Gracia Natahania seorang gadis cantik berusia 17 tahun memiliki tinggi badan 160cm, berkulit putih, berambut hitam lurus sepinggang. Lahir dalam keluarga sederhana di sebuah desa yang asri jauh dari keramaian kota. Bertekad untuk bisa membahagiakan kedua orang tua dan kedua orang adiknya. Karena itu segala daya upaya ia lakukan untuk bisa mewujudkan mimpinya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rachel Imelda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diterima
Di Indonesia
Juna sedang mengecek email di ruang kerjanya ketika notifikasi ponselnya berdering. Nama Cia muncul, dan Juna tahu, ini adalah jawaban yang ia tunggu. Ini adalah hari kelima, dua hari lebih awal dari janji Cia.
Juna menelan ludah, detak jantungnya kembali tak karuan.
Dia membuka pesan Cia.
Juna memegang ponselnya dengan kedua tangan, seolah benda itu terbuat dari kaca yang rapuh. Dia membaca pesan Cia, perlahan, dua kali, memastikan matanya tidak salah.
Pesan Cia berbunyi:
"Mas Juna, Aku sudah memikirkan jawabannya. Kejadian hari ini membuat aku semakin yakin. Aku butuh orang yang mendukungku untuk maju, bukan menarikku pulang. Jadi...Ya Aku mau."
"Aku mau jadi calon istri Mas Juna. Aku janji, Aku akan jadi pendamping hidup Mas Juna setelah selesai studiku di sini. Jaga dirimu, Mas. Dan tolong jaga janji Mas Juna untuk selalu menungguku, ya. Aku mencintai Mas Juna."
Napas Juna tercekat. Sebuah tawa kecilnya, disusul isakan pendek, keluar dari tenggorokannya. Dia berhasil. Setelah semua keraguan, penolakan, dan jarak, Cia menjawab, Ya.
Air mata haru menggenang di mata Juna. Ia tidak pernah merasa kegembiraan yang begitu murni, yang melingkupi dirinya dari kepala hingga ujung kaki. Ini bukan tentang uang atau proyek, ini tentang hati dan masa depannya.
"Ya..." bisik Juna, menggenggam ponselnya etat-erat. "Dia bilang ya, dia bilang ya!"
Ia melompat dari kursinya, keluar dari ruang kerjanya.
"Mami, Mami!" teriak Juna. Mami Dina yang sedang menyiram bunga, menoleh kaget. "Ada apa sih Jun? Ada kebakaran?"
Juna meraih tangan Maminya, menari-nari kecil di halaman. "Bukan, Mami. Juna sudah diterima. Cia bilang dia mau menikah sama Juna! Setelah Dia pulang nanti!"
Mami Dina terbahak-bahak, "Ya Ampun, Jun. Syukurlah. Mami senang banget dengarnya. Sudah, jangan berputar-putar lagi, nanti jatuh."
"Aku bahagia banget, Mi." Kata Juna, matanya bersinar menggambarkan betapa bahagianya dia.
Mami Dina menggeleng-gelengkan kepalanya. Selama ini banyak gadis-gadis cantik dan kaya yang mengejar-ngejar dia, tapi dia tidak sukacita seperti ini. Sukacitanya melebihi ketika menang tender milyaran Rupiah.
************
Satu Jam Kemudian di Tokyo....
Di sebuah hotel bintang lima di Shinjuku, suasananya jauh lebih suram. Dani membanting tas bermerknya ke atas tempat tidur, lalu melemparkan jas mahalnya. Nyonya Sinta meneguk segelas air dingin untuk meredakan kemarahannya.
"Beraninya dia! Dia mempermalukan kita di depan pelayan asrama itu! Dengan bahasa Jepang, Sok pintar itu!" sembur Nyonya Sinta.
Dani duduk di tepi kasur, wajahnya gelap. "Cia sudah berubah, bu. Dia bukan lagi Cia yang penurut."
Penurut, katanya? Gak salah? Bukankah sejak dulu memang Cia gak pernah suka apalagi menurut padanya? Apa Dani lupa hidungnya pernah dipatahkan Juna karena membela Cia yang di ganggu oleh Dani. Cia gak pernah mau menurut sama Dani. Kayaknya yang dipatahkan Juna bukan cuma hidungnya Dani saja. Tetapi otaknya juga ikut geser. Hahahaha.
