Niat hati Parto pergi ke kampung untuk menagih hutang pada kawannya, justru mempertemukan dia dengan arwah Jumini, mantan cinta pertamanya.
Berbagai kejadian aneh dan tak masuk akal terus dialaminya selama menginap di kampung itu.
"Ja-jadi, kamu beneran Jumini? Jumini yang dulu ...." Parto membungkam mulutnya, antara percaya dan tak percaya, ia masih berusaha menjaga kewarasannya.
"Iya, dulu kamu sangat mencintaiku, tapi kenapa kamu pergi ke kota tanpa pamit, Mas!" tangis Jumini pun pecah.
"Dan sekarang kita bertemu saat aku sudah menjadi hantu! Dunia ini sungguh tak adil! Pokoknya nggak mau tahu, kamu harus mencari siapa yang tega melakukan ini padaku, Mas! Kalau tidak, aku yang akan menghantui seumur hidupmu!" ujar Jumini berapi-api. Sungguh sekujur roh itu mengeluarkan nyala api, membuat Parto semakin ketakutan.
Benarkah Jumini sudah mati? Lalu siapakah yang tega membunuh janda beranak satu itu? simak kisah kompleks Parto-Jumini ya.
"Semoga Semua Berbahagia"🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lasmi
Mendengar adanya keributan di halaman rumahnya, Bu Gemi, ibu nya Sukijo pun keluar rumah.
“Ada apa to Le?” ujarnya seraya membuka pintu. “Ada pencuri toh?” simpulnya sendiri setelah melihat putranya terlihat ganas memukuli seseorang.
“Tolong! Pencuri!” teriak Bu Gemi.
Namun melihat pria yang dipukuli Sukijo terkapar lemas, Bu Gemi menghampiri putranya, lalu menarik lengannya. “Sudah Le, kalau dia mati, urusannya panjang nanti! Sudah cukup! Kita serahkan saja sama warga dan pak RT!”
Benar saja, seorang warga yang rumahnya tepat bersebelahan dengan Sukijo pun tiba setelah mendengar teriakan Bu Gemi.
“Mana malingnya?”
“Itu, sudah pingsan dipukuli Sukijo!” tunjuk Bu Gemi seraya memeluk Sukijo, menenangkan emosi putranya.
“Biar kupanggil pak RT dulu, Bu!” ujar warga yang satunya.
Tak lama, pak Ngatnu pun tiba. Betapa terkejutnya mereka, saat pria yang tengkurap penuh luka di halaman rumah Bu Gemi itu, adalah Parto.
“Dia bukan hanya sekedar seorang pencuri! Pria dari kota itu, dia—yang telah merebut Jumini dariku!”
Mendengar penuturan sepihak dari Sukijo, para warga menjadi geram.
"Ikat dulu dilapanagan dekat siskamling seharian, Pak! Biar kapok!"
"Benar! Laki-laki perusak rumah tangga orang, juga harus dihukum!"
"Betul! Sore harinya kita seret keliling kampung, pezina harus dibuat jera!"
"Pak RT jangan lemah, karena dia adalah tamu di rumahmu! Bisa jadi dia sedang berencana jahat untuk mengeruk semua kekayaanmu!"
"Bisa jadi dia hanya beralasan temenna sama Walji, Pak?"
"Sudah, pokoknya ikat saja pembuat onar itu sekarang!"
Berbagai tuduhan kasar dan tak berdasar terlontar begitu mudah dari mulut-mulut para warga yang dengan kejam menyeret, menendang, bahkan meludahi Parto yang masih tak sadarkan diri.
.
.
.
Keesokan harinya, di sekolah, batin Lasmi tengah gusar menanti hasil nilai tes matematika, pasalnya ia sangat lemah dalam mata pelajaran itu.
“Kalau tahun ini kamu nggak naik kelas lagi, nggak usah sekolah! Angon bebek aja di sawah!” gertak pak Ngatnu beberapa waktu.
“Teman seumurmu itu sudah kelas satu SMA, kamu masih juga kelas dua SMP! Bikin malu saja!” imbuh pak Ngatnu dengan wajah memerah.
Dan ini tahun ketiga, tahun penentuan bagi nasib Lasmi setelah dua tahun sebelumnya, dua kali juga ia tinggal kelas karena nilai matematika selalu dibawah kkm.
“Pagi anak-anak!” Seorang guru memasuki ruang kelas, menyapa dengan tegas dan penuh wibawa, disambut salam hormat oleh semua murid.
Sang guru meletakkan tumpukan lembar kerja siswa di atas meja, lalu melipat lengan baju panjangnya, diakhiri dengan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas, mengamati anak didiknya yang tak sabar menanti hasil tes mereka.
Lasmi yang memang tak suka berisik, ia duduk angkuh bersandar, menatap lurus pada sang guru.
