Aku mengingat semua kehidupanku, tapi yang pasti aku tidak ingat kehidupan pertamaku, dan firasatku aku buka mahkluk bumi ini, siapa aku?
Lagi lagi aku menjadi seperti ini, terjebak di putaran dunia. kehidupan ku yang ke 1002
Besok ngapain ya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuuuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 : Rumor, Panggilan
Sudah dua minggu kegiatan belajar-mengajar berlangsung di Academy ini, dan aku punya beberapa dendam pribadi. Ini soal harga diri!
..."Sertifikat Lulus Pelajaran Etika"...
...STUARD VINE NALA...
...Lulusan tercepat pelajaran etika – Rekor Baru: 14 Hari semenjak masuk...
Leo hanya mengangkat satu alis dengan senyum tipis. ◉‿◉
“Walau aku rakyat jelata, tapi aku paham etika kok,” ucapku sambil memamerkan sertifikat itu, puas karena berhasil membalas leo beberapa waktu lalu.
Setelah tahu bahwa bulan ini adalah bulan ujian, aku memutuskan menyelesaikan materi etika hanya dalam dua minggu, termasuk ujian praktik. Dan aku berhasil.
100% SEMPURNA.
“Pfftttt, HAHAHAHAHAHAHAHAH!” Revian meledak tertawa melihatku dengan penuh kebanggaan.
“HAHAHAH! A-Aku pikir masalah itu sudah selesai! HAHAHAHAHAH!”
“AHAHAHAHAHH! MANA DIA, SISWA TERCEPAT MENYELESAIKAN PELAJARAN ETIKA, WOI?!” Dia menunjuk tulisan biru di kertas tersebut:
‘Lulusan tercepat pelajaran etika – Rekor Baru: 14 Hari semenjak masuk.’
“Aduhh, perutku sakitt…” Revian berguling-guling di rumput halaman Academy, menahan tawanya.
“Bangun, Vian, malu dilihat orang.” Aku buru-buru menyembunyikan sertifikat itu di belakang punggungku.
“Haduhhh… haduh…” Ia berusaha mengatur napasnya.
“Ck…” Leo hanya menggerutu, menatapku dengan kesal karena aku terlalu puas.
“Venera (Jumat) besok aku kosong tidak ada lagi kelas etik yang membosankan, Main ke mana, yaaa?” Aku menggoda mereka sambil tersenyum penuh kemenangan.
“Ck… Kita segel aja dia besok sampai jam 1 siang,” bisik Revian ke Leo.
“Bagus, bagus,” Leo mengangguk.
“Aku dengarrrr~” balasku sambil nyengir.
“Karena kamu lulus pelajaran Etika hanya dalam dua minggu, sepertinya kamu sekarang lebih populer dari kita,” ucap Leo setelah melihat orang-orang mulai melirikku.
“Entahlah…” jawabku santai.
Tiba-tiba, seseorang menghampiri.
“Permisi, Stuard Vine Nala?”
Aku menoleh. Di hadapanku berdiri seorang pria berambut Putih dengan setangkai mawar putih disematkan di saku jasnya.
“Perkenalkan, nama saya Luceran,” ucapnya ramah. Utusan Dewi Aphrodite.
“Halo, Divine Messenger Luceran. Ya, saya Stuard,” jawabku sopan.
“Haha, panggil saya Luceran saja, Sir,” katanya.
“Baik, Tuan Luceran. Ada yang bisa saya bantu?”
“Iya. Kebetulan saya bertemu dengan Anda. Ketua Dewan memanggil Anda ke ruangannya.”
“Baik, terima kasih, Tuan Luceran,” balasku.
Sebelum pergi, aku berbalik dan berkata,
“Kalau begitu, teman-teman tersayangku, aku tunggu perkembangan kalian. Masa kalah dengan rakyat bawah seperti aku?” Aku tersenyum penuh kemenangan, lalu melangkah pergi.
“Ck… mau Nggak percaya bahwa dia rakyat bawah, tapi aku sudah ketemu orang tuanya,” desah Revian kesal.
