NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / CEO / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:39.9k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SEMAKIN TERSIKSA

Suasana kamar berbalut kehangatan lampu temaram yang menyala lembut. Di luar sana, suara jangkrik bersahutan, menandai malam yang kian larut. Namun, di balik pintu kamar utama rumah dua lantai itu, suasana begitu kontras. Ada percakapan serius, namun dibalut dengan kein-timan dan kehangatan dua insan yang sudah saling mempercayai sepenuh hati.

Tama duduk di tepi ranjang, membuka kancing kemeja satu per satu sambil menatap istrinya yang sudah berbaring santai di tengah ranjang. Kemala tampak memesona malam itu. Rambutnya digerai seadanya, wajahnya segar tanpa polesan berlebihan. Kaos tidur berlengan pendek yang dikenakannya tak mampu menyembunyikan pesonanya.

Tama menarik napas panjang. "Kamu yakin dia gak akan berulah lagi, Sayang? Kamu tahu sendiri kan seberapa liciknya Erina. Dia bahkan pernah mencoba menjebak ayahmu dengan cara menjijikkan itu. Dan gara-gara hal itulah, ayahmu menghamili si Ningsih."

Kemala menoleh, tersenyum dengan manis sekaligus licik. Ia merebahkan kepalanya di bantal dan bersandar santai, lalu menggoda suaminya dengan suara menggoda. "Berarti... imanmu lemah dong, Mas, kalau sampai bisa tergoda sama dia?" ucapnya disertai kekehan kecil yang menggoda.

Tama mendengus pelan, geleng-geleng kepala. "Kamu ini... kadang polos, kadang sadis. Tapi ya itu yang Mas

Suka dari kamu."

Ia perlahan merangkak naik ke ranjang, menindih tubuh Kemala, mengurungnya dengan kedua tangan di sisi kepala wanita itu. Mata mereka bertemu. Kedekatan itu membuat degup jantung keduanya berpacu cepat.

"Aku gak mungkin tergoda, Mala Sayang," gumam Tama, hidungnya hampir menyentuh hidung istrinya.

"Tapi kita gak pernah tahu seberapa liciknya wanita itu."

Kemala tersenyum tenang. "Makanya, aku akan lebih licik darinya, Mas."

"Maksudnya?" Tanya Tama dengan kening berkerut, penasaran.

Kemala mengangkat dagunya dengan bangga. "Besok, Bi Asih akan datang. Aku sudah memintanya untuk tinggal bersama kita di sini."

Tama terbelalak. "Serius? Jadi di rumah sekecil ini ada dua pembantu?"

Meskipun rumah mereka terdiri dari dua lantai, namun tetap saja rumah itu bergaya minimalis, tidak sebesar rumah mewah milik ayah Kemala, Subangja. Bahkan tanpa pembantu pun, semuanya masih bisa mereka kelola berdua.

Tapi Kemala tak bergeming. "Bi Asih bukan pembantu bagiku, Mas. Dia sudah seperti ibu keduaku. Dia yang mengasuhku sejak kecil. Merawatku saat aku sakit, menggendongku saat aku menangis, bahkan waktuku lebih banyak bersama Bi Asih daripada sama ibu. Aku ingin dia ada di dekatku. Aku sudah bilang padanya. Dia malah senang. Katanya, dia ingin menjagaku lagi."

Tama hanya bisa terpaku mendengar pengakuan sang istri. Ada rasa bangga yang mengembang di dada. Kemala tak hanya cantik, namun juga cerdas dan penuh strategi.

"Dan yang terpenting," lanjut Kemala, "Bi Asih akan mengawasi Tante Erina 24 jam penuh. Tidak akan ada ruang gerak untuk kebusukan. Kalau dia coba macam-macam, Bi Asih pasti tahu. Aku gak akan biarkan rumah ini berubah jadi ladang sihirnya lagi."

Tama tersenyum lebar. "Kamu istri yang luar biasa.

Mas tenang sekarang. Kamu benar-benar sudah memperhitungkan semuanya."

