Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bercerai
Aku mengatakan semua yang aku rasakan selama hidup seatap dengannya: jika dia tidak pernah peduli padaku, tidak pernah mendengarkanku, tidak pernah mengajakku berdiskusi bahkan tentang masalah sehari-hari, tidak pernah ada waktu untukku, bahkan sekecil rasa kasih sayang tidak pernah aku dapatkan darinya lewat perbuatan-perbuatan kecil yang mencerminkan sedikit kecintaannya padaku.
Yang kusebutkan jika dia tidak pernah menghargaiku sebab dia tidak ingin mengakui pada dunia jika aku istrinya. Dia tidak pernah membawaku berkenalan dengan rekan-rekannya kecuali pertama dan terakhir kalinya saat dinner dengan koleganya dan aku yang salah memakai alat makan.
Setelah itu, tidak pernah lagi karena dia mungkin malu pada mereka jika ternyata istrinya adalah aku, orang yang seperti ini—kampungan yang terlalu biasa dan tidak ada apa-apanya untuk bisa dipamerkan—sedangkan dia seorang pengusaha kaya raya.
Kita berbeda kasta.
Aku membandingkan perlakukannya padaku daripada Kak Alan. Berbeda dengan kak Alan yang selalu membantu dan tidak pernah malu saat berjalan denganku. Aku merasa lebih nyaman berdiskusi dengan adik iparku itu daripada dengan suami sendiri yang masih kaku walau kenyataannya sudah hampir setahun berumah tangga dan hidup bersama meski kadang kala seringnya dia pergi ke luar kota.
"Mas sebenarnya tidak cinta padaku, aku sudah tahu sejak awal. Mas tidak suka saat ada aku di dekatmu. Semua ini kamu jalani karena formalitas saja karena aku berstatus istri," ujarku menjawabnya pertanyaannya, mengapa aku berkata begitu.
Seolah inilah kesempatan untukku bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya aku rasakan selama ini, bahwa meski aku banyak kurangnya tetapi aku berhak mengatakan apa yang membuatku bahagia atau tidak.
"Kak Alan mendukung semua mimpi-mimpiku meski kamu berusaha memisahkan kami dan kamu juga yang meminta dia resign dari pekerjaannya sendiri. Padahal, dia yang membantuku mewujudkan impianku membangun sekolah khusus itu."
Mereka saudara–kakak beradik–tapi entah mengapa perbedaannya terlalu jauh. Seperti langit dan bumi.
"Kamu merasa begitu? Jadi, artinya kamu tidak bahagia bersamaku?"
Aku diam dan menunduk, mengusap air mataku yang deras mengalir tanpa henti. Orang yang kutahu dia adalah kakak kandung dari seorang laki-laki yang pernah menjadi kakak kelasku saat SMA itu, dia yang sejak tadi hanya diam saat aku mengatakan semuanya. Sekarang barulah bersuara.
"Lalu, maumu bagaimana?" tanya dia pada akhirnya setelah kami duduk berseberangan di sofa ruang televisi. Jemarinya bertaut, mendengarkan semua yang aku katakan. Untuk pertama kali, aku melihat sosoknya diam tak membantah apapun yang aku katakan meski mungkin menyakitkan untuk didengar, tapi itu sebuah kenyataan.
Dengan tatapan sendu dan lurus padaku, akhirnya ia meminta pendapatku dan apa yang aku mau. Selama ini, baru sekali ini dia bertanya padaku soal sesuatu.
Terhela napas panjang sebelum akhirnya aku mengatakan apa yang aku mau. "Mungkin, aku pikir lebih baik kita cerai."
Dia diam. Ini menyakitkan meski aku ingin mengatakannya sejak lama. Namun, bahkan saat mendengar suaraku sendiri yang meminta kebebasan dari sebuah status tak banyak saling menguntungkan ini, aku merasa dadaku berdenyut nyeri.
Sebuah keputusan dan perubahan hidup yang besar sedang aku pertaruhkan.
Dia menghela napas, kemudian mengusap wajahnya dengan satu tangannya. Dia berdiri dari duduknya, berjalan gusar memikirkan apa yang telah aku katakan.
"Dita, apa yang ... argh," sebutnya. Untuk pertama kalinya dia memanggil namaku yang biasanya dia memanggilku "Moy", kali ini terdengar berbeda.
"Benar itu yang kamu mau?"
Aku mengangguk. Apa yang telah aku katakan, tidak akan aku tarik kembali meskipun aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
Helaan napasnya terdengar keras, dia kembali duduk di tempatnya tanpa berbicara. Sekian lama aku menunduk dan menunggu apa yang akan dilakukannya, pun dia tak bersuara.
"Baiklah jika itu yang kamu inginkan, maka aku akan menceraikanmu. Talak 1 untukmu, kita berpisah."
Nyaris jantung ini berhenti berdetak. Antara bahagia dan campur aduk di dalam rongga dada. Seperti sebuah mimpi yang berjalan acak dan tidak dapat diartikan apa maknanya. Benarkah itu berarti aku telah berpisah? Aku menjadi janda?