“Hee? Beneran ya? Saya pikir Sir Stuard bangsawan yang menyamar. Proporsi wajahnya terlalu mewah untuk rakyat biasa,” Luceran menimpali.
“Ya… sepertinya dia anak haram bangsawan, yang dibuang dan ibunya menikah lagi dengan petani biasa,” sahut Leo seenaknya.
“Hee… Rumornya Sir Stuard adalah Pangeran Mahkota Kekaisaran Noctura yang disembunyikan.”
“Dan juga, marga sesungguhnya adalah Nala. Nama belakangnya” tambah Revian.
“Heee…”
"Kok kamu tau?"
"Aku mah jalan jalan ga kaya kamu" Ucapnya bangga
“Memang ada rumor apa saja sih akhir-akhir ini di Academy? Aku rasa kita kurang update,” Leo menatap Luceran penasaran.
"Saya tidak tahu.. Saya hanya-"
"Padahal Pria Mawar ini, sangat populer" Gerutu Leo
"Ha.. Hahahah, baiklah baiklahh ada 6 point unggulan"
Rumor yang beredar di Academy:
"Stuard adalah anak haram dari Kaisar Noctura."
Ada gosip liar bahwa wajahnya terlalu anggun untuk rakyat jelata. Beberapa orang bersumpah pernah melihatnya mengenakan cincin dengan lambang kerajaan Noctura di asrama.
"Dia dititipkan ke keluarga mantan pelayan Permaisuri."
Pelayannya datang kekaisaran Aurorise agar identitasnya tak terbongkar.
"Dia sudah menguasai teknik Ksatria kelas atas."
Ada yang bilang, dalam pelatihan pedang, instruktur sampai terdiam melihat refleksnya. Bahkan, katanya Stuard berhasil menebas tiga target kayu dengan sekali tebasan. Padahal baru pertamakali belajar teknik itu.
"Dia bisa menyelinap layaknya Assassin profesional."
Konon, di ujian praktek Assassin, dia berhasil mengambil bel tanpa membuat suara sekecil apapun. Saking licinnya, ada yang bilang dia pasti dilatih oleh guild bayangan.
"Dia bakal menaklukkan jurusan Strategi & Taktik dalam waktu singkat."
Jurusan ini terkenal jadi ‘kuburan’ bagi siswa jenius sekalipun. Tapi ada gosip bahwa Stuard sudah menyelesaikan setengah materi hanya dengan membaca buku selama tiga malam tanpa tidur.
"Stuard adalah pria tertampan di Academy."
Beberapa siswi mengaku pernah melihatnya tersenyum sambil mengangkat rambutnya yang terurai, dan itu menyebabkan 3 orang hampir pingsan di aula. Ada yang bahkan bikin klub penggemar rahasia bernama ‘Vine Hearts’.
Mereka melongo dan tertawa
"Aduhh, perutku sakit... Lagii"
Leo mengusap air matanya"Bisakah kita menjelaskan? Sebelumnya logo kaisar Noctura seperti apa?"
"Entahlah, katanya berbentuk bulan sabit dan semacamnya"
"Mungkin maksud kamu ini?" Leo menunjukkan cincinya
"Mungkin..."
"Ini cincin persahabatan kami, aduhhh... Cincin ini dibuat karena dia (menunjuk Revian) banyak didekati perempuan"
"Lalu masalah ksatria, aku juga 1 ruangan dengannya. Rumornya memang benar bahwa ia langsung menebasnya tapi aku tidak tahu bahwa akan menjadi rumor yang WAW seperti itu karena ada beberapa orang berbakat lainnya yang mirip seperti itu"Revian menjelaskan versi dirinya
"Di kelas Assasin juga, dia memang se hebat itu" Leo mengakui
"Kalian tidak kaget dengan kemampuan seperti itu?"
"Hmm... Karena didaerahrku itu hal biasa aja jadi, apalagi dia adalah Rakyat jelata yang identitasnya masih buram" Leo mengerutkan pelipisnya
"Dan.. Kami 1 kelompok dengannya saat ujian jadi , kami sudah tau. Ya, aku harap rumor itu tidak membuatnya risih"
"Kalau rumor ia baca buku 3 hari 3 malam itu?"
