Demi membantu sahabatnya lepas dari jeratan perjodohan, membuat Eve harus berurusan dengan pria angkuh dan sombong bernama Arsen. Hidup Eve yang semula tenang mendadak hancur dalam waktu sebulan.
Arsen berhasil mengacaukan acara pernikahan Eve dan membuat wanita itu hamil. Hingga takdir mempertemukan mereka kembali. Rico, adik Arsen memperkenalkan Eve sebagai kekasihnya. Arsen semakin kalut saat mengetahui Eve adalah teman masa kecil sekaligus satu-satunya wanita yang ingin ia nikahi di usia dewasa.
Apa yang akan Arsen lakukan selanjutnya? Mampukah Eve memaafkan Arsen dan menepati janji masa kecil mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KidOO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Aku Mencintaimu
Senin pagi di bulan Agustus.
Eve mematut diri di depan cermin. Polesan make up tipis menambah kesan segar dan menawan di wajahnya yang tirus. Wanita itu menghela napas berat, ia paksakan bibir tersenyum demi menghibur hati yang lara.
Tangannya menyambar clutch putih lalu ia pun turun dari kamar luas, kamarnya dan Arsen setelah mereka menikah. Di bawah, ia hanya berpamitan pada kedua mertua tanpa mengisi perut.
"Eve berangkat, Bunda," ujarnya setelah mencium takzim tangan wanita paruh baya yang terlihat lelah.
"Iya, Sayang."
Diantar salah satu sopir, Eve menuju rumah sakit. Ini adalah rutinitasnya sebulan terakhir, sejak Arsen dinyatakan koma. Pria itu hanya terbaring dan menutup mata. Hidupnya ditunjang oleh ventilator dan beberapa alat medis lainnya.
"Pagi, Hubby," sapa Eve ketika memasuki ruangan Arsen. Ia segera mengganti bunga peony yang telah layu lalu duduk di kursi samping ranjang.
"Arsen, bangun yuk. Aku mau kita sarapan sama-sama," ucap Eve pada keheningan.
Ia pandangi wajah pria yang telah sah menjadi suaminya. Wajah yang sedikit pucat dan tampak tertidur pulas.
"Memangnya kamu tidak bosan tidur terus?" lanjut Eve seraya menggengam tangan dingin pria itu.
Seperti hari-hari sebelumnya, Arsen tidak memberi respon. Dokter juga tidak bisa menentukan sampai kapan Arsen akan berada di fase ini. Tuan Thomas juga telah berkonsultasi pada kawan dokter di luar negeri, tapi jawaban yang ia dapat tetap mengecewakan.
"Bulan depan Jenna menikah di Bali. Kamu mau temani aku datang, 'kan?"
Eve memindai wajah Arsen. Ia merindukan senyum Arsen dan bagaimana cara pria itu menatapnya.
Sementara itu di luar bangunan rumah sakit besar itu, satu sosok dengan hoodie dan topi hitam baru turun dari taksi. Netranya menatap nyalang pada satu arah, pintu masuk utama rumah sakit.
Sosok yang tak lain adalah Melanie berjalan dengan langkah pasti. Wanita itu baru beberapa hari keluar dari penjara atas bantuan pengacara keluarganya. Tapi hal itu tak membuatnya jera sedikitpun. Kebencian pada Arsen dan Rico semakin besar dan kuat.
Menurut sumber yang dapat dipercaya, Arsen Malvory saat ini sedang terbaring koma di rumah sakit setelah mengalami kecelakaan. Melanie cukup senang mendengar kabar itu, tapi ia belum puas jika dua putra Keluarga Malvory masih hidup.
Melanie telah membayar mahal seseorang untuk mengawasi pergerakan di keluarga kaya itu, bahkan ia mampu mengetahui di mana letak kamar Arsen tanpa harus bertanya pada petugas.
Dengan mudah Melanie mencapai kamar VVIP di lantai tiga. Suasana yang hening membuatnya yakin aksinya kali ini akan berhasil. Namun ia tidak tahu jika Arsen tidak sendirian. Terdapat Eve yang tengah duduk di samping ranjang.
Melanie berbalik cepat. Sepertinya Eve tidak sampai melihatnya. Tapi benarkan? Apapun itu kini ia harus mencari waktu yang lebih tepat.
**
Rico membuang napas berat. Entah sudah berapa kali dalam beberapa jam terakhir. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang, waktu makan siang sudah terlewat tapi ia enggan beranjak dari kursi.