"Kamu juga harus waspada, Mas. Kita gak boleh lengah."

"Tenang, aku gak akan pernah tinggalin kamu sendirian. Kalau kamu sudah masuk kuliah lagi, Mas akan jemput. Lalu kita ke kafe bareng, pulang pun bareng. Gak akan ada waktu kamu sendiri di rumah ini. Dan Mas juga gak akan mau jika di rumah sendirian tanpa kamu. Kita akan berdua, selalu."

Kemala mengangguk pelan. Senyumnya mengembang, namun wajahnya segera berubah kaget saat merasakan sesuatu dari bawah tubuh Tama. Sesuatu yang mulai tegak berdiri.

"Mas... jangan bilang kalau kamu..."

Tama menyeringai, jelas tak bisa menyembunyikan ga i rah yang mulai tumbuh. "Ya, tentu saja. Kamu tadi menantang Mas. Sekarang kamu harus tanggung jawab."

"Ihhh, Mas!" Kemala memekik pelan, pipinya merona merah.

Namun, sebelum ia bisa berkata lebih banyak, bibir Tama sudah membungkamnya. Ciu-man itu hangat dan dalam, seperti menyegel seluruh cinta dan has-rat yang sejak tadi menggantung di antara mereka. Tangan Tama menyusup ke balik punggung istrinya, menarik tubuh Kemala semakin dekat. Sementara jari-jari Kemala menggenggam kerah suaminya dengan erat.

Tama menanggalkan pakaian istrinya, satu persatu hingga Kemala benar-benar polos. Tatapannya seperti singa lapar. Dan Kemala yang begitu menggoda itu, seperti umpan yang pasrah untuk dimangsa.

"Kau membuatku candu, Sayang. Aku menginginkanmu."

"Aku milikmu, Mas. Hanya milikmu."

Kata-kata mesra keluar bersamaan dengan de-sah yang saling bersahutan. Malam itu, tubuh mereka menyatu dalam irama yang saling memahami. Tiap desa-han, tiap bisikan, menjadi bahasa cinta yang hanya mereka pahami. Tak ada kata 'mantan' yang bisa merusak ikatan ini. Tak ada masa lalu yang sanggup merobek fondasi kuat yang telah mereka bangun bersama.

Pagi itu, matahari menyelinap malu-malu di antara celah tirai. Udara sejuk menguar di setiap sudut rumah dua lantai itu, tapi suasananya jauh dari hangat. Di dapur, suara gemerincing panci dan dentingan spatula terdengar nyaring. Erina, dengan celemek melekat di tubuhnya dan rambut yang disanggul asal-asalan, berdiri di depan

Kompor sambil mengaduk tumisan. Matanya sembab, namun ia mencoba tetap fokus pada masakan

Dengan sangat terpaksa, ia bangun pagi-pagi. Semua atas perintah Tama, laki-laki yang dulu ia campakkan itu.

Tangan Erina bergerak dengan geram. Perasaannya campur aduk. Dulu, ia memasak dengan hati penuh cinta untuk Tama. Kini, ia memasak sebagai pembantu-bukan lagi istri. Masakan itu bukan untuk pria yang dulu memujanya, melainkan untuk Tuan dan Nyonya rumah. Hatinya nyeri, tapi ia tahu, ini satu-satunya cara agar bisa tetap bertahan di rumah itu.

Setelah semuanya siap-nasi, telur dadar, perkedel kentang, sup ayam, dan sambal-Erina mengatur hidangan di meja makan dengan hati berat. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menelan rasa malu yang seperti batu menghimpit dadanya. Tepat saat ia hendak memanggil pasangan suami istri itu, suara bariton Tama terdengar dari ambang pintu.

"Coba dulu makanannya," perintah Tama dengan nada datar namun tajam.

Erina menoleh cepat, terkejut. "Apa?"

"Makan dulu. Depan aku. Biar aku tahu makanan ini gak kamu racuni atau kamu kasih obat aneh-aneh," ujar Tama, melipat tangan di dada, sorot matanya tajam menusuk.

