NovelToon NovelToon
Shadow Of The Seven Sins

Shadow Of The Seven Sins

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Anak Yatim Piatu / Epik Petualangan / Dunia Lain
Popularitas:633
Nilai: 5
Nama Author: Bisquit D Kairifz

Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.

suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.

apa yang menanti anzu didalam portal?

ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.

ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gereja misterius

Kerajaan Celestia — Satu Bulan yang lalu

Ruangan kerajaan Celestia dipenuhi cahaya keemasan dari pilar kristal yang menjulang.

Ruangan itu luas, tenang, namun memancarkan tekanan yang tak kasat mata—tekanan dari tahta tertinggi di benua itu.

Di atas singgasana perak berhias lambang matahari suci, Raja Rodrigo Emmilion duduk dengan posisi santai namun berwibawa.

Tangan kirinya bermain lembut dengan gelas anggur merah yang berputar pelan. Senyumnya tipis—senyum menunggu sesuatu terjadi.

Di hadapan beliau berdiri tujuh sosok berzirah putih keperakan, masing-masing memancarkan aura suci yang berbeda. Namun tak satu pun menampakkan wajahnya sepenuhnya, kecuali satu orang.

Tristan, Ksatria Luminari Diligence.

Sosok setia, tegap, bersih dari keraguan.

Sisanya… enam orang lain berdiri diam seperti patung hidup. Identitas mereka tertutup jubah dan helm, hingga hanya inisial yang tercetak pada lambang di bahu mereka:

Ksatria “?”

Ksatria “?”

Ksatria “?”

Ksatria “?”

Ksatria “?”

Ksatria “?”

Semuanya menyembunyikan nama asli mereka, seperti bayangan suci yang belum layak dunia ketahui dan hanya Raja yang tahu.

Raja merebahkan tubuhnya sedikit sambil menatap mereka satu per satu.

“Baiklah… mari kita mulai.”

Tristan melangkah maju, menunduk hormat. “Yang Mulia.”

“Aku ingin—” Raja Rodrigo mengangkat gelas, memandang warnanya seolah mempelajari nasib. “—perburuan dimulai.”

Tidak ada suara.

Tidak ada bisikan.

Namun udara menegang seketika.

Raja mengangkat dagunya. “Orang dunia lain itu… Anzu.” Bibirnya menyeringai. “Sang ancaman masa depan Celestia.”

Salah satu ksatria “?” bergerak sedikit, suaranya berat namun terkontrol.

“Apakah perintah untuk mengeksekusi langsung, Yang Mulia?”

“Tentu tidak.” Rodrigo tersenyum, seolah menikmati permainan ini.

“Aku tidak ingin ia mati… sebelum waktunya.”

Ia melirik Tristan.

“Tristan, Kau kirimkan perintah itu… bukan?”

Tristan menunduk lebih dalam. “Sudah, Yang Mulia. Poster buronan wajah Anzu dan surat perintah sudah dikirim ke semua gereja Celestia di seluruh wilayah. Termasuk… kota-kota pesisir.”

“kau yakin tidak ada yang terlewat?” tanya Raja tanpa mengubah raut wajah.

“Ya, Yang Mulia.”

Raja menepuk sandaran singgasananya perlahan.

Suara tok… tok… tok itu menggema, seakan menandai dimulainya sebuah bencana.

“Bagus. Sangat bagus.” Ia tersenyum tipis.

“Gereja-gereja selalu lapar akan pengakuan. Maka… berikan mereka umpan.”

Tristan mengangguk. “Dalam surat itu, sudah Saya tuliskan bahwa gereja yang berhasil menangkap Anzu akan diberikan gelar khusus dari kerajaan. Dan sebagai tambahan… hadiah seratus ribu koin emas.”

Ruang itu langsung terasa lebih dingin.

Seratus ribu koin emas bukan jumlah kecil—bahkan seorang bangsawan kelas menengah pun akan melongo mendengarnya.

Seorang ksatria “?” yang lain berbicara, suaranya halus namun menggetarkan.

“Ini akan menarik mereka semua… seperti burung pemangsa yang mencium darah, Yang Mulia.”

Rodrigo tersenyum lebar. “Ya. Biarkan mereka menajamkan cakar mereka. Dan ketika bocah itu tertangkap…”

Ia memutar gelas, anggur itu berputar lambat seperti pusaran takdir. “Bawa ia hidup-hidup padaku.”

Tristan mengangguk tegap. “Kami akan memastikan ia masuk ke tangan Yang Mulia.”

“Bagus.”

