NovelToon NovelToon
Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO / Tamat
Popularitas:10.6k
Nilai: 5
Nama Author: ovhiie

Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.

*
*


Seperti biasa

Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34

Pukul Berapa Sekarang?

Dengan suara lembut, terdengar suara pintu tertutup di kejauhan, diiringi dengan salam yang sopan. Suara itu membangunkan Almaira dari tidur, dia membuka matanya perlahan.

Langit di luar jendela sudah terang, menandakan bahwa waktu terlalu banyak berlalu sejak dia tertidur.

Almaira mengusap matanya yang membengkak dengan tangan yang masih terbenam di dalam selimut. Kelopak matanya, yang sejak tadi terus menangis, kini terasa panas dan perih setiap kali disentuh ujung jarinya.

Merasa seseorang mendekat, Almaira segera berbalik, menarik selimutnya hingga ke leher.

Giginya terkatup rapat.

"Almaira,"

Suara laki-laki itu terdengar, lembut namun tetap memiliki kendali penuh. Tangan dinginnya menyentuh pipi Almaira, membelainya seolah sedang menenangkan. Aroma shower cologne dari tubuh laki-laki itu menyeruak di udara, aroma yang sama dengan yang melekat pada tubuhnya sendiri.

"Kamu harus makan," katanya.

Almaira tidak menjawab. Dia hanya menatapnya dengan dingin, membuat laki-laki itu terkekeh pelan sebelum duduk di tepi tempat tidur. Saat berat tubuhnya menekan kasur, tempat tidur itu sedikit tenggelam.

Ketika laki-laki itu mencondongkan tubuh untuk mencium bibirnya, Almaira buru-buru mendorongnya menjauh. Namun, tangannya langsung tertangkap dengan mudah.

"Aira tidak mau," ujarnya tegas.

"Jadi?"

Laki-laki itu hanya tertawa kecil sebelum menempelkan bibirnya ke bibir Almaira. Ciuman ringan tidak cukup baginya. Dia memperdalamnya, menyesap bibir Almaira dengan rakus. Bibir yang sering mengeluarkan kata-kata vulgar tadi malam itu kini terasa dingin dan lembap.

Saat laki-laki itu menikmati ciumannya, napas Almaira terasa panas. Tangan besar yang dulu hanya menyentuhnya dengan kasar kini mengelus pipinya dengan lembut sebelum perlahan-lahan melepas ciuman itu.

"Aku memesan makanan korea. Kamu tidak keberatan, kan?"

Laki-laki itu berdiri tegak, berbicara seolah-olah tidak ada yang terjadi. Makanan jepang memang lebih bisa diterima dibanding pilihan lain, tetapi bukan berarti dia merasa lapar. Tubuhnya masih terlalu lelah setelah berjam-jam dipaksa mengikuti ritme laki-laki itu semalam.

Dia hanya ingin istirahat.

Ketika laki-laki itu mengulurkan tangan untuk menyentuh pipinya lagi, Almaira segera menangkapnya dengan ringan dan menggelengkan kepala.

"Kak Yaga saja yang makan. Aira masih lemas_"

Namun sebelum dia sempat menyelesaikan ucapannya, tubuhnya sudah terangkat. Dengan sekejap, laki-laki itu menggendongnya bersama selimut yang masih membungkus tubuhnya.

Almaira terkejut dan langsung meronta, tetapi laki-laki itu tetap melangkah keluar dari kamar, membawanya dengan tenang. Dalam sekejap, dia sudah berpindah dari tempat tidur ke sofa di ruang tamu. Tatapan tidak senang yang dia tujukan pada laki-laki itu hanya dibalas dengan anggukan ringan, seolah hal itu tidak penting.

Di atas meja sudah tersedia berbagai macam hidangan. Sebuah nampan berisi dolsot bibimbap, sepiring daging sapi bulgogi dengan saus kecap, dan semangkuk samgyetang dengan abalon yang mengambang di dalamnya. Bibimbap masih masuk akal. Tapi samgyetang? Sup ginseng dengan ayam utuh di dalamnya?

Itu terlalu mencurigakan.

Almaira melirik suaminya, yang sedang membuka peralatan makan dan menaruhnya di depannya dengan santai. Dia menghela napas, kemudian menoleh ke luar jendela.

"Hotel ini punya taman, ya?" gumamnya.

Saat pertama kali datang, dia terlalu sibuk mengisi perut untuk memperhatikan pemandangan di luar. Kini, matanya berbinar saat melihat suasana taman di bawah. Di tengah-tengah, beberapa staf hotel tampak sibuk mengatur meja-meja.