"HAHAHAHAHAH" tawa mereka
"Kita juga sekamar, Percayalah rutinitas nya Bangun, Belajar, Balik kamar, Tidur. Gak ada dia belajar malem. Aku pernah begadang 7 hari untuk memastikan itu" Revian menjelaskan dengan ringan
"TAPI AKU GA TAU DIA JADI PRIA TAMPAN NOMOR 1 DI ACADEMY! HARUSNYA AKU GA SIH?!!"
"Bangun, sudah siang"Ucap Revian memutar bola matanya
"Astaga, ternyata seperti itu hahahah," Luceran terkekeh kecil, berusaha menghapus air matanya.
"Kenapa kalian mau repot-repot menjelaskannya pada saya?" tanya Luceran dengan rasa ingin tahu yang samar.
Leo dan Revian saling bertatapan sejenak, senyum mereka perlahan memudar. Atmosfer menjadi aneh, dingin.
"Karena kau… Sahabat dekat Putra Mahkota." Ucapan Leo terdengar datar namun menusuk.
Luceran tertegun. "Apa maksudmu?"
Mereka berdua mendekat, tatapan mata mereka kini tajam seperti pisau.
"Yang kami katakan barusan benar (mengenai rumor)" Revian menambahkan dengan nada rendah,
“Tapi jangan sampai kau memelintir cerita ini menjadi sesuatu yang bisa melukai sahabat kami.”
Suasana seolah menegang, lapangan besar itu terasa mengecil dan terasa mencekam. Seakan-akan, dalam sekejap, dua orang yang sebelumnya tertawa terbahak-bahak berubah menjadi sosok dingin dan penuh kewaspadaan.
.
.
.
TOK TOK TOK
TOK TOK TOK
"Masuk."
Pintu berderit terbuka. Stuard Vine Nala melangkah masuk dengan tenang, mengenakan seragam rapi tanpa cela.
"Permisi, saya Stuard Vine Nala, Ada yang bisa saya bantu, Yang Mulia?"
Alexsander, Putra Mahkota, bersandar di kursi dengan senyum tipis, tatapannya tajam seperti sedang menilai setiap gerak Stuard.
"Hoo… Jadi kau tahu siapa aku?"
Stuard menunduk hormat.
"Ya. Anda adalah Putra Mahkota Kekaisaran Aurorise, Yang Mulia Alexsander Luther Ken Vlaan."
"Hm? Lalu, apakah itu membuatmu gugup?" tanya Putra Mahkota dengan nada santai namun penuh tekanan.
Stuard mengangkat pandangan dengan tenang.
"Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia. Saya hanya berpikir Anda memanggil saya dalam kapasitas Anda sebagai Ketua Dewan Siswa, bukan sebagai Putra Mahkota."
Putra Mahkota mengetuk meja dengan jari-jarinya, suaranya datar tapi menusuk.
"Dan jika aku memanggilmu sebagai Putra Mahkota? Apa yang akan berbeda?"
"Perbedaan itu ada pada sikap, Yang Mulia," jawab Stuard tanpa ragu.
Stuard menundukkan kepala hormat.
"Maka saya hanya bisa mendengar dan mematuhi. Karena seorang murid biasa tidak memiliki hak untuk berbicara setara dengan pewaris kekaisaran."
Putra Mahkota mencondongkan tubuh, menatap dalam mata Stuard.
"Jawabanmu rapi… terlalu rapi. Katakan padaku, Stuard Vine Nala. Apakah kau tipe yang hanya tunduk pada gelar?"
Stuard tersenyum samar.
"Saya tunduk pada kekuasaan yang pantas dihormati, Yang Mulia. Dan Anda, memiliki keduanya."
Putra Mahkota terdiam sejenak, lalu tersenyum puas.
"Hoo… menarik. Tidak banyak orang yang berani menjawab ku seperti itu. Kau… berbahaya."