Raja berdiri—gerakannya lambat namun angkuh. Jubah emasnya bergoyang seperti api suci yang tak bisa padam.

“Lakukan tugas kalian. Dunia harus belajar bahwa siapa pun yang menentang Celestia… tidak punya tempat untuk bersembunyi.”

Tujuh ksatria itu membungkuk serempak.

Dalam detik berikutnya, cahaya suci mengamuk sebentar—dan mereka hilang seperti tujuh kilatan di udara.

Raja Rodrigo kembali duduk, menuang anggur baru, dan tersenyum.

“Baiklah, Anzu…” bisiknya pelan.

“…permainan baru saja dimulai.”

---

Kembali ke Anzu — Kota Pelabuhan Harborfall

Begitu Anzu dan Alfred melangkah melewati gerbang kota Harborfall, dunia mereka seketika berubah dari sunyi hutan menjadi hiruk pikuk kehidupan laut.

Bau garam, suara camar, teriakan nelayan, dan aroma ikan panggang bercampur jadi satu.

Alfred langsung berbinar seperti anak kecil melihat kembang api.

“ANZU!!! LIIHAAATTT! ORANGGG!! PERADABAN!! MAKHLUK SIPILISASI!!” teriaknya sambil berputar-putar.

“Tidak perlu berteriak,” jawab Anzu datar.

“Tapi ini penting bagiku secara emosional!”

Anzu menatapnya seperti biasanya—tatapan antara bosan, bingung, dan mempertimbangkan apakah Alfred perlu diikat memakai tali agar tidak hilang.

Jalanan kota itu ramai.

Gerobak lewat, pedagang teriak, dan warga sibuk menjemur jaring ikan.

Di antara kerumunan, sesosok berjubah putih berjalan pelan.

Anzu seketika menegangkan bahunya. Tangan kirinya perlahan bergerak menuju gagang pedangnya.

Pendeta? Atau bawahan Celestia?

Namun… anak-anak tiba-tiba berlari ke arah sosok itu.

“Pendeta! Pendeta! Lihat ikanku!!”

“Pendeta, doakan ayahku berlayar aman!”

Jubah putih itu tertawa lembut dan menepuk kepala anak-anak.

Anzu menurunkan tangannya.

“…bukan,” gumamnya.

Alfred sudah berada sepuluh meter di depan.

“Ayo Anzu! Kalau terlambat, pasar tutup! Bayangkan aku mati kelaparan di kota kaya ini! Itu tragedi nasional!”

“Tidak akan ada yang peduli,” jawab Anzu.

“Tapi kau peduli, kan?”

“…Tidak.”

“ANZU!!!”

Anzu menghela napas dan menyusulnya.

Namun ia tidak tahu—bahwa pendeta yang tadi dilihatnya… sedang memperhatikannya dari kejauhan.

Sosok itu menyipitkan mata.

Dan tersenyum tipis.

---

Pasar Harborfall

Pasar kota itu ramai luar biasa. Aroma ikan bakar, sayuran laut, rempah asin, hingga makanan manis beraroma kelapa memenuhi udara.

Alfred berlari-lari kecil sambil menatap kiri-kanan seperti turis pertama kali keluar negeri.

“ANZU!! Lihat yang itu!! Dan itu!! DAN ITUUU!! ANZU KAU HARUS LIHAT SEMUANYA!!!”

“Kau terlalu berisik.”

“Kalau aku tidak berisik, aku mati!”

“Kalau kau terus berisik, aku yang membunuhmu.”

Alfred langsung menutup mulut.

Setidaknya selama empat detik.

Kemudian…

“ANZU!! AKU MENCIIUUMMMMM BAUUUUU—”

Anzu menutup telinganya.

“Ya Tuhan.”

Alfred mengikuti aroma itu seperti zombie yang mencium otak manusia. Dan aroma itu membawa mereka ke sebuah kedai kecil di antara gang pasar.

Aroma rempah mahal dan ikan laut yang sangat segar menyambar Anzu sampai ia pun terhenti.

Alfred menelan ludah sangat keras.

“Anzu…”

“…bau ini… seperti bau surga…”

Alfred berjalan seperti orang kerasukan. Anzu hanya bisa mengikutinya sambil berkata:

“Ini ide buruk.”

Tapi Alfred sudah masuk ke dalam kedai.

---

Kedai "La Sirena Azul" — Tempat Masakan Termewah di Harborfall

Begitu masuk, mata Anzu membelalak sedikit.

Interior kedai itu mewah.

Meja kayu biru laut, lampu-lampu batu pendar, dan para pelayan berpakaian rapi. Orang-orang yang makan di sana pun jelas bukan orang biasa—baju mereka mahal, gelang emas tergantung di tangan.