"Mas... Astaga. Kamu gak percaya sama aku?" Erina berseru pelan, kecewa bercampur marah. Napasnya memburu.

Tama melangkah lebih dekat. "Makan saja. Ini

Perintah!" suaranya naik satu oktaf, bukan lagi sebagai suami, melainkan sebagai majikan yang memberi perintah pada bawahannya.

Erina mengepalkan tangan. Amarahnya membuncah, tapi ia sadar posisinya kini tak lebih dari seorang pembantu yang diupah. Ia mengambil satu sendok sup, potongan telur, perkedel dan menyicip sambal buatannya. Ia mencicipinya dengan wajah masam. Lalu ia mengunyah perlahan sambil menatap Tama.

"Tuh, gak apa-apa kan?" katanya, berusaha menahan emosi.

Tama tidak langsung menjawab. Ia menunggu beberapa detik, matanya tak lepas dari wajah Erina. Tak ada reaksi aneh. Tidak ada gejala mencurigakan.

Setelah merasa yakin, Tama berseru, "Sayang!! Yuk, sarapan!"

Suaranya berubah 180 derajat-lembut dan penuh kasih. Sebuah kontras mencolok yang membuat hati Erina seperti dihantam palu.

Beberapa detik kemudian, Kemala muncul dari arah tangga. Ia berjalan anggun menuruni anak tangga dengan gaya anggun, mengenakan dress selutut berwarna mustard yang memeluk tubuh rampingnya dengan pas. Warna itu kontras dan begitu hidup di kulit cerahnya. Rambutnya masih basah, tergerai ke bahu. Sambil tersenyum, ia mengibaskan rambutnya sedikit, seolah ingin menegaskan bahwa semalam adalah malam yang panjang dan penuh ga i rah.

Erina menelan ludah. Ia tak bisa berpaling. Sebagian

Dirinya masih berharap bahwa Tama akan melihat dirinya, bukan hanya Kemala.

"Aman, Sayang?" tanya Kemala dengan nada manja, tapi matanya mengarah tajam ke arah Erina.

"Aman. Tenang saja. Tuh, dia masih hidup," jawab Tama enteng, melemparkan senyum sinis ke arah Erina.

Erina mengepalkan tangan lebih erat. Perutnya terasa mual-bukan karena hamil, tapi karena terlalu banyak harga diri yang dikorbankan. "Kalian benar-benar keterlaluan," bisiknya lirih.

Kemala duduk di kursi samping suaminya, lalu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Lehernya tampak jelas, dan di sana, terdapat tanda merah yang tak bisa disembunyikan. Sebuah bekas kepemilikan. Dan Erina tahu benar siapa yang meninggalkan tanda itu.

Ia hendak duduk di kursi seberang, tempat biasa ia sarapan dulu bersama Tama. Namun langkahnya terhenti oleh bentakan keras dari pria yang dulu memujanya.

"Siapa yang menyuruhmu duduk di situ?" tanya Tama dengan nada penuh penolakan.

Erina tergagap. "Mas, ta-tapi aku juga mau sarapan. Biasanya juga duduk di sini..."

Tama berdiri dari kursinya. Suaranya kembali naik. "Tidak dengan sekarang! Kamu harus sadar siapa dirimu, Rin! Kamu itu pembantu! Disini kami menampung dan menggajimu. Kamu hanya pekerja yang tinggal numpang. Ikuti aturan kami! Makan di dapur belakang. Jangan rusak selera makan kami. Dan satu lagi-panggil aku Tuan, dan panggil Kemala dengan sebutan Nyonya!

Paham?!"

DEGHHH.

Dunia seakan runtuh di hadapan Erina. Ia terbeliak. Sakitnya lebih parah dari seribu tamparan. Tama yang dulu lembut, penuh kasih, yang dulu mengelus rambutnya dengan penuh cinta... kini mengusirnya dengan cara yang paling menyakitkan.