"Jika itu penilaian Anda, saya hanya melakukan kewajiban saya sebagai Rakyat," Stuard menunduk sedikit, tapi tatapannya tidak goyah.
Putra Mahkota menyandarkan punggungnya, menautkan jemari di depan dada. “Kau bicara seolah orang yang mengerti dunia kekuasaan. Kau bukan sekadar murid biasa, kan?”
Stuard tetap diam beberapa detik, lalu tersenyum tipis. “Saya hanyalah murid biasa, Yang Mulia. Tapi saya belajar bahwa kekuasaan tidak hanya berada pada mereka yang berhak… melainkan pada mereka yang tahu cara menggunakannya.”
“Hoo…” Putra Mahkota mengangkat satu alis, jelas tertarik. “Berani juga kau bicara begitu di depanku. Jangan sampai aku menganggap mu mencoba bermain api, Stuard.”
“Jika saya melakukannya,” jawab Stuard dengan nada yang tetap datar namun tajam, “itu bukan karena saya ingin menantang api, melainkan karena saya percaya api bisa menghangatkan, Jika digunakan dengan benar.”
Putra Mahkota menatapnya lama, mata keemasan itu seperti menembus dinding pertahanan Stuard. Lalu, tiba-tiba dia tersenyum tipis. “Kau… berbahaya. Aku tidak tahu apakah itu hal yang baik atau buruk untukmu.” Ia mengulangi perkataannya 'Bahaya' untuk yang kedua kalinya.
Putra Mahkota bangkit perlahan dari kursinya, langkahnya pelan tapi penuh wibawa saat ia berjalan mendekati Stuard.
“Kalau begitu, buktikan padaku,” ucapnya pelan namun jelas, nyaris seperti tantangan.
“Tunjukkan bahwa kau bukan sekadar bicara.”
Stuard tetap tenang meski jarak di antara mereka kini hanya beberapa langkah. “Bukti seperti apa yang Anda inginkan, Yang Mulia?”
Putra Mahkota tersenyum miring. “Sederhana. Ada surat rekomendasi di meja guru utama, Surat itu bisa menentukan siapa yang masuk ke kelas elit. Ambilkan surat itu untukku, sekarang. Jangan tanya kenapa. Jangan tanya untuk siapa.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya turun menjadi nada licin.
“Anggap saja ini… ujian kesetiaan.”
Ruangan terasa menegang. Stuard menatap Putra Mahkota tanpa berkedip, matanya seakan menimbang antara perintah dan prinsip.
“Jika saya melakukannya, apakah itu karena kesetiaan… atau hanya karena Anda ingin tahu apakah saya akan menundukkan kepala tanpa bertanya?” tanyanya, nada suaranya tajam namun tetap hormat.
Putra Mahkota mengangkat dagunya sedikit, senyumnya tak pudar. “Kau pintar… tapi jawabanku hanya satu! lakukan, atau kita anggap pembicaraan ini selesai, Stuard Vine Nala.”
Stuard terdiam beberapa detik. Tatapannya tidak menunjukkan penolakan, namun juga tidak ada tanda patuh buta. Perlahan, ia menundukkan kepala.
“Yang Mulia… bukan niat saya untuk menolak, tetapi perintah Anda tadi, jika saya melakukannya tanpa bertanya, maka saya sama saja dengan seorang pelayan yang tak punya pikiran. Apakah itu yang Anda inginkan dari seorang Siswa Academy Kekaisaran?”
Putra Mahkota menghentikan gerakan jarinya yang tadi mengetuk meja. Senyumnya memudar tipis, berganti ekspresi penasaran. “Kau… berani sekali menanyakan itu.”
“Saya hanya berpikir, Yang Mulia,” Stuard melanjutkan dengan tenang,
“kesetiaan yang buta bukanlah kekuatan, melainkan kelemahan. Jika Anda ingin seseorang yang selalu patuh tanpa pertimbangan, saya tidak akan cocok. Tapi jika Anda menginginkan seseorang yang akan berdiri di sisi Anda karena benar-benar memahami tujuan Anda… saya akan selalu ada.”