“Kabar baik untuk kalian semua, kali ini nilai matematika semua siswa diatas kkm, jadi kalian bebas dari remidi. Tepuk tangan untuk kerja keras kalian!” kata Pak Sutar, guru matematika.
“Hore!” sorak girang siswa kelas 2B, termasuk Lasmi yang tersenyum puas tetap duduk di posisinya semula.
Satu persatu murid maju ke meja guru setelah namanya dipanggil untuk mengambil kertas hasil ujian hari kemarin.
“Lasmi, selamat ya, akhirnya kamu berhasil menaklukkan matematika. Pertahankan itu ya,” nasehat pak Sutar seraya menepuk pelan pundak muridnya itu.
Lasmi mengangguk singkat menyembunyikan kepuasannya.
.
.
.
Di tengah lapangan kecil, bekas sawah yang habis dipanen, Parto terlihat lemas, duduk bersila dengan tubuhnya terikat pada sebuah tiang bambu yang ditanam ke tanah. Sedang kedua tangannya terikat ke belakang.
“Hantu sialan! Tega sekali dia membuatku menjadi tontonan seperti ini! Awas saja nanti!” gerutu Parto tertunduk, menahan haus karena matahari semakin terik bersinar tepat diatas kepalanya.
“Kasihan!” sinis ucapan Lasmi, lalu menyodorkan air putih beserta sedotan ke mulut Parto, masih dengan seragam sekolahnya.
“Oh?” Parto yang tak menyadari kehadiran Lasmi pun terkejut, ditambah dengan sodoran air putih itu, tentu membuat Parto tak percaya dengan cepatnya perubahan sikap Lasmi.
“Makasih! Berkat catatan yang kamu tinggalkan, aku lulus ujian matematika.” Meski ucapan Lasmi tetap angkuh seperti biasanya, namun kali ini ada ketulusan tersirat.
Parto tersenyum mendengar hal itu. “Baguslah kalau berguna, maaf malam itu aku nggak sengaja lihat kertas ujian yang kamu sembunyikan di bawah kasur.”
“Hm, apa kamu juga lihat catatanku lainnya?” tanya Lasmi tertunduk, ada semburat khawatir terlihat jelas di wajahnya.
Parto menggeleng, “Enggak. Memangnya ada pelajaran lain lagi yang nilainya lima juga?”
“Sialan! Aku memang bodoh soal matematika, tapi tidak dengan yang lainnya!” sahut Lasmi bernada kesal
Parto terkekeh, “Hahaha, aku tidak memeriksa hal lainnya, aku hanya peduli dengan nilai sekolahmu saja, jadi pertahankan yang lainnya. Ah, satu hal yang harus kamu tahu, matematika itu tidak sulit, asal kamu membiasakan berlatih.”
"Matematika itu tidak bisa dihapalkan, dia butuh ketelatenan dan latihan. Seperti layaknya tersenyum pun butuh dibiasakan, kan?" canda Parto bernada mengejek.
“Ah! Dasar bawel kayak si tua Sutar! Jadi butuh minum nggak?”
“Warga akan semakin murka kalau kamu di sini, pergilah. Meski aku bingung harus bagaimana, tapi aku yakin—”
“Jangan bodoh! Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi, mungkin saja aku bisa membalas kebaikanmu.”
Parto sedikit ragu pada awalnya, namun mengingat kemarahan para warga yang dengan kejam berencana akan menghakiminya tanpa mencari tahu kebenaran sebenarnya, akhirnya Parto oun menceritakan semua hal aneh yang dialaminya, termasuk pertemuannya dengan arwah Jumini.
“Kamu yakin, Mas?” Wajah Lasmi memucat seketika saat Parto menyebut nama Jumini.
“Ya aku pun rasanya tak percaya, tapi—”
Lasmi tiba-tiba bangkit lalu meninggalkan Parto begitu saja, tanpa berucap apapun.
“Dasar bocah! Sudah ku duga, tak akan ada yang percaya.” sesal Parto kembali pasrah dengan situasinya.
.
.
.
Lasmi menghampiri kedua orang tuanya yang tengah sibuk memanen biji kopi di kebun belakang rumahnya.
“Pak! Bu! Lepaskan Mas Parto!” ucapnya tegas dengan sorot mata berani.
“Ada apa, datang-datang kok bentak orang tua, dasar anak durhaka!”
“Jangan pura-pura bodoh! Aku diam karena kalian orang tuaku! Tapi aku nggak akan diam kalau kalian nggak lepasin Mas Parto!” tegas Lasmi penuh amarah.
“Ngomong apa kamu ini! Bocah cilik masuk rumah, makan sana!” sanggah Bu Sumiyem menatap sedikit heran pada putrinya.
“Bu, Pak. Arwah mbak Jumini menemui Mas Parto, dan aku tahu apa yang kalian lakukan pada Mbak Jum.”
Deg!
Sepasang orang tua itu terkejut, lalu saling pandang dan menatap kaget pada Lasmi.
...****************...
Bersambung.