Keberanian Dila, seorang gadis tunarungu yang menolong pria tua penuh luka, membawanya pada nasib cinta bagai Cinderella untuk seorang anak pungut sepertinya.
Tuduhan, makian, cacian pedas Ezra Qavi, CEO perusahaan jasa Architects terpandang, sang duda tampan nan angkuh yang terpaksa menikahinya. Tak serta merta menumbuhkan kebencian di hati Dilara Huwaida.
"Kapan suara itu melembut untukku?" batinnya luka meski telinga tak mendengar.
Mampukah Dila bertahan menjadi menantu mahkota? Akankah hadir sosok pria pelindung disekitarnya? Dan Apakah Dila mempunyai cerita masa lalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Qiev, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35. MULAI GOYAH
Ternyata, hatiku tak sesiap itu.
"Dila," Ezra memanggil istri kecilnya.
Dila berpura tak mendengar. Jantungnya mulai berdegup tak beraturan. Bayangan kejadian semalam membuatnya sedikit malu berhadapan dengan Ezra.
"Nyonya," Rolex mengejar Dilara yang hendak mencapai pintu.
Gadis ayu yang wajahnya terlihat sedikit lesu karena kurang tidur pun menahan langkah melihat Rolex berdiri di hadapannya.
"Bos, memanggil Anda," Rolex mengeluarkan catatan dari saku jasnya, menulis agar Dila membaca.
Nyonya muda El Qavi berbalik badan menghadap ke arah Ezra. Kemudian ia mendekat.
Ezra tengah menulis sesuatu di atas selembar kertas. Dilara menunggu sehingga keheningan menguar, membuat Rolex memilih menghindar dan keluar ruangan sejenak.
Ia pikir, kedua majikannya butuh ruang untuk bicara hal pribadi.
Dila masih berdiri kala tangan kanan yang terbalut jas abu tua itu terjulur memberikan selembar kertas padanya.
Gadis berhijab navy dengan renda putih mengelilingi sisi tudung kepalanya, menerima apa yang Ezra berikan. Ia membaca tulisan tangan sang suami.
"Terimakasih, tadi malam kau merawat ku. Aku hanya mabuk karena tidak terbiasa minum khamr, dan semalam kecolongan. Demam adalah reaksi yang tubuhku berikan. Lain kali, jangan khawatir."
"Apabila suatu saat terjadi lagi hal demikian dan Rolex meminta padamu agar melakukan sesuatu untukku, jangan di turuti."
"Menjauhlah dariku, Dila. Aku gak mau kamu terpaksa atau terjebak rasa karena teringat, terikat akan kewajiban sebagai istri. Aku membebaskanmu dari segala kewajiban yang semestinya."
"Jika bisa. Tak perlu menampakkan diri di hadapanku agar kamu aman. Maaf semalam sudah kasar dan hampir melanggar janjiku."
Dilara huwaida, membaca tulisan panjang yang di torehkan suaminya. Sebuah kalimat tegas di paragraf akhir mengapa sedikit melukainya.
Tangan kurus itu meraih pulpen yang Ezra sodorkan padanya.
"Maaf Tuan, aku hanya terkejut. Bukan merasa terpaksa apalagi terjebak karena kewajiban."
"Tuan tak sudikah melihatku di sini? jika iya, aku akan pindah atas izin Tuan." Dila membalas kalimat Ezra.
"Bukan, semua ku lakukan agar kamu aman. Aku gak tahu kejadian serupa akan terulang kembali atau tidak. Lebih baik seperti itu."
"Baik, jika itu keinginan Tuan. Maaf jika semalam aku sudah lancang berada di sana dan menolak Anda," Dilara kembali menulis kalimat panjang.
Kali ini entah mengapa sangat berat saat menorehkan tinta, beberapa minggu berada di sekitar lelaki itu dan mulai terbiasa melayani semua kebutuhannya membuat Dila bahagia.
Ada tempat baginya untuk berbakti sekaligus membalas budi baik. Sosok Ezra yang terkadang acuh, perhatian, cuek bahkan cenderung kasar padanya tak serta merta membuat Dila membenci.
Justru dia semakin merasa nyaman berada di sekitarnya. Entah dirinya bodoh atau terlalu naif.
"Hatiku, sakit," batin Dila.
Sementara Dila menulis, Ezra diam melihat wajah ayu yang terlihat lelah.
"Maaf ya Dila, hatiku belum siap." Ezra berucap dalam hati.
Dilara meletakkan kertas itu di atas meja, setelah menyelesaikan kalimatnya.
Blugh.
"Ini uang untuk kebutuhanmu dan rumah ini. Kau yang mengaturnya," ujar Ezra.
Dila terkejut atas suara gaduh yang di timbulkan.
"Ambillah."
Menantu El Qavi ini hanya diam, tak berani. Ia pun meraih pulpen kembali.
"Aku masih punya uang sendiri, Tuan. Dan In sya Allah cukup untuk memenuhi kebutuhanku, terimakasih. Jika untuk masalah rumah, sebaiknya Anda menyerahkan pada Bibi. Beliau lebih paham dari aku."