Keheningan menggantung di antara mereka. Putra Mahkota menatapnya lama, lalu tiba-tiba tertawa rendah, suara itu terdengar lebih seperti pengakuan atas kekalahan kecil. “Kau… menarik. Bahkan, sangat menarik. Tidak banyak orang yang berani mengajakku bicara dengan logika seperti itu.”
Putra Mahkota menyandarkan diri kembali pada kursinya, tatapannya tak lepas dari Stuard.
“Baiklah. Aku tarik ujianku. Sebagai gantinya, aku akan memberimu sesuatu… sebuah tempat di sisiku. Kau tahu apa artinya ini?”
Stuard menunduk hormat, meski ada secercah senyum tipis di bibirnya. “Artinya, saya tidak boleh membuat kesalahan sekecil apa pun di hadapan Anda, Yang Mulia.”
Putra Mahkota menatap Stuard lama, lalu berdiri dari kursinya. “Stuard Vine Nala… kau terlalu pintar untuk sekadar menjadi anggota dewan siswa. Dewan itu cuma permainan anak-anak. Aku bicara tentang sesuatu yang lebih besar.”
Stuard mengangkat pandangannya, tidak terkejut tapi jelas penasaran. “Sesuatu yang lebih besar, Yang Mulia?”
“Ya.” Putra Mahkota melangkah mendekat, auranya terasa menekan. “Aku sedang mencari seseorang yang bisa menjadi mataku, tanganku… dan mungkin, pedangku. Seseorang yang tidak hanya mengangguk saat diperintah, tapi juga bisa membaca keadaan tanpa perlu diperintah.”
Stuard terdiam, menimbang kata-kata itu. “Tangan kanan Putra Mahkota… itu bukan posisi yang bisa dipegang sembarang orang. Apa Anda yakin saya orang yang Anda cari?”
Putra Mahkota tersenyum samar. “Aku tidak pernah yakin pada siapapun… tapi kau berhasil membuatku tertarik. Dan itu jarang terjadi.”
Putra Mahkota menatap Stuard lekat-lekat, senyum tipisnya berubah menjadi sesuatu yang lebih serius. “Kau ingin tetap jadi murid biasa… atau berjalan di sisiku, dengan segala risiko dan kekuatan yang akan menyertainya? Katakan, Stuard.”
Stuard menarik napas pelan, lalu menunduk sedikit. “Yang Mulia… kehormatan bagi saya menerima tawaran itu. Tapi…” Ia menatap langsung mata Alexsander, nada suaranya tidak bergetar sedikit pun.
“Seorang tangan kanan tidak bisa bergerak bebas. Dan saya… tidak mau menjadi bayangan yang hanya berjalan di belakang Anda. Saya ingin berdiri di tempat saya sendiri.”
Putra Mahkota menatapnya lama, matanya menyipit seperti menilai kejujuran di balik kata-kata itu. Lalu, alih-alih marah, dia justru tertawa kecil.
“Kau menolak Putra Mahkota di wajahnya sendiri. Kau gila… atau benar-benar tahu apa yang kau inginkan.”
“Jika Anda menganggap saya gila, saya tidak bisa menyangkalnya,” Stuard menjawab dengan senyum samar.
“Tapi jika suatu saat Anda membutuhkan seseorang yang tidak terikat pada aturan atau gelar… Anda tahu di mana menemukan saya.”
Putra Mahkota terdiam sesaat, lalu matanya berkilat dengan rasa penasaran yang lebih dalam. “Kau benar-benar tidak seperti kebanyakan orang di sini… Stuard Vine Nala. Mungkin, justru itu yang membuatmu berbahaya. Persis seperti adikku"
Stuard sempat terdiam, alisnya berkerut samar. “Adik?”
Alexsander tidak menjawab, hanya menyunggingkan senyum tipis yang sulit dibaca.
“Ya… kau boleh kembali sekarang, Stuard.” Tatapan mata Putra Mahkota mendadak berubah dingin, tajam seolah menembus lapisan pikirannya. dan dingin