Diambilnya ponsel dari kantong. Benda tipis itu mati. Bukan karena habis daya melainkan Rico sendiri yang memutuskan untuk mematikan ponsel mahal belasan juta itu sejenak. Ia kesal pada nomor-nomor asing yang datang memberi ancaman melalui pesan maupun chat.
Percuma saja Rico memblokir, akan datang pesan tak pantas dari nomor baru keesokan harinya. Ini telah berlangsung sejak seminggu yang lalu. Rico yang harus memikirkan urusan kantor dan keadaan Arsen tak memiliki waktu untuk menanggapi orang-orang iseng semacam itu. Rico menghidupkan ponsel itu karena khawatir ada pesan penting.
Terdapat beberapa notifikasi juga pesan masuk di aplikasi berlogo hijau. Dengan malas Rico membukanya. Pria itu memandang datar layar ponsel hingga menemukan nomor tidak dikenal mengirim sebuah foto.
'Lihat, siapa yang bersamaku sekarang?' tulis pesan yang menyertai foto.
Hawa dingin tiba-tiba menjalar di tengkuk Rico. Orang yang mengancamnya mengirim foto Arsen yang masih tergolek lemah tak berdaya. Rico bergerak cepat meninggalkan ruangannya sembari berusaha menghubungi Eve. Ia sangat berharap Eve masih ada di samping Arsen karena terakhir mereka bertemu pagi tadi saat wanita itu mengatakan akan ke rumah sakit.
"Pak, sebentar lagi-" Ucapan Bulan, si sekretaris Rico terpotong melihat pria itu berjalan tergesa tanpa menoleh sama sekali.
Rico tak lagi peduli pada meeting sesaat lagi. Baginya yang terpenting sekarang adalah keselamatan Arsen. Ia la lajukan mobil dengan kecepatan penuh. Pria itu nyaris melempar ponsel karena Eve tak kunjung mengangkat telepon darinya.
"Tolong, jangan lagi terjadi hal buruk. Tolong ...." Berulang Rico mengucapkan hal yang sama.
Lima belas menit kemudian Rico sampai. Waktu yang cukup cepat mengingat jarak kantor dan rumah sakit sekitar belasan kilometer. Dengan perasaan khawatir yang memenuhi rongga dada, Rico langsung menuju kamar Arsen.
Brak!
"Rico?" Eve yang kebetulan akan keluar tampak terkejut.
"Eve, bagaimana Kak Arsen?" tanya Rico cepat.
"Masih sama seperti sebelumnya. Kamu kenapa?" Eve memandangi wajah adik iparnya dengan heran. Tampak jelas jika Rico tengah risau ditambah keningnya yang berkeringat.
"Kita bicara di luar," ajak Rico setelah memandang Arsen sekilas.
Dua orang itu duduk di satu kursi tunggu panjang. Membuat jarak pada satu tempat. Eve menunggu apa yang akan Rico sampaikan tapi pria itu diam. Menetralkan detak jantung.
"Apa ada yang terjadi di kantor?" tanya Eve akhirnya.
"Tidak ada. Urusan kantor berjalan lancar. Aku cuma khawatir pada keadaan kakak," jawab Rico lesu.
"Aku mengerti tapi kita hanya bisa berdoa. Meskipun dokter sudah angkat tangan, aku yakin masih ada harapan." Eve tersenyum sambil menatap ke depan.
Rico sedikit menoleh pada wanita itu. Aura positif dari Eve seolah tersalurkan padanya. Ia yakin Eve pasti juga sedih akan kondisi Arsen tapi bibir cantik itu tak henti menguatkan anggota Keluarga Malvory yang lain tentang kondisi Arsen.
"Tadi aku lihat jarinya bergerak, karena senang aku langsung memanggil dokter. Tapi katanya itu hal yang biasa terjadi pada pasien koma. Dua jam kemudian aku merasa Arsen membelai rambutku. Ternyata mimpi, aku tertidur sambil duduk," ujar Eve lalu tertawa kecil.
Di tengah percakapan, seorang perawat berjalan di depan mereka. Tatapan Rico mengikuti langkahnya dan ternyata perawat dengan wajah tertutup masker itu memasuki ruangan Arsen. Eve masih asyik berbicara tak menyadari Rico yang tidak lagi fokus padanya.
Beberapa menit berlalu, perawat itu tak kunjung keluar. Rico yang curiga bangkit hendak memeriksa. Eve ikut berdiri saat dari dalam terdengar suara yang cukup nyaring.