Nyonya muda yang hanya di atas kertas itu, membungkukkan tubuhnya sebelum meninggalkan Ezra.
Gadis itu keluar dari ruang kerja Ezra dengan wajah sendu. Menunduk sepanjang langkah menuju kamarnya.
Rolex tahu, sang Nyonya muda telah dapat mendengar kembali. Ia meminta anak buahnya mencari tahu ke rumah sakit dan mendapatkan bukti bahwa Nyonya mereka membeli dua buah alat bantu pendengaran dengan uang pribadinya.
"Nona, semoga hatimu seluas samudera. Tuan Ezra sesungguhnya pribadi yang lembut hanya saja trauma berat menghantui hatinya. Teguhlah demi Tuan, jangan tinggalkan beliau," gumam Rolex, ia serba salah sehingga hanya hal kecil yang bisa dia lakukan sementara ini, menjaganya dari kejauhan tanpa Ezra ketahui.
Dila masuk ke kamarnya. Melepas semua alat bantu dengar yang dikenakan. Ia menangis.
"Apakah aku sudah jatuh cinta padanya? mengapa penolakannya terasa sakit. Aku sangat menantikan bagaimana suara milik suamiku."
"Suara yang aku damba, namun sekaligus menoreh luka saat pertama kali mendengarnya...."
Bi Inah mendengar isakan sang Nyonya muda. Hatinya ikut merasa sakit, meski tak mengetahui perihal sesungguhnya namun ia bisa merasakan bahwa keduanya mulai nyaman dengan kehadiran masing-masing.
"Sabar ya Dila. Nak Ezra itu hanya butuh waktu untuk kembali membuka hati." Bi inah hanya bisa membatin, mengusap pelan daun pintu kamar majikan kecilnya.
*
Setelah kejadian hari itu, Dila giat membenahi diri. Ia intens belajar pelafalan kata dan mengerjakan semua proyek translate naskah.
Dila di terima bekerja sebagai freelance translator masa percobaan tiga bulan sebelum menjadi staff online translator muda di perusahaan yang berbasis di USA namun memiliki kantor cabang di Jakarta bernama Intermedia Translation.
Mulai bulan ini pun, ia rutin menghubungi ibundanya melalui ponsel Mahira meski tak setiap hari, namun Dila bahagia.
*
Dua bulan berlalu.
Ezra sudah tiga hari ini bekerja dari rumah. Ia hampir tak pernah melihat istri kecilnya sejak hari itu. Inginnya bertanya pada Bibi, apakah gadis itu baik saja namun enggan.
Siang hari.
Saat Bibi sedang mengambil sesuatu di lantai dasar. Dila tak mengetahui bila Ezra ada di rumah siang itu.
Ia pergi ke dapur membuat es sirup apel kesukaannya karena merasa hari ini sangat terik meski kamarnya dilengkapi kipas angin.
Sementara penghuni lainnya, sangat penat akibat streaming meeting dengan staff di Surabaya. Ezra pun ke dapur berniat meminta Bi Inah membuatkan kopi namun tanpa di duga justru melihat gadis yang ia cari.
Ezra diam, berdiri di belakang Dila. Senyumnya terbit, tanpa ia sadari.
"Alhamdulillah kamu sehat. Aku happy."
Gadis peka itu menyadari ada seseorang dibelakangnya. Dila membalikkan badannya tiba-tiba.
"Ahh," pekik Dila.
Isi gelas yang ia pegang, tumpah mengenai baju Ezra. Tangannya menahan agar gelas tak jatuh.
Pria tampan itu terkejut karena dingin menembus kulitnya.
Dila sigap meletakkan gelas lalu meraih tisu agar basah dan noda minuman tak meninggalkan bekas di baju majikannya.
"No, Dila. Biar aku," seru Ezra menahan jemari Dila, ia menggenggamnya. Menunduk menahan kedua tangan mungil yang sedikit menambah sensasi aneh akibat menyentuh dadanya yang basah.
Nyonya muda El Qavi yang kondisi jantungnya sudah berdegup kencang akibat terkejut dibuat makin panas dingin saat tangan kekar Ezra menggenggamnya.
Dilara menengadahkan kepala bermaksud meminta Ezra melepaskan cekalan tangannya.
C-up.
Satu menunduk, satu menengadah. Tanpa diduga, bibir keduanya bertemu.
Ezra reflek. Ia menahan tengkuk Dila, mencecapi perlahan dengan lembut benda kenyal yang tanpa sengaja menempel.
Dila menegang. Tubuhnya kaku, otaknya berhenti bekerja. Inginnya berontak namun ia merasa lunglai.
Manis. Milikku.
Sekuat tenaga Dila mendorong tubuh kekar yang menempel, lalu berlari masuk ke kamarnya meninggalkan minuman kesukaan yang ia buat, begitu saja.
Ezra, kembali menyadari kesalahannya.
"Dila, Dila ... maaf, Dila."
.
.
..._________________________...
...❤ thanks support kalian, luv kesayangan...