Kemala menoleh, menatap Erina dengan senyuman puas. Ada sinar kemenangan di wajahnya. Satu per satu balas dendam yang ia simpan mulai terbayar. Bagi Kemala, ini bukan sekadar pembalasan. Ini hukuman. Hukuman bagi wanita yang telah menghancurkan kepercayaan dan keluarganya.

Erina berjalan gontai menuju dapur belakang. Napasnya berat. Setiap langkah terasa seperti mendaki gunung dengan beban di punggung. Ia duduk di bangku kecil dekat kompor, makan dalam diam. Suapan demi suapan terasa seperti pasir di mulut.

Di ruang makan, tawa kecil Kemala terdengar. Tama menyuapinya sesendok demi sesendok, penuh cinta dan kehangatan. Sebuah adegan keluarga kecil yang bahagia... namun tanpa Erina di dalamnya.

Di balik pintu dapur, Erina menyeka air matanya diam-diam. Ini bukan hanya tentang kehilangan cinta. Ini tentang kehilangan kendali, kehilangan harga diri, dan terpaksa menelan kenyataan bahwa hidupnya kini ada di bawah telapak kaki dua orang yang pernah ia injak dengan kesombongan.

Namun dalam diamnya, ada bara kecil yang menyala

Di hatinya. Apakah itu penyesalan?

Untuk saat ini, ia hanya bisa makan dalam sunyi.

Sebagai pembantu.

Suara deru mesin mobil terdengar pelan di depan rumah minimalis dua lantai itu. Sebuah mobil hitam berlogo keluarga Subagja berhenti dengan perlahan. Dari dalamnya keluar seorang wanita paruh baya yang membawa banyak barang: satu tandan pisang, singkong dalam karung jaring, sekeranjang buah nanas, dan seekor ayam kampung hidup yang diletakkan dalam keranjang rotan. Wanita itu disusul oleh ajudan keluarga, Mang Asep, yang membantu mengangkat barang bawaan dari bagasi.

"Assalamualaikum!" seru wanita itu dengan suara lantang dan khas. Suara yang tak asing lagi bagi Kemala.

"Waalaikumsalam, Bi Asih!" seru Kemala riang dari dalam rumah. Ia bergegas membuka pintu, disusul Tama yang ikut keluar dengan wajah cerah.

Begitu Bi Asih menapakkan kaki ke pekarangan, Kemala langsung memeluknya erat. Wanita paruh baya itu pun menepuk-nepuk punggung Kemala, penuh kasih sayang. Matanya tampak berkaca-kaca. Pelukan itu bukan sekadar pelukan biasa. Ia seperti pelukan seorang ibu yang lama tak bertemu anaknya.

"Kemala, Neng... Subhanallah, makin cantik aja. Beda ya aura pengantin baru mah," gumam Bi Asih dengan suara parau menahan tangis.

Kemala mengangguk, air matanya jatuh perlahan.

"Ahh, bibi bisa aja. Terima kasih sudah mau datang dan tinggal sama kami, Bi. Aku benar-benar butuh seseorang yang bisa aku percaya."

Tama memandang adegan itu dengan haru. Ia tahu, sejak kehilangan kedua orang tuanya, Kemala sering merasa sepi. Kehadiran Bi Asih pasti akan membuat istrinya lebih tenang.

"Selamat datang, Bi Asih," sapa Tama ramah.

"Ah, Mas Tama. Terima kasih, sudah jaga Neng Kemala baik-baik. Sekarang saya bisa bantu jaga dia juga," ujar Bi Asih sambil tersenyum tulus.

Namun tak semua orang menyambut kedatangan Bi Asih dengan senyum. Di sudut dapur, Erina berdiri sambil menyampirkan serbet di bahunya, dan menggenggam sapu. Tatapannya tajam dan penuh rasa iri. Kedatangan wanita tua itu seperti menambah luka harga dirinya. Ia, yang dulu nyonya rumah, kini hanya pembantu yang harus menyambut wanita tua itu.

Dan seakan memperkeruh suasana, Kemala memanggil, "Tante Erina, tolong siapkan teh manis hangat dan goreng pisangnya. Bi Asih pasti capek."

