangannya sambil melotot malu-malu. Ardhan hanya tertawa melihat ekspresinya.

Sesaat kemudian, Yura kembali ke Rani dan berkata, “Silakan masuk, Kak. Saya gak tahu kalau hari ini sepupunya Kak Ardhan mau datang. Maaf ya kalau berantakan.”

Begitu mereka melangkah ke ruang tengah, keempat teman Yura, Aldin, Rizki, Febi, dan Hana, tengah berdiri, seolah sudah siap menyambut.

“Ran, ini teman-teman gue,” ucap Ardhan dengan santai, memperkenalkan mereka sebagai teman-temannya juga.

Rani menatap mereka sejenak, lalu tersenyum kikuk. “Oh, hai…” sapanya pelan, mereka berempat hanya tersenyum singkat lalu duduk kembali.

“Duduk aja, Ran. Dimana pun yang lo suka,” ujar Ardhan sambil menunjuk sofa panjang di ruang tengah.

Tanpa banyak bicara, Ardhan langsung berjalan ke dapur. Yura, merasa penasaran, segera mengikutinya.

“Mau ngapain?” tanya Yura pelan saat memasuki dapur.

“Nyiapin buah, buat Rani,” jawab Ardhan sembari membuka kulkas dan mulai mengambil beberapa buah yang ada.

Yura hanya mengangguk pelan sambil memperhatikan gerak-gerik Rani. Dari cara Rani berbicara hingga senyumnya yang tampak... terlalu ramah. Dalam hati, Yura mulai bertanya-tanya, Berapa lama dia akan tinggal di sini?

Ardhan yang memperhatikan Yura dari tadi, mendekat dan bertanya lirih, “Kenapa?”

Yura menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke arah ruang tengah. “Rani bawa koper. Dia mau nginap berapa lama?” tanyanya, nada suaranya jelas tak senang.

“Gue juga gak tahu. Gue pikir dia cuma mau mampir sebentar, bukan nginep,” jawab Ardhan sambil mengangkat alis, agak kaget juga.

Yura menghela napas pendek. “Kalau udah bawa koper segede itu, tandanya gak bakal pulang cepat,” ucapnya ketus.

“Gak bakal gue biarin kelamaan juga,” ujar Ardhan, berusaha menenangkan. Lalu, ia mengambil sepiring buah dari meja dapur dan menyodorkannya ke Yura. “Tolong bawa keluar.”

Yura menggeleng pelan. “Gak mau.”

Ardhan menahan napas, ingin membujuk, tapi terdiam saat menatap wajah Yura. Sorot matanya dingin, tanpa senyum, tanpa basa-basi.

“Kenapa, hmm?” tanya Ardhan lembut.

Yura menatapnya dalam-dalam, lalu berkata pelan namun tegas, “Lo harus waspada.”

Ardhan menatapnya, terdiam beberapa detik sebelum menjawab pelan, “Iya.”

Yura berjalan keluar lebih dulu, Ardhan menyusul setelahnya dengan membawa buah.

Yura kembali duduk di sebelah Febi, yang masih fokus menonton film. Rani kini duduk di ujung sofa, tampak kikuk karena suasana yang mendadak sunyi.

Tak ada yang berbicara. Tak ada celoteh khas Febi. Bahkan Hana dan Rizki pun hanya duduk diam sambil memainkan ponsel masing-masing.

Hanya suara dari televisi yang memecah keheningan di antara mereka. Sekilas, seolah semuanya baik-baik saja, tapi rasa tak nyaman menggantung di udara.

Di tengah keheningan yang menggantung, Aldin tiba-tiba memecah suasana.

“Bang…” panggilnya sambil menoleh ke Ardhan. “Ada kopi, gak?”

“Ada. Di dapur, buat aja sendiri,” jawab Ardhan santai.

Aldin bangkit dari duduknya, lalu menoleh ke teman-temannya. “Kalian mau juga?”

“Gak!” sahut mereka kompak, nyaris bersamaan.

Aldin tersenyum kecil, lalu menoleh ke Rani, mencoba menggoda suasana. “Kakaknya mau? Kopi?”

Rani membalas dengan senyum tipis, sambil menggeleng pelan. “Enggak, makasih.”

“Kalau teh, atau minuman lain mungkin?”

“Air putih aja,” jawab Rani lembut sambil mengelus perutnya yang nyaris tak terlihat menonjol. “Lagi hamil, jadi gak bisa sembarangan minum.”

“Oooh... maaf, saya gak tahu,” ucap Aldin cepat, sedikit gugup, lalu segera masuk ke dapur.

Bagi Rani, itu hanya percakapan biasa. Tapi bagi teman-teman Yura, itu sinyal emas.

“Hamil?” tanya Febi spontan, masih tanpa mengalihkan pandangannya dari layar TV. Suara dari film yang sedang mereka tonton tetap mengalun, tapi fokus mereka mulai terpecah.

“Hehehe... iya,” jawab Rani sedikit canggung.

