Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.
Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?
Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.
Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 14 — Saat Kursi Itu Kosong
Pagi Senin, kantor Vibe Media terasa aneh.
Bukan karena ada proyek baru, tapi karena satu hal kecil — kursi di sebelah Emma kosong.
Tidak ada tawa, tidak ada komentar konyol, tidak ada suara Ryan yang biasanya menyapa, “Selamat pagi, partner produktif yang suka mengeluh.”
Emma menatap meja itu lama, lalu menunduk pada kopinya yang sudah dingin.
Biasanya, Ryan yang membawakan kopi panas sebelum ia sempat memesannya.
Sekarang, hanya ada cangkir kosong… dan ruang hampa yang terlalu besar untuk diabaikan.
Monica lewat sambil membawa dokumen.
“Masih kepikiran si intern ganteng itu?” godanya ringan.
Emma memutar bola mata. “Dia bukan intern lagi. Sekarang sudah divisi partnership.”
Monica terkekeh. “Dan kau tetap tidak bisa berhenti menyebut namanya.”
Emma menatapnya datar. “Aku cuma—”
“—khawatir, aku tahu,” potong Monica cepat. “Emma, aku tahu kamu. Kalau kamu bilang ‘nggak apa-apa’, biasanya artinya ‘aku hampir nangis tapi gengsi.’”
Emma menatapnya kesal tapi tidak membantah.
Monica tersenyum lembut. “Percaya deh, kalau orang itu benar buat kamu, bahkan jarak antar divisi pun nggak bisa jauhkan.”
Emma menunduk lagi, pura-pura fokus pada laptopnya.
“Terima kasih, Dr. Cinta,” gumamnya pelan.
---
Sementara itu, di lantai bawah kantor — Divisi Brand Partnership — Ryan sedang beradaptasi dengan lingkungannya yang baru.
Tidak ada tawa keras seperti di tim kreatif, tidak ada poster warna-warni, dan tidak ada Emma yang memutar mata tiap kali dia melucu.
Hanya tumpukan proposal, spreadsheet, dan suara keyboard monoton.
“Ryan Miller?”
Seorang pria berjas abu-abu menghampirinya. “Aku Nathan, kepala tim partnership. Kudengar kau dulu di kreatif?”
Ryan mengangguk. “Ya, Pak. Tapi saya juga cukup jago pura-pura paham angka.”
Nathan tersenyum tipis. “Kita lihat sejago apa nanti. Aku suka orang yang bisa bikin data jadi menarik.”
Ryan membalas dengan gaya khasnya. “Oh, kalau soal menarik, saya sudah punya reputasi.”
Nathan tertawa kecil. “Baiklah. Aku rasa kau akan cocok di sini.”
---
Siang hari, Ryan makan di kafe kantor — sendirian.
Ia menatap meja di pojok ruangan, tempat biasa ia dan Emma makan siang bareng.
Ia bahkan masih ingat cara Emma selalu memisahkan kentang gorengnya sesuai bentuk: panjang, bengkok, atau patah.
Ia mendesah, lalu menatap ponselnya.
Jempolnya melayang di atas nama “Emma Carter” di daftar kontak.
Tapi akhirnya… ia taruh ponselnya lagi.
> “Kalau aku terus ganggu dia, aku nggak akan pernah tahu apakah dia merindukanku.”
---
Sore menjelang malam, Emma masih duduk di meja kerja.
Kantor mulai sepi, hanya lampu temaram yang tersisa.
Di layar laptopnya, file “Proposal Rebranding Vibe Media” terbuka — tapi pikirannya ada di tempat lain.
Ia membuka pesan lamanya dengan Ryan.
Obrolan mereka yang dulu penuh candaan dan emotikon lucu kini terasa seperti arsip kenangan.
Emma menatap satu pesan dari Ryan dua minggu lalu:
> “Kalau aku pindah ke divisi lain, janji jangan lupa aku, ya.”
Waktu itu Emma membalas dengan emotikon tertawa. Sekarang, ia tidak tertawa sama sekali.
Lalu tiba-tiba… notifikasi baru muncul.
Pesan dari Ryan.
> Ryan:
“Hai, partner. Aku butuh bantuanmu. Bisa turun ke lantai tiga sebentar?”