"Ada acara?" tanyanya iseng.

"Bukan. Itu lamaran," jawab Yaga santai.

Almaira terdiam, lalu menoleh untuk menatapnya.

Benarkah?

Saat dia kembali menatap ke luar, bunga-bunga dekoratif sudah mulai dipasang di sekitar meja. Marry me? Tulisan berpendar dari cahaya lilin tampak ditata rapih di atas rumput.

Saat Almaira sibuk menikmati pemandangan itu, suami di sebelahnya mulai mencampurkan bibimbap di dalam mangkuk batu panas. Suara gemerisik terdengar saat butiran nasi terkena panas. Ketika dia hendak mengambil alih sendok, laki-laki itu tiba-tiba bertanya dengan nada datar.

"Kamu suka hal seperti itu?"

Tangannya berhenti di udara. Wajahnya tiba-tiba memanas, lalu dia terbatuk kecil.

Yaga tersenyum tipis, lalu mengambil gelas air dan meneguknya.

"Aku hanya bertanya," katanya, dengan suara yang tenang. Karena kita suami istri kan? Mata itu seolah bicara tanpa suara.

"Aira tahu," balas Almaira datar.

Dia mengambil gelasnya sendiri, menuang air dengan cepat sebelum meminumnya. Kemudian, tanpa bicara lagi, dia mulai menyendok bibimbap dari piring kecil yang sudah dipersiapkan. Di tengah kesunyian itu, suara tawa laki-laki itu terdengar pelan, nyaris terdengar seperti kepuasan yang tersembunyi.

***

Dari ruang tamu, suara percakapan telepon terdengar samar. Di dalam kamar, Almaira duduk di tepi sofa dengan posisi yang nyaris tidak stabil.

Tangannya terulur ke belakang, mencoba menarik resleting celana jinsnya. Setelah berhasil, dia meraih kardigan yang tersampir di sandaran sofa, lalu menyelipkan lengannya ke dalam lengan bajunya.

Langkah seseorang mendekat. Laki-laki itu telah menyelesaikan teleponnya dan masuk ke kamar.

Matanya langsung tertuju pada Almaira yang sedang mengenakan pakaiannya. Salah satu alisnya terangkat.

"Malam ini aku akan menjemputmu. Jadi istirahatlah sebentar sebelum pulang," katanya.

Almaira menghentikan gerakannya sejenak sebelum menjawab,

"Tidak, Kak Yaga pergi saja. Aira akan pulang sendiri."

Yaga menghela napas sejenak, menatapnya lama, sebelum akhirnya dia tersenyum. Tapi kali ini senyumannya lebih dalam, lebih mengganggu, lebih berbahaya.

"Kamu pikir, aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?"

Dia melangkah mendekat, begitu dekat hingga Almaira bisa merasakan napasnya yang hangat di dekat pelipisnya.

"Aku sudah membiarkanmu pergi sekali, Almaira.. Dan aku tidak akan melakukannya lagi."

Almaira menatapnya lama, berusaha membaca sesuatu di balik matanya, berusaha memahami maksud dari semua ini. Tapi dia tahu betul dengan suaminya, yang segalanya selalu berjalan sesuai keinginannya.

***

Sepanjang perjalanan turun ke parkiran bawah tanah, tidak ada sepatah kata pun yang terucap di antara mereka.

Bahkan tanpa berbicara, berjalan di samping laki-laki itu sudah cukup membuatnya sulit bernapas. Di mana pun mereka berada, perhatian selalu tertuju padanya.

Dia harus tetap berjalan di sampingnya berusaha agar tidak tertinggal, tetapi juga tidak ingin terlalu diperhatikan.

Barulah saat mereka tiba di parkiran yang lebih sepi, dia bisa bernapas lebih lega.

"Tuan muda, barang yang Anda minta sudah saya letakkan di dalam mobil."

"Hm, terima kasih."

Barang?

Karena laki-laki itu berkata akan pergi ke tempat yang sama seperti sebelumnya, kemungkinan besar mereka akan menuju ke lain tempat lagi.

Barang yang sudah disiapkan Sekretaris Gan… Apa itu?

Pikirannya langsung membuat wajahnya terasa panas.

"Ayo pergi."

Yaga berjalan mendekat, hendak membukakan pintu untuknya. Namun, saat tangan laki-laki itu hampir mencapai pegangan pintu, Almaira melangkah lebih dulu dan menghalangi jalannya.

Matanya menatap tajam, membuat Yaga terkekeh.