“Udah berapa bulan? Cewek apa cowok?” sambung Hana penuh rasa ingin tahu.

“Baru masuk minggu ke sembilan,” jawab Rani.

“Minggu ke sembilan tuh berapa bulan?” gumam Rizki, menoleh ke arah Hana.

Hana cepat-cepat mengangkat jarinya, menghitung. “Satu... dua... dua bulan lebih,” katanya mantap, sambil menunjukkan dua jari.

“Wooooh,” gumam Rizki seolah terpukau, padahal tak paham apa yang mengejutkan.

“Suaminya mana, Kak?” tanya Febi tiba-tiba. “Masa istri hamil muda disuruh jalan sendiri ke rumah orang.”

Nada suaranya santai, matanya masih tak lepas dari layar TV.

Yura menoleh cepat ke arah Rani. Wajahnya berubah, ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Tapi ia masih berusaha terlihat santai.

“Kalau ngomong tuh yang sopan, Feb. Nanya ke orang, tapi mata masih ke TV,” tegur Rizki sambil mencolek Febi.

“Oh sorry,” ucap Febi enteng. “Gue gak bisa berpaling, entar satu adegan gak kelihatan, terus ceritanya loncat di otak gue.”

“Ran, entar malem masih bisa nonton,” ucap Yura menimpali, mencoba mengalihkan suasana.

“Gak bisa,” sahut Rani dengan senyum tipis. “Malam kita mau buat laporan.”

“Ya ampun, iya!” pekik Hana mendadak panik. Ia menepuk dahinya sendiri. “Gue lupa total!”

Yura dan Rizki saling pandang. Ekspresi mereka tak jauh berbeda.

Dari dapur, suara Aldin terdengar memanggil. “Yuraaa…”

“Apaan?” Yura segera berdiri dan berjalan ke dapur. “Kenapa?”

“Bantuin dong,” ujar Aldin, menyodorkan segelas air putih. “Buat si itu.”

Yura hanya mengangguk singkat. Tanpa banyak bicara, ia membawa gelas itu ke ruang tengah dan meletakkannya di atas meja, tepat di depan Rani.

“Terima kasih,” ucap Rani lembut.

“Iya,” jawab Yura datar, lalu langsung duduk kembali tanpa menoleh.

Ardhan berpindah duduk, kali ini ia memilih duduk di sofa dekat Rani, sepupunya.

“Mau nginap?” tanya Ardhan santai.

“Iya,” jawab Rani singkat. “Ayah nyuruh gue. Katanya biar bisa adaptasi.”

“Adaptasi?” Ardhan mengerutkan dahi, bingung. “Buat apa?”

“Gue kan nanti bakal tinggal di sini,” ucap Rani dengan nada santai, seolah itu sudah keputusan final.

Yura langsung memutar bola matanya, mencoba menahan komentar. Tapi sorot matanya kini berubah dingin. Ia melirik Ardhan sejenak, ekspresi wajahnya jelas tidak bersahabat.

Teman-teman Yura yang semula menikmati film, kini saling menoleh, suasana jadi lebih tegang.

“Kenapa tinggal di sini? Suaminya gak marah?” tanya Febi pelan, tapi cukup terdengar. Ia bahkan rela memalingkan wajahnya dari film kesayangannya.

“Hmmm, bener juga…” gumam Hana, seolah mendukung.

Rani tidak langsung menjawab. Ia hanya melirik ke arah Ardhan sambil tersenyum kecil. “Boleh kan?” tanyanya dengan suara manja.

“Iyuuuuh...” Aldin otomatis mengernyit dan bergumam lirih, hampir tak terdengar.

“Nginap aja sesuka hati lo,” jawab Ardhan santai.

Ucapan itu langsung membuat semua mata membelalak.

“Bang!?” Rizki memanggil dengan nada tajam, seolah ingin memastikan apa yang baru saja didengarnya.

Tatapan serius dari teman-teman Yura kini mengarah pada Ardhan dan Rani. Ketegangan langsung terasa di udara.

“Eh, gue belum selesai ngomong,” ujar Ardhan cepat, merasa diserbu. “Kalian ini sensitif banget sih…” tambahnya, mencoba meredakan dengan tawa kecil.

Namun tawanya tak diikuti siapa pun.

Ardhan pun segera memutar badannya ke arah Yura. “Sayang, malam ini gue nginap di rumah lo ya,” ucapnya dengan senyum menggoda.

Yura mendengus, lalu menjawab tanpa basa-basi, “Gak. Kamar udah full.”

“Tidur di sofa juga gak papa…” goda Ardhan lagi.

“Gak! Kursi juga udah penuh!” balas Yura ketus.

Ardhan hanya tertawa kecil, sementara Rani tampak kikuk, meski masih berusaha tersenyum.

Suasana ruangan seketika kembali tegang, dan film yang masih berputar di layar kini tak lagi menarik perhatian siapa pun.

1
Blue Zia
ceritanya seru dan ringan. cocok untuk ngilangin lelah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!