Erina menarik napas tajam, menahan amarah. Namun ia tetap melangkah ke dapur untuk menyiapkan permintaan itu. Tapi ia tak bisa menahan omelannya dalam hati.

Tak lama, Bi Asih duduk di ruang tamu setelah meletakkan barang bawaan. Pandangannya menangkap sosok Erina yang datang membawa nampan berisi teh dan camilan.

"Oh, ini pembantu baru ya?" tanya Bi Asih sambil memicingkan mata. Nadanya datar tapi mengandung sindiran tajam. "Wah, hati-hati Neng. Pembantu model begini biasanya banyak tingkah."

Kemala tersenyum tenang, tapi sorot matanya sengaja menatap tajam ke arah Erina. Ia tahu sindiran itu bukan tanpa alasan. "Iya, Bi. Makanya aku bawa Bibi, biar dia gak macam-macam."

Erina meletakkan nampan dengan kasar. Ia menatap

tajam pada Bi Asih. "Sudah tua, bukannya sadar diri. Harusnya banyak ngaji dan diam. Jangan suka nyindir orang. Udah bau tanah, bentar lagi dikubur."

Bi Asih mengangkat alis, tak terpengaruh sedikit pun.

"Bau tanah yang penting hidup saya berkah. Gak munafik kayak situ, Bu Pembantu. Umur mah gak ada yang tahu, siapa tahu situ yang duluan mati ketimpa dosa sendiri."

Erina mengepal tangannya, rahangnya mengeras.

Namun sebelum ia sempat menjawab, suara Tama meledak.

"Erina, diam! Bersikaplah sopan pada Bi Asih. Dia bukan pembantu biasa. Dia kepala pelayan di rumah ini. Tugasnya bukan bantu kamu, tapi awasi kamu. Kau tidak bisa macam-macam di rumah ini. Jadi patuhi dia, atau

keluar dari rumah ini sekarang juga!"

Erina terdiam. Napasnya terengah. Ia menunduk, menahan malu sekaligus marah.

"Tapi... Mas..."

"Tuan!" bentak Tama lagi. "Panggil aku Tuan!"

Erina akhirnya berbalik, menghentakkan kaki dan pergi ke dapur. Di belakangnya, tawa kecil Kemala dan Bi Asih terdengar pelan.

"Wah, seru juga ini Neng. Kita bikin dia gak betah ya.

Wanita gak tahu diri. Udah diceraikan, diusir, malah keukeuh pisan mau tinggal disini. Dasar, Borokokok! Teu boga Ka era," ucap Bi Asih dengan kesal, namun omelannya itu membuat Tama dan Kemala tertawa.

Keesokan harinya

Pagi yang cerah kembali menyinari rumah Tama. Di dapur, aroma nasi goreng dan ayam tepung memenuhi udara. Erina, dengan seragam rumah seadanya, mulai terbiasa dengan peran barunya sebagai pembantu.

Setidaknya, ia tidak kelaparan. Ia bahkan diperbolehkan ngemil, makan buah-buahan dan mengonsumsi susu ibu hamil yang disiapkan Kemala. Semua itu seolah menunjukkan bahwa meski keras, Kemala masih punya hati.

Namun pagi itu, satu perintah membuat Erina ingin menjerit.

"Tante Erinaaa-" panggil Kemala dari ruang keluarga.

Erina menghampiri dengan langkah berat. "Iya. Apa sih bawel banget!"

Kemala duduk santai di sofa, mengenakan kimono tidur. Kakinya selonjor, dan ia sedang memegang ponsel sambil menonton drama Korea di TV besar.

"Tolong bersihkan kakiku, sekalian menipedi ya. Aku lagi malas ke salon."

Erina terkejut. "A-apa?! Jangan kurang ajar kamu, Kemala!"

Tama yang duduk di sebelah Kemala sambil fokus pada laptopnya langsung menoleh. "Eh, jaga bicaramu pada Nyonya! Kalau kamu gak mau, aku akan carikan pembantu lain saja!"