"Katakan saja. Orang-orang sedang melihat."

Dari arah pintu masuk gedung hotel, beberapa orang masih keluar satu per satu, menyaksikan semuanya. Mata Almaira bergetar. Menyadari keberatannya, laki-laki itu hanya mengangkat bahu santai, lalu membukakan pintu sebelum berbalik pergi tanpa memaksakan sikapnya.

Dia menatap suaminya berjalan mengitari mobil dengan langkah besar sebelum akhirnya duduk di kursi penumpang. Beberapa detik kemudian, laki-laki itu masuk ke kursi pengemudi.

"Aira harus kembali ke apartemen dalam satu jam. Mungkin Anita sedang menunggu untuk membuat novel."

Almaira langsung menyatakan niatnya sejak awal, takut dia akan membuang waktunya begitu saja.

"Bukankah dia sudah tahu aku membawamu pulang?"

Suara laki-laki itu terdengar dalam, menggema di dalam mobil yang tertutup rapat. Mata mereka bertemu.

"Jadi, kalau Aira terlambat..."

"Kalau terlambat?"

Napasnya tertahan. Sekali lagi, dia terjebak di titik di mana pikirannya menumpuk, tidak bisa maju, tetapi juga tidak bisa mundur.

Perasaan itu terus mengendap, menjadi lebih pekat setiap kali tatapan mereka bertemu.

Bahkan sebelum dia sempat menemukan kata-kata yang tepat, Yaga sudah mencondongkan tubuhnya. Jarak di antara mereka semakin dekat. Tangannya bergerak, menggapai sabuk pengaman dan mengaitkannya ke tempatnya.

Klik

Bunyi sabuk pengaman terdengar jelas. Namun, yang lebih terasa adalah betapa dekat wajahnya saat melakukan itu.

Almaira membeku di tempatnya. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah mengalihkan pandangan, menatap ke luar jendela.

Di luar, beberapa orang masih berjalan di sekitar parkiran. Seakan-akan baru sadar bahwa siapa pun bisa melihat mereka, ia menoleh ke arah laki-laki itu dengan tatapan terkejut.

Kenapa dia selalu bersikap seolah semua ini ada artinya? Apakah ada sesuatu yang dia coba sampaikan?

Sebenarnya, dia ingin bertanya-tanya saat teka-teki itu muncul di kepala. Namun seketika dia sadar, dia sudah tahu jawabannya.

Laki-laki ini memang selalu peduli padanya. Tapi tidak pernah sekalipun dia memperlakukannya dengan terang-terangan.

Mereka sedang berjalan berdampingan di bawah sinar matahari.

Saat kesadaran itu muncul, suaminya tiba-tiba tersenyum tipis dan tertawa pelan.

Napasnya yang hangat menyapu hidungnya. Di detik berikutnya, sebelum dia sempat memikirkan apa-apa, laki-laki itu menutup jarak di antara mereka. Bibirnya menempel di bibirnya, lembut, tapi tak terhindarkan.

***

Presentasi lelang untuk proyek redevelopment mall 4 district yang sempat tertunda karena kebakaran di bangun A, kini tinggal seminggu lagi.

Entah sudah berapa hari dia begadang. Yaga, yang sempat memejamkan mata, akhirnya membukanya kembali dengan napas pelan.

Di tengah persaingan sengit antar perusahaan konstruksi, negosiasi terus berlanjut tanpa henti demi mengajukan syarat yang lebih kompetitif. Beberapa hari lalu, ada bocoran bahwa pemerintah akan merilis amandemen mendadak terkait dukungan finansial, sesuatu yang selama ini menjadi andalan Pratama Group.

Yaga pun terpaksa turun tangan meredam kekacauan itu. Sampai sekarang, dia masih merasa seolah bau kopi hitam menempel di bajunya.

Matahari pagi menyembur masuk melalui jendela kaca besar di ruangannya, seakan mendesaknya untuk segera bangun. Rasa lelah masih menghantui, dan begitu dia mencoba memejamkan mata lagi, terdengar ketukan halus di pintu.

"CEO Yaga"

Dari celah pintu yang terbuka sedikit, suara Gan, sekretarisnya, terdengar hati-hati.

"Ya."

Gan sempat ragu apakah laki-laki itu sedang tidur. Namun, suara berat yang terdengar dari kursi menghadap jendela membuatnya menelan ludah. Tak lama kemudian, kursi berputar, menampakkan sosok Yaga yang bangkit dari tempat duduknya.

Dengan satu sentuhan tombol, lampu ruangan menyala, menampilkan siluet tegapnya berdiri di antara berkas-berkas yang ada di meja.

