Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Tapi kini suara itu berbeda. Suara Aditya lebih terdengar intim, dekat dan bercampur dengan tarikan napas yang membuat tubuh Alisha membeku. Tak lama kemudian suara Reina terdengar lagi yang kali ini terdengar lebih tinggi, terdengar menggoda, terdengar seolah Reina sedang tenggelam dalam sesuatu yang tidak seharusnya Alisha dengar.
Alisha merasakan perutnya terpelintir. Seakan tubuhnya ditampar oleh kenyataan.
Suaminya—Aditya Pratama Wiranegara, laki-laki yang seharusnya datang ke kamarnya, tidak hanya tidak datang menemuinya tapi ia memilih pergi ke kamar perempuan lain.
Alisha bukan sekadar berdiri di sana. Ia mendengar semuanya apa yang sedang dilakukan oleh Aditya dan juga Reina. Dan itu lebih dari cukup untuk membuat hatinya runtuh. Dengan tangan yang gemetar, Alisha menggenggam gagang pintu. Ia mencoba memutarnya, hanya untuk memastikan apakah pintunya dikunci atau tidak.
Tapi ternyata pintunya tidak dikunci. Alisha merasakan tubuhnya serasa berhenti bernapas.
Mengapa tidak dikunci? Mengapa Aditya begitu tidak berhati-hati? Darimana mereka punya keberanian ini? Atau apakah Aditya tahu ia tidak akan datang?
Alisha membuka pintu perlahan. Cahaya lembut dari kamar pengantin Reina menyambutnya. Aroma melati menguar kuat.
Kelopak mawar berserakan di lantai sementara tirai putih bergoyang kecil, membuat cahaya memantul seperti alunan air.
Dan di tengah ruangan itu, di atas ranjang besar dengan sprei putih berhias mawar merah, Alisha melihat dua sosok itu.
Reina dan Aditya.
Tidak berjarak, Tidak mengenakan apa pun, Tidak menyisakan ruang di antara tubuh mereka.
Aditya berada di atas Reina, tubuhnya membungkuk, wajahnya tenggelam di leher istrinya itu. Sementara tangan Aditya memeluk pinggang Reina dan membuat rambut Reina berantakan di atas bantal dengan gaun tidurnya yang kini sudah tidak lagi menutupi tubuhnya.
Reina melengkungkan tubuhnya keatas, tangan kecilnya memeluk bahu Aditya.
Wajahnya memerah, matanya terpejam erat, napasnya terputus-putus. Dan ketika Aditya mengangkat wajahnya sedikit untuk memandangnya, bibir merah Reina kembali memanggil namanya dengan suara yang nyaris seperti bisikan memabukkan.
“Adityaaa…”
Aditya menunduk lagi untuk mencium bibir istrinya itu dalam ciuman yang intens dan dalam, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Alisha membeku di ambang pintu.
“Tidak…” bisiknya lirih.
Namun suaranya tenggelam oleh suara lembut Reina yang kembali memanggil nama suaminya—nama lelaki yang seharusnya memanggil dirinya malam ini.
“Aditya…”
Rasa sakit itu menyerang seluruh tubuh Alisha. Seluruh kebenaran itu terpampang tanpa kata. Tanpa perlu penjelasan. Tanpa perlu pengakuan.
Aditya memilih Reina, Bukan dirinya di malam pertama mereka sebagai suami istri.
Tubuh Alisha goyah. Ia memegang kusen pintu agar tidak jatuh. Matanya terasa panas. Ada rasa perih yang naik dari dada ke tenggorokannya.
Ia tidak yakin apakah ini mimpi atau kenyataan yang paling kejam. Namun adegan di hadapannya tidak bisa dibantah.
Sementara di atas ranjang, tanpa menyadari pintu yang terbuka maupun keberadaan Alisha yang memperhatikannya, Aditya menarik tubuh Reina ke dalam pelukannya lebih dalam lagi. Nafas keduanya bercampur satu sama lain, suara halus Reina menggema lembut, dan kamar itu menjadi saksi bahwa hubungan mereka sudah melewati batas yang tidak bisa ditarik kembali.
Dan Alisha berdiri di sana sebagai saksi yang terlambat satu langkah. Saksi bahwa suaminya tidak pernah benar-benar menjadi miliknya. Saksi bahwa dirinya telah kalah sebelum ia sempat berperang.
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/