Kemala menyahut cepat, "Iya, Mas! Ganti aja.

Pembantu ini ngeluh terus!"

"Oke, Sayang," ucap Tama lembut. Namun suaranya kembali menyentak saat berbicara pada Erina. "Dan Kamu, Erina! Bereskan pakaianmu dan pergi dari rumah ini sekarang juga!" tegas Tama.

Erina menggertakkan giginya. Ia tidak punya tempat tinggal. Pergi dari rumah ini sama saja dengan jadi gelandangan. Dengan berat hati, ia perlahan berjongkok, mengambil baskom air hangat dan alat menipedi.

"Oke... aku akan bersihkan kakimu, Nyonya..."

gumamnya penuh kepahitan.

Kemala tersenyum puas. Ia mengangkat kaki dan menyerahkannya ke tangan Erina.

Di balik senyum itu, Kemala tahu... luka di hatinya belum hilang. Tapi setidaknya sekarang, ia yang pegang kendali. Dan Erina akan terus merasa hina, hingga akhirnya benar-benar pergi... atau remuk oleh dirinya sendiri.

'Bagaimana rasanya neraka dalam rumahmu sendiri, Erina? Sampai kapan kau akan bertahan?' gumam Kemala

Dalam hati sambil menyeringai.

*

Erina menatap jemari Kemala dengan sorot mata tajam, seolah ingin menancapkan paku ke kulit perempuan muda itu. Air hangat di baskom perlahan berubah suhu, sementara jari-jarinya mengusap pelan kaki Kemala. Hinaan demi hinaan tak perlu diucap. Diam-diam, rasa benci dalam dadanya menggelegak, seperti bara api yang tinggal menunggu percikan kecil untuk menyala.

Namun ia sadar, ia tak punya pilihan. Harga dirinya sudah digerus habis. Satu-satunya alasan ia masih bertahan di rumah ini bukan karena cinta... tapi karena bayi yang dikandungnya.

"Pelan, Tante. Kukuku bisa patah," ucap Kemala sembari mengangkat alis. Ia menggoyangkan kaki seenaknya, membuat air ciprat ke serbet yang digunakan Erina untuk alas.

Erina mengatupkan rahangnya. Tangan kirinya mulai tremor, tapi ia tahan sekuat mungkin. Ia tidak boleh terlihat lemah. Tidak sekarang. Tidak di depan wanita yang merebut segalanya darinya.

Tama bangkit dari sofa. Ia menghampiri meja makan dan mengambil koran pagi yang baru saja diantarkan. Sambil membaca berita utama, ia melirik Erina sekilas.

"Setelah selesai, bersihkan kamar tamu lantai dua. Bi Asih akan pindah ke sana. Dan, oh iya... jangan lupa, pagi ini ada tamu dari kantor hukum. Aku ingin rumah ini bersih dan tidak ada wajah masam bersliweran. Kau paham maksudku, kan?"

Erina tidak menjawab. Ia hanya mengangguk perlahan, lalu melanjutkan pekerjaannya.

Bi Asih muncul dari arah tangga. Ia mengenakan daster batik dan kerudung sederhana, dengan rambut sebagian masih basah karena habis mandi. Di tangannya ada segelas jamu dan sepiring singkong rebus.

"Assalamualaikum, pagi semua," sapanya ramah.

"Waalaikumsalam, Bi," jawab Kemala dan Tama bersamaan.

Bi Asih duduk di kursi seberang dan memperhatikan pemandangan tak biasa itu-mantan nyonya rumah berlutut membersihkan kaki nyonya baru.

"Hidup memang berputar ya, Neng," gumam Bi Asih sambil menyeruput jamunya. "Dulu saya juga pernah disuruh-suruh sama perempuan yang ngerasa paling hebat. Tapi Allah gak tidur. Dia kasih balasan yang manis buat orang sabar."

Erina meletakkan alat menipedi dengan suara keras. Wajahnya merah padam. Ia berdiri, lalu menunduk pada Kemala dengan sikap dipaksakan.

