Dibalik cerita kelam dan kesalahan besar, ada luka yang tersembunyi mencari kesembuhan.
"Aku membelimu untuk menjadi wanita bayaranku seorang!" -Bara-
"Pilihanku menerima tawaranmu, dan perasaanku adalah resiko dari pilihanku sendiri " -Shafa-
*
Hanya seorang gadis yang terjebak dalam dunia malam hanya untuk pengobatan Ibunya. Lalu, bertemu seorang pria kaya yang membelinya untuk menjadi wanita bayaran miliknya seorang. Bisa terlepas dari dunia malam saja, dia sudah bersyukur dan menerima tawaran itu.
Namun, sialnya dia salah melibatkan hati dan perasaan dalam situasi ini. Mencintai pria yang membayarnya hanya untuk pemuas gairah saja.
Di saat itu, dia harus menerima kenyataan jika dirinya harus pergi dari kehidupan pria itu.
"Aku harus kembali pada istriku"
Dengan tangan bergetar saling bertaut, dada bergemuruh sesak dan air mata yang mulai menggenang, Shafa hanya mampu menganggukan kepalanya.
"Ya, aku akan pergi dari kehidupanmu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusanku Dan Pilihanku
Jika waktu boleh di putar kembali, Shafa berharap bisa bertemu dengan Bara sebelum pria itu menikah. Mungkin, dia yang akan memilikinya.
"Tapi, Kak Al juga tidak mungkin mau menerima jika aku adalah seorang perempuan yang kotor"
Rasanya semalaman Shafa tidak bisa benar-benar istirahat. Memikirkan tentang Aura yang sudah sadar, dan mungkin waktu Shafa bersama Bara akan segera berakhir.
"Ini sudah waktunya kamu mengakhiri semuanya, Sha. Akhiri harapanmu itu"
Pagi ini saat Andini datang untuk memeriksa keadaannya. Shafa langsung menanyakan tentang keadaan Aura.
"Em Dok, aku dengar kemarin Aura sadar ya?"
Pertanyaan itu membuat Andini langsung terdiam dalam seketika. Menatap Shafa dengan tatapan yang cukup iba. Perempuan yang terbaring lemah itu terlihat lebih menyedihkan dari yang di bayangkan. Ketika dunia tidak benar-benar pernah berpihak padanya.
"Ya, Aura sudah sadarkan diri. Setelah dua tahun koma, akhirnya dia kembali sadar dan membuka matanya"
Shafa tersenyum, meski di balik senyuman itu tersimpan banyak luka dan kekhawatiran yang begitu besar. "Syukurlah, Bara juga terlihat sangat mencintainya ya. Pasti Bara sangat sulit saat selama ini harus melihat istrinya koma"
Andini menarik kursi di samping ranjang pasien dan duduk disana. Menatap Shafa dengan penuh rasa iba. "Ya, karena Aura adalah gadis kecil yang Bara cari selama ini"
Senyuman Shafa semakin merekah, namun matanya berkaca-kaca. Hal yang paling menyakitkan adalah tetap tersenyum di saat pandangan mata mengabur karena air mata yang menggenang. Hanya untuk terlihat baik-baik saja.
"Sha, kamu akan bagaimana setelah ini?"
Pertanyaan yang bahkan Shafa sendiri tidak tahu harus menjawab seperti apa. Karena dia sendiri bingung akan seperti apa dan bagaimana setelah ini.
"Tidak tahu, Dok" Suaranya serak, pecah, dengan kebingungan yang tidak bisa dia sampaikan.
Mata Andini mulai berkaca-kaca, rasanya cukup menyakitkan hanya untuk membayangkan posisi menjadi Shafa. Apalagi jika dia juga berada dalam posisi itu. Mungkin Andini tidak akan sekuat Shafa sekarang.
"Sha, kamu tidak ingin memberitahu Bara saja tentang kehamilan dan keadaan kamu?"
Shafa tetap menggeleng, rasanya tidak mungkin dia mengorbankan anaknya hanya untuk mendapatkan sebuah simpati dari pria yang jelas sudah terikat dengan sebuah pernikahan.
"Jangan Dok, kehamilan ini adalah pilihanku. Selama ini Bara memang tidak pernah menginginkan seorang anak dariku. Dan ini semua adalah kesalahanku dan keputusanku, jadi jangan libatkan dia"
"Sha, aku tidak tahu kenapa kamu memilih jalan ini hanya untuk bisa merasakan menjadi seorang Ibu, atau karena kamu menginginkan anak dari Bara? Kamu mencintainya?"
Air mata lolos dari sudut matanya, Shafa tidak bisa menutupinya lagi. Dadanya begitu sesak jika mengingat bagaimana dia menemukan sebuah kenyataan jika Bara adalah teman masa kecilnya.
"Ada alasan lain yang membuat aku mengambil keputusan ini. Bahkan ini lebih dari sekedar cinta"
Shafa masih mengingat bagaimana debaran di dadanya yang masih belum dia mengerti. Sampai dia menemukan sebuah foto yang berada di bawah tempat tidur, itu adalah foto masa kecil Bara bersama Neneknya di halaman rumah.