Anzu langsung ingin keluar.

Tapi Alfred sudah duduk.

Dan…

Sudah memesan.

Dan…

Sudah makan.

Seporsi mangkuk sup ikan besar, harum, penuh rempah langka, dengan potongan daging ikan berkilau lembut seperti permata laut.

Alfred memakannya dengan mata penuh air keharuan.

“ANZU… AKU MATI… DAN MASUK SURGA…”

Anzu mendekat dengan wajah horor. “Kau…”

Satu helai otot di pelipisnya berdenyut.

“…belum tanya harga?”

Alfred yang sedang meniup sup menoleh pelan.

“…Tidak?”

Anzu mendekat dan mencengkeram pundaknya sambil berbisik:

“Kita. Tidak. Punya. Uang.”

Alfred membeku.

Mulutnya terbuka.

Beberapa detik kemudian ia berteriak:

“APAAAA??!! KAU BILANG KITA MISKIN?!”

Seluruh kedai menatap mereka.

Anzu menutup mulut Alfred. “Duduk atau aku patahkan tengkorakmu.”

Alfred mengangguk cepat seperti ayam dipaksa minum obat.

Di belakang mereka, seorang pelayan muncul.

Bibirnya… tersenyum.

Tapi matanya… tidak.

“Ooh… pelanggan tanpa uang yaaa~?”

Anzu langsung membungkuk hormat. “Tunggu—ini kesalahpahaman.”

“Kesalahpahaman yang harus membayar 142 koin emas?”

Anzu membeku.

“…berapa tadi?”

“Seratus empat puluh dua,” ulang pelayan itu dengan suara lembut tapi mengerikan.

Alfred menjatuhkan sendok.

“ITU IKANNYA TERBUAT DARI APA?! SISIK EMAS?! DAGINGNYA INTAN?! ATAU IKAN INI BERDOA SETIAP MALAM?!”

Pelayan tersenyum.

“Ikan Laut Dalam Azurefang. Langka. Ditangkap di kedalaman tiga ribu meter. Oh, dan rempahnya juga impor. Mahal.”

Alfred langsung memeluk Anzu dari belakang sambil menangis.

“Kita… kita bisa kabur nggak?!”

“seperti nya...tidak, dan juga kau jelek jika menangis jadi berhenti lah”

“Aku selalu jelek! Itu bukan poinnya!”

Anzu menatap pelayan itu. “Kami akan bayar. Beri kami waktu. Kami cari pekerjaan.”

Pelayan itu melipat tangan.

“Well… kalau tidak kabur… aku izinkan.”

Alfred berbisik cepat, “ANZU AYO KABUR AYO KABUR AYO KABUR.”

Anzu menepuk kepalanya.

“Kita akan bayar.”

Mereka keluar dari kedai dengan perasaan seperti dua tahanan yang baru menerima 10 hukuman kerja paksa.

Begitu pintu tertutup, Anzu langsung mencengkeram kerah Alfred dan mengangkatnya sedikit.

“Idiot.”

“Maaf-maaf-maaf-maaf-maaf—JANGAN PUKUL AKU DI WAJAH!! AKU MASIH BUTUH WAJAH INI UNTUK HIDUP!!”

Anzu sudah terlalu marah untuk mendengarkan.

Ia menarik tangan ke belakang… dan—

DUK!

Anzu memukul kepala Alfred cukup keras tapi tidak mematikan.

Alfred terduduk sambil memeluk kepala.

“Aduh… kenapa yang makan aku… tapi yang sakit selalu aku…”

Anzu mendecak pelan. “Berhenti menangis.”

“Aku tidak menangis…”

Air mata Alfred mengalir deras.

---

Sementara Itu… di Atas Menara Gereja Harborfall

Seorang pendeta berjubah putih berdiri sambil menatap ke arah pasar.

Di tangannya, selembar kertas buronan tergenggam.

Wajah Anzu tercetak jelas.

Di bawahnya tertulis:

“DICARI HIDUP-HIDUP.

IMBALAN: 100.000 KOIN EMAS.”

Pendeta itu tersenyum…

…dan memutar tubuhnya menuju interior gereja.

“Waktu berburu sudah tiba.”

1
Nagisa Furukawa
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
Bisquit D Kairifz: Semangat bree, walau masalah terus berdatangan tanpa memberi kita nafas sedikit pun
total 1 replies
Rabil 2022
lebih teliti lagi yah buatnya sebabnya ada kata memeluk jadi meneluk
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!