Pranngg!
Rico dan Eve saling pandang lalu beralih cepat menuju ruangan dengan pintu tertutup. Di dalam mereka mendapati si perawat berseragam pink sedang merapikan nampan khusus yang terjatuh dan isinya berserakan di lantai.
"Mari saya bantu," tawar Eve yang langsung mendekat. Perawat itu tak bersuara dan hanya mengangguk.
Rico memicingkan mata, merasa mengenal mata milik si perawat. Ya, mata itu terasa tidak asing. Namun belum sempat Rico menemukan jawaban, sebuah suara panjang terdengar. Suara yang menunjukkan jika detak jantung Arsen terhenti.
"Arsen! Rico, panggil dokter!" seru Eve meski tangannya telah memencet tombol khusus di dekat ranjang Arsen.
**
Eve mamandang pantulannya yang tampak memilukan. Make up tipisnya telah luntur sejak beberapa saat lalu karena air mata tak mau berhenti. Sabrina yang berdiri di samping telah kehabisan kata-kata untuk menghiburnya.
"Sudah ya, Eve, sabar. Jangan nangis lagi, Arsen di sana pasti sedih kalau tahu kamu seperti ini," ujarnya dengan tangan mengusap punggung wanita itu. Namun alih-alih menjadi tenang, Eve makin keras menangis.
"Dia bahkan gak peduli, dia dengan mudahnya pergi gitu aja," gumamnya di sela tangisan. Dress hitamnya telah kusut sejak tadi.
"Iya, aku paham kamu sedih. Kalau aja dia di sini, aku akan kasih dia pelajaran," rutuk Sabrina tapi detik berikutnya dia terdiam menyadari tak seharusnya berkata demikian pada Eve.
Brakk!
Pintu kamar Eve terbuka, menampilkan sosok pria yang tersenyum lebar dan membuka tangan. Eve seharusnya senang, tapi tangisnya yang sempat terjeda kini terdengar kembali.
"Maaf, Princess, aku terlambat ...." Arsen menghampiri sang istri dan melabuhkan kecupan lembut di pucuk kepala wanita itu.
"Kamu udah tahu hari ini ulangtahun pernikahan kita tapi kenapa justru sibuk bertemu klien?" protes Eve kesal.
"Iya, iya, maaf. Meeting-nya sudah selesai. Ayo kita turun," ajak Arsen. Sejenak pria itu menatap Sabrina yang hanya diam memperhatikan.
"Rico menunggumu di bawah," ujar Arsen pada wanita itu.
"Okay aku turun, lagian capek juga lihat drama," ucap Sabrina acuh.
"Briii!" seru Eve yang mendengarnya.
"Duh, sorry. Begitu aja marah. Bumil, bumil ...." timpal Eve lalu keluar dan menutup pintu kamar kembali.
Tersisa Arsen dan Eve di kamar mereka. Arsen menangkupkan kedua tangan di pipi Eve. Hari ini tepat setahun pernikahan mereka. Arsen bersyukur masih diberi kesempatan.
Hari itu saat Eve dan Rico mengira jantungnya berhenti, sebenarnya ia telah tersadar. Hanya saja ia ingin melihat apa yang akan perawat gadungan itu lakukan padanya. Perawat yang ternyata adalah Melanie berniat melepas selang oksigennya.
"Hati-hati," ujar Arsen saat membantu Eve bangun dari kursi. Istrinya yang tengah hamil tiga bulan itu semakin sensitif dan mudah menangis.
"Mana bunga pesananku?" tanya Eve sambil menggelayut di lengan kekar Arsen.
"Bunga? Memangnya tadi kamu pesan bunga?"
"Pasti lupa," sungut Eve.
"Mana mungkin aku lupa, buket peony putih yang segar ada di bawah." Arsen menjawil ujung hidung Eve gemas.
Eve tersenyum kegirangan. Hari ini adalah hari bahagia bukan hanya untuk Eve dan Arsen melainkan seluruh anggota Keluarga Malvory. Itu karena pertunangan Rico dan Sabrina akan dilaksanakan hari ini juga. Entah siapa yang memulai, yang jelas keduanya setuju saat orang tua mereka mengusulkan perjodohan.
"Princess," panggil Arsen ketika mereka hampir mencapai tangga.
"Hm?" Eve menoleh dan tersenyum.
"Aku mencintaimu ...."
****
End
jodoh pasti bertemu dan gak pernah salah