Dan seketika tangan Shafa bergetar, dadanya bergemuruh lebih intens. Menyadari jika perasaan ini adalah cinta lama yang kembali hadir saat bertemu dengan orangnya. Seperti sebuah hati yang akhirnya menemukan pelabuhannya yang hilang selama ini.
"Kak Al"
Dalam suara bergetar dia memangil nama seseorang yang dulu menjadi penolongnya. Sebuah kenyataan yang mungkin membuat Shafa bahagia di satu sisi karena dia bisa menemukan kembali teman masa kecilnya. Tapi, mendapati kenyataan jika Bara sudah menikah, maka Shafa hanya bisa mundur perlahan dan menyerah atas harapan yang belum di mulai.
*
Setelah dua hari, Shafa di rawat di rumah sakit. Akhirnya dia kembali hari ini, menggunakan taksi, dia hanya pulang seorang diri. Ketika sampai di Apartemen, Shafa langsung mengisi daya untuk ponselnya yang mati dalam dua hari ini karena tidak membawa pengisi daya di rumah sakit.
Beberapa pesan masuk dari nomor Bara, ada telepon juga. Shafa membaca pesan-pesan itu dengan senyuman miris. Jika Bara terus seperti ini, maka Shafa akan semakin sulit untuk meninggalkan Bara dengan perasaan yang seharusnya dia lupakan saat ini.
Kau dimana?
Kau baik-baik saja?
Jangan sampai kau sengaja mematikan ponselmu hanya untuk membawa pria lain untuk bersenang-senang.
Shafa balas pesanku!
Masih banyak pesan lain yang menunjukan sebuah kemarahan bagi Bara. Beberapa panggilan yang masuk juga. Shafa langsung membalas pesan dari Bara.
Maaf, ponselku rusak kemarin. Ini baru bisa menyala lagi. Aku baik-baik saja, dan aku tidak mungkin berani membawa pria lain. Kamu sudah cukup menjadi yang terakhir.
Shafa menyimpan ponselnya yang masih mengisi daya. Dia pergi ke ruang ganti untuk mandi dan berganti pakaian. Berendam dalam pikiran yang menerawang penuh kebingungan. Tangannya mengelus perutnya yang masih rata.
"Jika harus meninggalkan Ayah, tidak papa ya Nak. Kamu masih punya Ibu"
Setelah mandi dan berganti pakaian, Shafa kembali ke kamar. Ponselnya kembali berdering, Shafa kira itu telepon dari Bara. Tapi saat dia lihat, itu adalah nomor rumah sakit tempat Ibunya di rawat.
"Apa aku telat membayar biaya perawatan Ibu ya?"
Shafa menerima telepon itu dengan sedikit khawatir dan cemas. "Hallo? Ada apa ya, Ibu saya baik-baik saja 'kan?"
"Hallo, Shafa ini Ibu Nak. Kamu dimana? Jemput Ibu, Sha. Ibu tidak mau disini"
Deg... Jantungnya hampir berhenti berdetak. Suara yang lembut itu benar-benar terdengar sangat nyata. Ibunya menelepon? Ibunya sudah ingat jelas padanya, dan bahkan ingin Shafa menjemputnya dari tempat dia di rawat selama ini.
"I-ibu?" Suaranya begitu gemetar, rasanya sangat tidak percaya dengan suara Ibu. "I-ibu sudah sembuh? Ibu su-sudah ingat Shafa?"
"Nak, bawa Ibu pulang dari tempat ini. Ibu tidak mau terus disini"
Tangan Shafa memegang erat ponsel yang menempel di telinganya. Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar, suara Ibu yang nyata.
"Hallo Mbak Shafa" Suara beralih oleh suara perawat. Shafa diam mendengarkan. "Selama beberapa hari terakhir kami terus memantau perkembangan Ibu Rani dari saat itu. Dan memang perkembangannya cukup membaik, sampai hari ini Bu Rani benar-benar mengingat semuanya, termasuk tentang Mbak Shafa. Beliau juga yang memaksa untuk menghubungi Mbak Shafa dan katanya dia ingin di jemput pulang"
"Baik, aku akan segera kesana"
Setelah mematikan sambungan telepon, Shafa terduduk di pinggir tempat tidur masih dengan memegang ponselnya. Tangannya masih bergetar mendapatkan kabar itu, masih seperti mimpi lama yang menjadi kenyataan.
"Ya Tuhan, apa ini adalah sebuah jawaban darimu atas semua yang aku lalui? Terima kasih karena sudah membuat aku tidak sendiri lagi"
Air mata mengalir begitu saja, antara sedih dan bahagia menjadi satu dalam rasa.
Bersambung
thour buat ibu Rani sehat kembali dan shafa semoga mendapatkan pengobatan terbaik💪💪💪💪🥰🥰🥰🥰