Wajahnya tampak tenang, seolah melupakan kelelahan yang menumpuk selama beberapa hari terakhir.

Bagaimana mungkin seseorang bisa sekuat itu? Bahkan dengan kondisi fisik yang luar biasa sekalipun, itu tidak masuk akal. Tapi begitulah kenyataannya.

Laki-laki itu, tak peduli seberapa lelah atau lesunya, akan selalu berubah begitu masuk ke ruang rapat. Hanya dua hari lalu, dia meneguk anggur semalaman bersama pejabat pemerintah, tetapi esok paginya, dia tetap muncul di kantor dengan wajah segar dan jadwal yang penuh.

Saat itu, Gan bahkan harus mengusap matanya beberapa kali untuk memastikan dia tidak sedang berhalusinasi.

"CEO, saya bisa membangunkan Anda sebelum rapat dimulai. Bagaimana kalau Anda tidur sebentar?"

Yaga hanya melirik ke arah Gan, sementara tangannya mematikan laptop yang semalaman menyala. Matanya menunduk sejenak, lalu dia berbicara dengan suara tenang.

"Tidak. Aku mau mandi dulu."

"Oh, baik. Saya akan memastikan tidak ada orang lain yang menggunakan shower room_"

Sambil meregangkan lehernya, Yaga bangkit dari kursinya. Sambil membenahi kancing kemejanya yang terbuka, dia langsung memotong,

"Tidak perlu."

"Eh?"

"Aku akan pulang ke rumah ayahku. Sementara itu, bersihkan kantor ini dan kirimkan pakaian gantiku ke sana."

Suara Yaga semakin tenang, semakin santai, sebuah tanda khas bahwa kelelahan sudah benar-benar menguasainya.

Gan menundukkan kepala dengan hormat.

"Baik, saya akan menyiapkan mobil di parkiran."

Yaga hanya mengangguk kecil sebelum melangkah pergi dengan langkah besar, melewati Gan.

Dia bisa tidur sebentar di mobil dalam perjalanan pulang. Tapi jika harus mandi di kantor, hasilnya tidak akan jauh berbeda dengan menyiram air ke tubuh yang sudah terlalu letih. Selain itu, dia sudah berjanji makan siang dengan Almaira.

Tidak mungkin dia menemuinya dengan aroma sabun murahan yang dibeli seadanya oleh staf peralatan kantor. Maka, daripada itu, dia lebih memilih pulang ke rumah ayahnya yang lebih dekat dari kantor.

Saat masuk ke dalam lift, Yaga mengingat suara Almaira tadi pagi, ketika dia meneleponnya dengan iseng di tengah malam.

"Kamu tidur?"

_Tentu saja…

Ucapannya terdengar menggumam, jelas baru saja terbangun. Yaga bahkan bisa membayangkan wajahnya yang mengantuk, mata setengah tertutup, dan rambut berantakan. Tubuhnya berat, pikirannya lelah, tetapi bayangan mata lembut dan tubuh hangat gadis itu tetap terpatri jelas di kepalanya.

Ketika tiba di parkiran bawah tanah, dia melirik sopirnya yang sudah menunggu dengan hormat. Tatapan laki-laki itu sekilas melirik wajah Yaga, sebelum dengan cepat menunduk dalam-dalam.

Untung saja pagi itu cukup cerah. Begitu masuk ke dalam mobil, Yaga membiarkan tubuhnya tenggelam ke kursi, mencoba menemukan kenyamanan di tengah kelelahan yang menusuk. Lucunya, meski pikirannya sudah lesu, tubuhnya masih tetap sadar akan keinginan biologisnya.

Yang lebih aneh lagi, mobil yang dia naiki saat ini justru sedang melaju menuju rumah orang tuanya.

Yaga terkekeh pelan. Kalau bukan karena dirinya, dunia ini mungkin takkan pernah melihat seorang anak berbakti yang lebih luar biasa darinya.

***

1
Vina Tamaela
Lo aira blm hamil mrk blm memiliki anak yg lucu2 udah tamat aja gak seru ah thor🤭
ovhiie: maaf, aku terpaksa tamatin karena malu 🙈 ada Bab yang nyambung. udah di revisi tapi malah ngendap di bab 39 padahal udah di revisi. tapi yang dirils malah yang salah..

amu di sambung juga malu...
total 1 replies
kalea rizuky
tak ksih hadiah
ovhiie: Makasih ... /Smile/ maaf ceritanya mengecewakan 🙈
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!