Bahkan Otak Nyonya Sinta juga ikut geser, mau-maunya ikutin kemauan bodoh anaknya.
"Ibu gak peduli, dia berubah atau tidak. Dia adalah istri masa depanmu! Kita sudah menginvestasikan banyak waktu dan uang untuk ini, Kamu harus dapatkan dia," desak Nyonya Sinta.
"Bagaimana caranya, Bu?" Cia gak mau ketemu sama aku." kata Dani frustrasi.
Kembali ke Waseda...
Cia duduk di perpustakaan, ponselnya bergetar. Dia meraih ponselnya dan melirik ke layar ponselnya yang menampilkan notifikasi dari Juna.
"Aku akan jaga janji ini seumur hidupku, Sayang. Sampai jumpa di hari kelulusanmu. Sekarang fokuslah pada studimu. Aku mencintaimu."
Cia tersenyum, menyentuh layar. Rasa syukur membanjirinya, dia telah mengamankan hatinya dan masa depannya.
*********
Setelah melompat-lompat kegirangan, berbagi kebahagiaan dengan Mami Dina dan Mbok Lia, Juna merasa ada satu orang lagi yang harus ia beritahu: Papa Hartono.
Malam itu Papa Hartono sedang duduk di ruang kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen. Beliau menoleh saat pintu diketuk dengan tidak sabar.
"Masuk, Juna. Ada apa? sudah tidak muram lagi mukanya," sapa Pak Hartono, menatap anaknya yang kini berdiri tegak dengan senyum lebar, jauh berbeda dari Juna yang ia lihat saat sarapan tiga hari yang lalu.
Juna berjalan masuk, tidak bisa menahan gelombang kegembiraan.
"Pa," kata Juna, suaranya terdengar tebal karena menahan haru. "Cia... Cia sudah kasih jawaban, Pak. Hari ini."
Papa Hartono meletakkan penanya. Ekspresinya masih tenang, tetapi ada sinar antisipasi di matanya. "Oh ya? Cepat sekali? Bagaimana bisa?"
"Dia bilang...dia bilang 'Ya' Pa," ujar Juna. Dia duduk di hadapan Papanya, tidak bisa berhenti tersenyum. "Dia bilang dia maju jadi pendamping hidupku setelah dia selesai kuliah nanti. Dia janji, Pa."
Ada keheningan singkat. Papa Hartono menatap Juna dalam-dalam, lalu ia tersenyum tipis. Senyum itu jarang ia tunjukkan, dan bagi Juna, senyum itu terasa lebih berharga daripada pujian apapun.
"Bagus," kata Papa Hartono singkat, tapi penuh makna. "Itu berarti kamu telah membuktikan diri, Juna. Kamu mendengarkan nasihatkan untuk fokus pada pekerjaanmu, dan bukan hanya duduk menunggu tanpa kepastian."
Papa Hartono kemudian tersenyum, "Berarti sekarang fix, Papa udah punya anak mantu nih?"
"Iya Pa, aku bahagia banget." kata Juna. "Kalo gitu aku kembali ke ruang kerjaku dulu ya, Pa." Papa Hartono menganggukkan kepalanya, Juna kemudian pergi meninggalkan Papanya.
Malam itu, Juna kembali ke ruang kerjanya. Pikirannya tidak lagi dipenuhi kekhawatiran. Kekosongan yang ia rasakan selama tiga hari telah digantikan oleh tujuan yang jelas. Dia memandang desain 3D Rumah Matahari Terbit di layarnya. Itu bukan lagi proyek, melainkan janji, batu fondasi dari masa depan yang telah ia kunci bersama Cia.
Ia mengambil ponselnya lagi, mengirim satu pesan untuk Cia sebelum kembali larut dalam pekerjaannya.
Di Tokyo, Asrama Waseda.
Ponsel Cia bergetar lagi di meja belajarnya. Ia baru saja selesai membaca ulang catatan Akari. Ia tersenyum saat melihat pesan dari Juna.
