"Aku terbangun di dunia asing. Tanpa ingatan, tanpa petunjuk, tapi semua orang memanggilku Aqinfa—seolah aku memang gadis itu."
Namun, semakin lama aku tinggal di tubuh ini, semakin jelas satu hal: ada sesuatu yang disembunyikan.
Wajah-wajah yang tampak ramah, bisikan rahasia yang terdengar di malam hari, dan tatapan pria itu—Ziqi—seolah mengenal siapa aku sebenarnya... atau siapa aku seharusnya menjadi.
Di antara ingatan yang bukan milikku dan dunia yang terasa asing, aku—yang dulu hanya Louyi, gadis sederhana yang mendambakan hidup damai—dipaksa memilih:
Menggali kebenaran yang bisa menghancurkanku, atau hidup nyaman dalam kebohongan yang menyelamatkanku.
Siapa Aqinfa? Dan… siapa sebenarnya aku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amethysti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cahaya yang Dinanti
Hari itu langit masih redup ketika kabar kepulangan Aqinfa tersebar di kalangan para murid. Belum sepenuhnya sadar, Aqinfa masih terbaring di ruang pengobatan akademi, dengan wajah pucat namun tenang. Ziqi duduk di sisi ranjang, memandangi wajahnya yang tertidur. Hatinya belum sepenuhnya tenang sejak peristiwa di Lembah Kabut Hitam.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki tergesa terdengar dari lorong luar.
"Benarkah? Aqinfa sudah Sadar?!" teriak Axia saat membuka pintu.
"Ssst! Jangan berisik, dia masih tidur!" bisik Weyi cepat, menarik Axia masuk perlahan.
Dwiyu dan Seril mengikuti dari belakang, membawa beberapa kantong makanan dan kain basah.
"Aku bawa bubur dan buah segar," kata Seril sambil menaruh nampan di meja kecil.
Weyi mendekat dan menggenggam tangan Aqinfa, menatap wajah temannya yang tenang.
"Kau benar-benar membuat kami khawatir, tahu?" ucapnya pelan.
Ziqi bangkit dari tempat duduknya, memberikan ruang untuk para sahabat Aqinfa.
"Kalian bisa duduk di sini. Aku akan kembali nanti," ujarnya singkat.
Namun sebelum ia benar-benar pergi, Aqinfa menggerakkan kelopak matanya pelan, lalu bersuara lirih.
"Ziqi..."
Mereka semua terdiam. Ziqi menoleh cepat.
"Aku di sini," katanya sambil melangkah kembali ke sisi ranjang.
Mata Aqinfa perlahan terbuka. Ia melihat wajah-wajah sahabatnya yang tercengang dan haru, lalu menatap Ziqi.
"Aku tidak jadi kembali... kan?" gumamnya lemah.
"Tidak, kau tetap di sini," jawab Ziqi, nadanya lebih lembut dari biasanya.
Axia langsung memeluk Aqinfa pelan.
"Kau gila! Aku hampir menangis karena takut kau nggak kembali!"
"Kau memang menangis, Axia," sindir Seril.
"Apa kalian semua baik-baik saja?" tanya Aqinfa, mencoba bangun.
Dwiyu segera menahan pundaknya, "Jangan dipaksakan dulu. Istirahatlah."
Weyi duduk di sisi lain dan berkata, "Kau tahu, saat kau hilang, suasana akademi terasa... kosong. Bahkan Yayue dan Yena seperti kehilangan akal."
"Yayue?" gumam Aqinfa sambil tertawa kecil, meski masih lemah.
"Dia sempat bilang kalau kau kabur karena takut menghadapi rasa cintanya," goda Axia.
"Huh, dia bisa pergi ke langit kalau begitu," balas Aqinfa setengah mengeluh.
Ziqi hanya berdiri di sana, memperhatikan percakapan mereka dengan tatapan tak biasa—lebih lembut, lebih dalam.
"Kalian boleh berbicara dengannya, tapi jangan membuatnya terlalu lelah," katanya tenang.
Semua saling menatap lalu mengangguk.
Weyi tersenyum lebar. "Kami akan jaga dia baik-baik. Tapi kau juga jangan terlalu dingin lagi padanya."
Ziqi tidak menjawab. Ia hanya menatap Aqinfa sejenak, lalu berkata, "Aku akan kembali nanti. Istirahatlah."
Namun saat ia hendak berbalik, Aqinfa menggenggam ujung lengan hanfu-nya.
"Tunggu... sebentar saja."
Ziqi menoleh.
"Aku senang kau yang pertama kutemui waktu sadar... terima kasih," ucap Aqinfa sambil menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Ziqi diam, lalu perlahan menunduk dan menyentuh kening Aqinfa dengan keningnya.
"Aku juga senang kau kembali."
Suasana ruangan seketika hening, kecuali senyuman kecil yang muncul di wajah semua orang.
"Oke, kita keluar dulu! Ini makin romantis saja!" teriak Axia sambil menarik Seril dan Dwiyu keluar.
"Kami jaga pintu, biar tak ada yang ganggu!" tambah Weyi setengah menggoda.
Saat ruangan sepi, Aqinfa berbisik, "Ziqi... jangan pergi jauh-jauh lagi."
Ziqi mengangguk. "Aku tak akan ke mana-mana."
"Aku bersyukur memiliki kalian semua disisiku."(serunya dengan suara pelan).
Matanya kini terlihat meneduh dengan senyuman yang terasa manis dengan pipi merona .kini dia sadar bahwa banyak orang yang menghawatirkannya disini.
tidak seperti disana .