Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'
mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.
suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35 Anak Hanif
Malam itu rumah terasa hangat. Aku, Wita, Kak Joan, dan Gilang duduk di ruang TV. Jam sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi obrolan masih santai.
Gilang duduk lesehan sambil ngemil keripik, Wita bersandar di bantal sofa, dan Kak Joan duduk di sampingku, lengannya kadang menyentuh pundakku setiap kali dia sedikit merapat. TV menayangkan film komedi lama, dan untuk pertama kalinya setelah lama, suasananya terasa ringan.
“Gue sumpah ya, kalau di rumah sakit tuh kadang pasiennya lebih serem dari mayat di ruang forensik,” kata Gilang, membuat Wita cekikikan.
“Apaan sih, Lang, jangan ngomong gitu! Gue bisa nggak tidur nanti,” protes Wita, tapi senyum kecilnya nggak bisa disembunyikan.
Kak Joan ikut menimpali, “Dia nggak bohong. Ada pasien yang pura-pura kesurupan biar dapet perhatian keluarga. Gilang pernah nemuin yang gitu kan?”
Gilang mengangguk, wajahnya dibuat serius. “Pernah. Gue bahkan harus pura-pura manggil ustaz padahal gue tau dia cuma pura-pura. Kocak banget.”
Aku ikut tersenyum kecil, meski pikiranku masih setengah melayang ke pertemuan pagi tadi. Bayangan tatapan kosong anak kecil di gendongan istrinya Hanif… masih terbayang jelas. Sensasi dinginnya nggak hilang dari kulitku.
Kak Joan menoleh, menyadari aku diam terlalu lama. “Kamu kenapa? Dari tadi diem aja.”
Aku berusaha tersenyum. “Enggak… cuma capek. Lagi nggak banyak ngomong aja.”
Joan menatapku sejenak, seperti mau protes, tapi akhirnya dia hanya mengusap punggung tanganku pelan.
Baru aku mulai merasa tenang… udara di ruang TV mendadak berubah. Suhu turun, seperti ada angin dingin masuk meski semua jendela tertutup. Lampu gantung di atas kepala berkedip dua kali.
Aku refleks menegakkan tubuh. Dan di sudut ruangan, Ningsih muncul. Dengan gaun merahnya yang menjuntai, rambut panjang terurai berantakan, tapi wajahnya kali ini serius, bukan tengil seperti biasanya. Hanya aku yang bisa melihatnya.
Aku menelan ludah, berbisik pelan supaya yang lain nggak curiga. “Kenapa lagi, Ning?”
Ningsih melangkah mendekat, suaranya lirih tapi tegas. “Lo udah liat sendiri kan pagi tadi? Anak kecil itu… auranya udah mulai jadi target. Gue bisa liat makhluk-makhluk kecil nempel di belakangnya.”
Aku menegang. “Jadi lo yakin? Bukan cuma perasaan gue?”
“Yakin,” Ningsih mendekat lebih jauh, tatapannya tajam. “Kalau lo nggak ikut campur, dia bisa jadi jalur buat makhluk yang ngejar lo buat masuk lagi ke dunia lo. Gue nggak bisa jamin lo aman kalau itu kejadian.”
Aku menggigit bibir, kepalaku berputar. “Terus gue harus apa? Gue nggak mungkin tiba-tiba muncul ke rumahnya Hanif dan bilang ‘hei anak lo dikelilingin setan’.”
Ningsih menatapku datar. “Makanya gue dateng sekarang. Gue bisa bikin jalur aman, tapi lo harus ikutan. Lo juga harus mastiin anak itu dapet perlindungan langsung dari leluhur lo… bukan cuma pagar gaib rumah.”
Aku menutup wajahku dengan tangan sebentar. Semua percakapan ini nggak terdengar oleh Kak Joan, Wita, atau Gilang. Dari sudut mataku, aku bisa liat Gilang lagi nyemil santai, Wita sibuk main HP, dan Kak Joan menatapku bingung karena aku terlihat seperti ngomong sama udara kosong.
“Nad?” suara Kak Joan memecah pikiranku. “Kamu lagi ngomong sama siapa?”
Aku spontan menoleh. “Ah… enggak, cuma ngomong sendiri.”
Joan mengerutkan kening, jelas nggak percaya. “Kamu dari tadi kayak gini terus. Ada yang kamu simpen, kan?”
Aku buru-buru berdiri. “Aku cuma haus. Aku ambil air dulu, ya.”