Juna : Aku sudah bilang sama Papa dan Mami. Mereka bahagia sekali. Papa bilang, kamu adalah pilihan yang tepat. Aku akan jaga janji ini seumur hidupku, Sayang. Sampai jumpa di hari kelulusanmu. Sekarang fokuslah pada studimu. Aku mencintaimu.
Cia mengetik balasan, matanya memancarkan rasa syukur.
Cia : Aku juga cinta kamu, Mas Juna. Sekarang Aku janji, tidak ada lagi 'bucin' sampai tugasku selesai di sini. Aku akan belajar sungguh-sungguh untuk masa depan kita. Kamu juga ya, fokus kerja. Jangan khawatirkan aku. Aku akan jaga hati. Sampai jumpa di hari wisuda."
Cia mengunci ponselnya, meletakkannya terbalik di laci Keputusan telah dibuat. Hatinya aman. Pikirannya tenang. Kini, hanya ada satu hal yang tersisa di depannya: buku-buku tebal, kanji yang rumit, dan perjalanan akademisnya di Waseda.
Ia membuka buku pengantar Studi Asia, menghela napas panjang, dan mulai belajar.
Di hotel mewah Shinjuku.
Nyonya Sinta sedang menelpon seseorang dengan suara tertahan. Dani duduk diam, menatap kosong keluar jendela, ke arah lampu-lampu gemerlap Tokyo yang seharusnya menjadi panggung kemengannya.
Tidak, dia menolak kami, benar-benar menolak!" bisik Nyonya Sinta di telepon. Kami harus memikirkan rencana B. Pokoknya Dani harus mendapatkan Cia. Kami tidak akan pulang dengan tangan kosong..."
*********
Desa Swadaya...
Di desa Swadaya, hidup berputar lebih lambat, berbeda dengan kesibukan Tokyo dan Jakarta. Udara pagi masih membawa aroma embun dan tanah basah.
Ayah Beny yang kini tampak lebih tenang setelah mendengar kabar bahwa Cia baik-baik saja, sedang duduk di bale-bale bambu yang ada di halaman rumah sederhana mereka. Ia menyesap kopi hitam sambil memandangi taman kecil apotik hidup yang ada di halaman rumah mereka. Sedangkan Ibu Marni sedang menyiapkan bahan-bahan untuk kue-kuenya.
"Wajah Ayah kelihatan cerah sekali, Cia baik-baik saja kan?" tanya Ibu Marni.
Ayah Beny mengangguk, kemudian meletakkan cangkirnya. " Iya, Bu. Tadi malam dia mengirimkan foto tumpukan buku yang tebal. Katanya pusing dengan huruf Jepang, tapi dia senang. Dia sudah punya teman baik, yang membantunya belajar."
"Syukurlah, itu yang ibu harapkan. Cia memang anak yang kuat, dia pasti bisa.
Apa dia juga membicarakan tentang Juna? katanya mereka sudah resmi berpacaran. Ibu gak mau hal itu mengganggu konsentrasi belajarnya."kata Ibu Marni.
"Juan? Tidak kok. Kata Cia Juna gak pernah ganggu malahan Juna selalu mengirimkan pesan-pesan agar Cia semangat menjalani studinya sampai selesai dengan baik." Kata Ayah Beny, sambil kembali menyesap kopinya hitamnya.
Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Dari balik pintu, Rina, si kembar sulung keluar dengan wajah di tekuk.
"Ayah, Ibu, Rina...Rina mau minta maaf," kata Rina menundukkan kepalanya merasa sangat bersalah.
"Minta maaf? Emang kamu ada buat salah apa sama Ayah dan Ibu, Rina?" tanya Ibu Marni menyelidik.
Rino yang sedang memainkan miniatur mobil dari kayu bersuara, "Itu bu, Rina kasih tau alamat asramanya Kak Cia sama Kang Dani. Makanya sekarang, Kang Dani sama Nyonya Sinta lagi ke Jepang katanya mau nyusul Kak Cia."
Ayah Beny dan Ibu Marni terkejut, "Kamu kasih alamat asramanya Kak Cia ke Dani?" tanya Ibu Marni.
Bersambung....