Emma menatap pesan itu, jantungnya berdegup aneh.
Tanpa pikir panjang, ia langsung berdiri dan menuju lift.
---
Lantai tiga terasa lebih sunyi dibanding lantai kreatif.
Begitu pintu lift terbuka, aroma parfum kayu dan suara musik lembut menyambutnya.
Ryan sedang duduk di ruang kecil penuh papan ide dan catatan meeting, mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung.
Ia menoleh, tersenyum lebar. “Tepat waktu seperti biasa.”
Emma menatapnya curiga. “Kau bilang butuh bantuan. Apa yang darurat?”
Ryan menunjuk papan di depannya. “Aku butuh pendapat jujur tentang konsep kolaborasi ini. Bosku bilang ideku terlalu ‘emosional’.”
Emma menatap papan itu. Di sana tertulis:
> Campaign: “Because Feelings Sell.”
Emma tertawa pelan. “Ya Tuhan, Ryan. Kau membuat kampanye bisnis dengan tagline kayak gitu?”
Ryan tersenyum bangga. “Aku tahu. Brilian, kan?”
Emma memutar mata. “Brilian dalam hal bikin atasan pingsan.”
Ryan menatapnya serius sekarang. “Tapi aku nggak salah, kan? Bukankah perasaan memang bisa menjual… kalau tulus?”
Emma diam. Ada sesuatu di nada suaranya — bukan soal kampanye, tapi tentang mereka.
“Ryan…”
Ia membuka mulut tapi tak tahu harus bicara apa.
Ryan menatapnya lembut, lalu berkata, “Kau tahu nggak, kadang aku lupa caranya kerja tanpa suaramu di sebelahku.”
Emma terdiam, lalu perlahan tersenyum. “Kau tetap bisa kerja kok. Lihat saja — kau bahkan bikin kampanye pakai hati.”
Ryan menatapnya lama. “Masalahnya, hatinya nggak bisa kuputus dari satu orang.”
Suasana hening sesaat.
Emma menunduk, pura-pura sibuk menata rambut yang tidak rapi.
“Ryan, aku—”
“—nggak perlu jawab apa-apa,” potong Ryan lembut. “Aku cuma mau kamu tahu, meskipun aku nggak di ruangan yang sama lagi, aku tetap di sini. Nggak pergi jauh.”
Emma menghela napas, lalu menatap papan ide di depannya.
“Tagline kamu tetap gila.”
Ryan tersenyum kecil. “Tapi jujur, kan?”
Emma menatapnya — dan kali ini tidak bisa menyangkal.
“Iya. Sangat.”
---
Sebelum Emma kembali ke lantai atas, Ryan menyerahkan satu amplop kecil.
“Ini buat kamu.”
“Apa ini?” tanya Emma curiga.
“Bonus pribadi dari tim partnership,” katanya misterius.
Emma membuka amplopnya. Di dalamnya ada selembar kartu bergambar kartun dua orang berdiri di depan gedung Vibe Media. Di bawahnya tertulis tulisan tangan Ryan:
> “Kalau jarak kantor aja bisa dilewatin lift, jarak hati pasti bisa dilewatin waktu.”
Emma menatap tulisan itu lama — terlalu lama.
Ketika ia menatap Ryan lagi, ia hanya bisa berkata pelan, “Kau benar-benar nggak tahu kapan harus berhenti, ya?”
Ryan tersenyum santai. “Kalau itu soal kamu… mungkin memang nggak akan pernah.”
---
Malam itu, Emma kembali ke apartemennya dan menaruh kartu itu di meja.
Ia menatapnya lama, lalu berbisik pada dirinya sendiri:
> “Kenapa rasanya baru sekarang aku benar-benar kehilangan dia…”
Lalu ponselnya bergetar lagi.
Pesan dari Liam.
> Liam:
“Kau sibuk malam ini? Kita perlu bicara soal posisi tim.”
Emma menatap layar itu, tapi matanya tak lepas dari kartu kecil di tangannya.
Untuk pertama kalinya, ia tidak langsung membalas.
Karena kali ini, yang sibuk bukan pikirannya… tapi hatinya.
---