Aku melangkah cepat ke dapur, meninggalkan mereka semua. Tapi di belakangku, aku bisa dengar suara pelan Joan ke Gilang dan Wita, suaranya datar tapi tegang.
“Gue nggak tau apa yang lagi dia hadapin… tapi gue rasa dia nggak bilang semuanya ke kita.”
Sementara itu, Ningsih mengikuti langkahku ke dapur, tatapannya tetap serius.
“Lo nggak bisa terus bohongin mereka, Nad. Cepat atau lambat, mereka bakal nyeret lo semua ke tengah masalah ini. Dan… gue nggak yakin semua orang bakal selamat kalau lo terus nunda.”
Aku berdiri di dapur, menatap kosong gelas berisi air di tanganku. Pikiran tentang anak Hanif dan ancaman yang disampaikan Ningsih terus berputar. Ningsih berdiri di dekat pintu, wajahnya tetap serius, gaun merahnya tampak seperti berhembus meski tak ada angin.
“Nad,” suara berat Kak Joan memecah keheningan. Aku menoleh, sedikit kaget. Dia berdiri di ambang pintu dapur, bahunya masih menegang, sorot matanya khawatir.
“Kamu beneran nggak mau cerita apa yang lagi kamu simpen? Dari tadi kamu kayak… nggak di sini. Aku nggak bisa diem liat kamu kayak gini.”
Aku membuka mulut, siap mengelak lagi, tapi Ningsih tiba-tiba bicara lirih.
“Udah, Nad. Sekarang waktunya. Dia juga harus tau… karena yang bakal lo hadapin nggak bisa lo hadapin sendirian.”
Sebelum aku bisa menahan, Ningsih berbalik menghadap Joan… dan menampakkan dirinya.
Udara di dapur langsung terasa berat. Lampu neon di atas kepala berkedip pelan. Gaun merah Ningsih berayun, matanya yang merah menyala menatap lurus ke arah Joan. Dan untuk pertama kalinya, Joan bisa melihatnya.
Joan membeku. Sorot matanya tajam, refleks mundur setengah langkah, tangan kanannya otomatis menggenggam ponsel di sakunya seperti mencari sesuatu untuk bertahan. “Apa… itu?” suaranya datar, nyaris berbisik tapi jelas tegang.
Aku melangkah cepat, menyentuh lengannya. “Kak, tenang… dia bukan musuh.”
Joan menoleh ke arahku, rahangnya mengeras. “Kamu bisa jelasin kenapa… ada makhluk itu di dapur kita? Dan kenapa selama ini kamu nggak bilang kalau… kamu sering berurusan sama hal kayak gini?”
Ningsih mendesah kecil, suaranya agak sinis. “Santai, dokter. Gue nggak makan manusia… kecuali yang bener-bener nyebelin.”
Aku memelototinya, berbisik keras. “Ningsih, serius dikit!”
Dia cengar-cengir sebentar, lalu kembali serius menatap Joan. “Gue ada di sini karena Nadia nggak bisa lagi nutupin semuanya. Masalahnya udah keburu besar. Anak kecil itu… jadi target, dan itu bisa nyeret Nadia ke bahaya yang lebih parah. Lo perlu tau supaya bisa jaga dia.”
Joan masih terdiam, tatapannya berpindah dari aku ke Ningsih. Napasnya berat, jelas berusaha menahan diri supaya nggak panik.
“Aku… nggak ngerti apa-apa soal dunia kalian,” katanya akhirnya, nada suaranya pelan tapi tegas. “Tapi kalau itu berarti kamu jagain Nadia… jelasin semuanya. Jangan main rahasia lagi.”
Aku menarik napas panjang. “Kak… aku jelasin dari awal, tapi… kita mungkin butuh duduk di ruang TV, biar Wita dan Gilang juga tau. Karena… ini udah nggak bisa aku hadapin sendirian.”
Joan menatapku lama, lalu mengangguk pelan. Tapi sorot matanya tetap waspada, seolah siap melindungiku dari apa pun—bahkan kalau itu berarti harus berhadapan dengan Ningsih.
Sementara Ningsih cuma berdiri di sana, senyum tipis muncul di sudut bibirnya.
“Bagus. Akhirnya lo semua bakal ngerti… kalau dunia gue nggak pernah bener-bener jauh dari dunia lo.”
Kami kembali ke ruang TV. Gilang dan Wita yang tadi santai, langsung mendongak heran saat melihatku dan Kak Joan masuk… di belakang kami, Ningsih ikut berjalan santai.
Wita langsung berdiri dari sofa, matanya melebar. “Lo lagi??!”