"Selesai, Nyonya..."

Kemala menoleh ke arah Bi Asih dan menyengir. "Bibi, aku jadi ingat dulu waktu kecil suka diginiin sama bibi juga. Enak banget rasanya. Kapan-kapan bibi juga ya, sekalian nyuapin," katanya setengah bercanda, membuat Bi Asih terkekeh pelan.

Namun tawa itu menyayat telinga Erina. Ia berjalan cepat ke dapur dengan tangan gemetar. Ia membuka lemari dengan kasar, mengambil lap dan ember. Tapi

Sebelum melangkah ke atas, ia menyandarkan tubuhnya di lemari dapur, menahan napas yang terasa sesak.

Air matanya jatuh, membasahi pipi yang sejak semalam sudah kering kerontang karena menangis dalam diam. Ia bukan hanya kehilangan cinta, tapi juga kehilangan martabat. Namun satu hal yang tak bisa ia hilangkan-dendam.

Siangnya, rumah besar itu tampak tenang, seperti tak pernah terjadi apapun. Ruang tamu disulap menjadi tempat pertemuan. Seorang pria berbadan tegap, berjas hitam dan membawa map cokelat, duduk bersama Tama dan Kemala. Bi Asih menghidangkan teh, lalu duduk di pojok sambil mendengarkan.

"Kita akan mulai proses perubahan hak atas aset, termasuk pembagian surat kepemilikan rumah dan kendaraan. Sesuai dengan permintaan Tuan Tama, seluruh hak warisan dari orang tua Tuan akan dipindahkan atas nama Kemala sebagai istri sah."

Kemala menatap Erina dari kejauhan, yang berdiri di balik pilar, mencuri dengar dengan wajah memucat.

"Dan untuk pihak mantan istri..." lanjut sang pengacara, "akan segera disiapkan surat pelepasan hak. Sesuai kesepakatan sebelumnya, tidak akan ada pembagian aset karena status gugatan cerai final dilakukan karena pelanggaran kode etik rumah tangga."

Tama mengangguk mantap. "Segera proses, Pak. Saya tak ingin ada satu inci pun dari rumah ini menjadi milik orang yang tak tahu diri."

Erina memundurkan tubuhnya. Ia tersandar pada dinding, tangannya gemetar. Dunia seperti runtuh di atas kepalanya. Hatinya menjerit, tapi bibirnya tak bisa bicara.

Malam itu, saat rumah telah sunyi, Erina duduk termenung di pojok dapur. Ia menatap lilin kecil yang menyala di meja, seolah berharap jawabannya ada di sana. Perutnya perlahan membesar, namun hatinya terus menyusut.

"Anakku... Maafkan Mama," bisiknya lirih.

Tangisnya pecah, senyap dalam kegelapan.

Namun dari balik pintu, sepasang mata mengintip. Bi Asih berdiri diam, lalu menggumam, "Tangisan iblis pun kadang terdengar seperti malaikat. Tapi Neng Kemala gak akan tertipu dua kali..."

1
Nunung Sutiah
Aku nangis baca bab ini. Yola dan Rendra. 😭😭😭
Hasri Ani: 😁😁😁 kuat bund
total 1 replies
Rika Anggraini
karma itu nyata
aku
jahat gk sih aq ngetawain ningsih 🤣🤣🤣
Herta Siahaan
Erina memang sangat salah dan jahat.. tapi kemala dan tama jg lebih jahat. dan hasil dari keserakahan Erina dan dendam Kemala dan tama adalah anak dalam kandungan jd korban tdk jelas status nya dan kalau sdh lahir akan kena bully jd anak haram. nah Vino sebagai adik Yuda jg g sadar telah ikut terlantar kan keturunan Abang nya. intinya sianak yg jd korban
Happy Kids
ya kan.. silau harta emang. ujung2nya duit
Happy Kids
emang yaa ga bsa dibaikin dikit. bsa jd subagya dijebak atau digoda
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!