Gilang sampai menjatuhkan bantal yang dia pegang. “Serius deh, gue nggak akan pernah kebiasaan liat lo… Apalagi lo muncul santai kayak gitu.”
Ningsih cuma melirik sekilas, senyum tengilnya muncul. “Santai, gue nggak lagi cari korban. Lo berdua udah pernah liat gue kan kemarin… masa kaget mulu?”
Aku mengangkat kedua tanganku, mencoba menenangkan suasana. “Hei, semua duduk dulu. Gue tau ini aneh, tapi kita harus ngobrol serius. Ada yang penting banget soal anaknya Hanif.”
Wita menelan ludah, duduk pelan-pelan lagi sambil menatapku penuh tanya. “Nad, lo mau ngomong apa? Dari tadi lo kelihatan kepikiran.”
Gilang ikut bersuara, nada suaranya lebih hati-hati. “Lo jangan bilang masalah kita udah kelar kemarin itu… ternyata belum ya?”
Aku duduk di sofa, menarik napas dalam. “Jadi gini… pagi tadi gue nggak sengaja ketemu istrinya Hanif. Dia bawa anak mereka… dan ada sesuatu yang nggak wajar sama anak itu. Gue ngerasain ada aura gelap di belakangnya.”
Wita langsung menegakkan tubuh. “Maksud lo… ketempelan?”
Aku mengangguk pelan. “Iya. Dan menurut Ningsih, anak itu bisa jadi jalur makhluk-makhluk dari dunia mereka untuk nyeret gue balik ke masalah yang lebih besar. Jadi ini bukan cuma tentang anak itu… tapi juga tentang gue.”
Ningsih maju selangkah, suaranya datar tapi tegas. “Gue bisa liat makhluk-makhluk kecil nempel di sekeliling anak itu. Mereka belum bisa nyerang langsung, tapi kalau dibiarkan, mereka bisa buka ‘jalan’. Dan itu bisa bikin semua masalah yang selama ini kita hadapin balik lagi… lebih parah.”
Kak Joan menatap Ningsih tajam, lalu menoleh ke arahku. “Jadi… kalau nggak ada yang ngurusin, mereka bakal nyeret kamu lagi? Dan anak itu bisa jadi korban juga?”
Ningsih mengangguk. “Tepat. Dan karena darah leluhur Nadia, mereka otomatis nyari dia. Jadi kita harus amankan anak itu, biar nggak jadi celah.”
Wita memeluk bantalnya erat, wajahnya tegang. “Oke… ini makin gila. Tapi… kita bisa apa? Kita kan bukan dukun atau apa.”
Gilang menggaruk kepalanya, menatapku. “Jadi rencananya… lo mau turun tangan langsung? Ini nggak bakal bikin masalah kita makin parah, Nad?”
Aku menatap mereka satu-satu. “Gue nggak punya pilihan. Kalau gue diem aja, masalah ini nggak akan berhenti. Tapi… gue nggak mau kalian ketarik lebih jauh. Gue cuma butuh kalian ngerti, supaya nggak kaget kalau ada yang aneh-aneh lagi.”
Kak Joan duduk lebih dekat padaku, menggenggam tanganku erat. “Kamu nggak sendiri, kan? Aku ikut, apa pun yang terjadi. Aku nggak peduli kalau aku nggak bisa liat semua yang kamu liat… aku bakal jagain kamu.”
Aku menatapnya, bibirku sedikit bergetar, tapi aku mengangguk. “Iya… makasih, Kak. Aku cuma… takut semua ini nggak berakhir-akhir.”
Dia mengusap kepalaku pelan, tatapannya dalam. “Selama aku ada, kamu nggak usah takut.”
Ningsih melipat tangan di depan dada, matanya berkilat merah samar. “Oke, kalo semua udah ngerti, gue siapin cara buat nutup jalur itu. Tapi… lo semua harus siap. Karena sekali lo ikut campur, nggak ada jalan balik. Dunia gue bakal makin deket sama dunia lo.”
Suasana ruang TV hening. Hanya suara TV yang masih menyala pelan.
Wita akhirnya berbisik, “Nad… gue ikut lo, tapi sumpah… kalau ada makhluk kayak yang di pantai kemarin nongol lagi, gue bisa pingsan di tempat.”
Gilang menepuk bahunya pelan. “Tenang aja, aku ada. Tapi jujur aja, aku juga udah nggak ngerti ini hidup kita apa film horor tiap minggu.”
Aku menarik napas panjang. “Mulai sekarang, kita harus lebih hati-hati. Karena masalah ini… baru aja dimulai lagi.”