Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POV Barra: Raisa
*Masih enam bulan lalu*
Barra memasuki ruangannya di kantor. Wajahnya ditekuk. Bu Mela bergegas membuatkan kopi untuk atasannya.
"Mas, ada lagi yang bisa saya bantu?" Bu Mela berkata pelan. Ia tidak mau mengganggu Barra yang tengah memejamkan mata di kursinya
"Iya, ambilkan aku dokumen dari London." Barra memijit pelipisnya. Kepalanya berat.
Barra memutuskan untuk kembali beraktivitas di kantor. Sebenarnya, ia tidak mau meninggalkan Kirana. Tapi, mengingat peristiwa kemarin, untuk sementara melakukan apa yang diminta mamanya adalah keputusan terbaik. Barra khawatir, mamanya akan terus mengganggu Kirana jika tidak dituruti.
"Kirana gimana, sudah lebih baik? Kenapa gak bilang-bilang mau balik ke kantor?" Bayu duduk di depan Barra, menyesap kopi yang sudah dibuatkan bu Mela.
Barra tidak menjawab. Ia membuka dokumen yang dibawa bu Mela.
"Dia sudah bisa ingat?" Bayu terus bertanya.
Barra memandang sahabatnya sejak SMA itu. Bayu tidak akan pergi sebelum rasa penasarannya terjawab.
"Belum. Masih sama."
"Jadi, apa langkah Loe selanjutnya? Loe akan tetep pisah sama dia?" Bayu semakin penasaran dengan kehidupan pernikahan pria dihadapannya ini.
Bayu tahu betul bagaimana perjalanan kisah cinta Barra pada Kirana. Bagaimana sahabatnya itu berjuang mendapatkan hati Kirana. Bagaimana Kirana telah berulang kali menyakiti Barra, tapi Barra masih bertekad untuk bersama. Hingga akhirnya, setelah lima tahun, Barra menyerah. Barra menyetujui gugatan cerai yang dilayangkan Kirana.
"Gue gak mau terus membuat dia menderita dengan maksa dia buat di sisi gue. Gue akan melepas dia," Bayu mengingat persis ucapan Barra sebulan sebelum kecelakaan itu.
"Barr...?" tanya Bayu karena Barra tidak menjawab pertanyaannya.
"Belum tahu. Gue gak mungkin pergi dalam kondisi begini. Kirana bahkan gak ingat siapa dirinya selama 10 tahun. Dia gak ingat apapun tentang pernikahan."
Barra memainkan pulpen di tangannya seraya menarik nafas. "Seminggu ini, Dia kembali menjadi dirinya yang dulu. Dirinya 10 tahun lalu, Bay. Kirana yang Gue kenal..."
"Maksudnya, Kirana yang bikin Loe jatuh cinta?"
"Setelah melihat Kirana sekarang, Gue baru sadar, ternyata Gue rindu sama sosok Kirana 10 tahun lalu," Barra berkata dengan suara tercekat.
"Barr, jangan bilang Loe mau re-undo semuanya?"
"Gue punya kesempatan, Bay."
"Iya, tapi Loe gak bisa ngehapus apa yang udah dia lakukan."
"Dia gak ingat apa yang udah terjadi..."
"Iya, Gue tahu. Tapi, apa Loe akan menghapus ingatan semua orang yang sudah disakitin sama Kirana?"
Air muka Barra penuh dengan penyesalan.
"Ada andil Gue juga, Bay. Makanya Kirana jadi seperti itu...
"Ah, bosan gue dengernya. Dari dulu, Loe terus ngelindungin dia. Bahkan, sekarang Loe mau ngelindungin dia dari dari dirinya sendiri. Kenapa Loe jadi bucin begini, sih?!" kesal Bayu.
Barra terdiam.
"Terus, hubungan dia sama Alex? Loe pikir Kirana gak akan ingat sama Alex? Jangan terlalu Naif, Barr. Mereka saling cin---"
"Jangan ingetin Gue, Bay!" tepis Barra sambil memberikan sorotan tajam pada sahabatnya.
"Justru Loe harus ingat! Jangan terjebak sama perasaan semu. Sebagai teman, gue harus ingetin Loe," tatapan Bayu tak kalah tajam.
"Apa Loe gak capek terjebak cinta sendiri? Kondisi Kirana ini bisa jadi hanya sementara. Kalau besok dia ingat, lalu kembali sama Alex..." lanjut Bayu lagi. Kali ini dengan suara pelan.
Barra tidak bersuara. Perkataan Bayu menghujam dadanya. Bayu benar, dia tidak boleh terbuai dengan keadaan Kirana saat ini. Perlakuan Kirana padanya semata-mata karena dia kehilangan ingatannya.
"Kalau saran Gue, segera setelah pulih, Loe harus lepasin Kirana. Lagipula, ada Raisa yang masih setia nungguin Loe."
**********
*Kurang lebih lima bulan lalu*
Tidak peduli omelan mamanya, Barra masih melakukan tanggung jawabnya pada Kirana. Karena meski pernikahan mereka bermasalah, Kirana masih tetap istrinya. Barra belum pernah menjatuhkan talak atas Kirana.
Semakin lama, pemulihan Kirana semakin menunjukkan perkembangan yang sangat baik. Barra merasa senang sekaligus takut. Ia senang Kirana sedikit demi sedikit bisa kembali mandiri. Tapi, di saat yang sama Barra khawatir seiring dengan membaiknya tubuh Kirana, ingatannya akan kembali.
Barra, tanpa sadar, membuat jarak yang lebar di antara mereka berdua. Barra semakin mengurangi interkasi dengan Kirana. Ia baru akan datang ke rumah sakit setelah malam datang, dan pergi di saat matahari baru menampakkan wajahnya. Barra memastikan kebutuhan perawatan Kirana terpenuhi melalui bu Wulan. Sama seperti saat dirinya sedang berada di London.
"Mas Barra, maaf di dalam..." Barra baru akan memasuki ruangannya saat bu Mela bergegas menghampirinya.
"Ada apa di dalam, Bu?"
"Maaf, Mas. Di dalam ada Mba Raisa. Saya sudah coba menahan tapi Mba Raisa ngotot ingin menunggu Mas Barra di dalam." Bu Mela merasa bersalah
Raisa. Orang yang paling tidak ingin ditemui Barra saat ini. Ia menghitung sampai tiga, menenangkan hatinya, sebelum membuka pintu.
"Mas...," Raisa berdiri melihat Bara datang.
"Apa kabar, Raisa?" Sapa Barra dengan nada dingin.
Raisa mendekati Barra, menyentuh dadanya. "Kenapa Mas Barra belum menghubungiku sejak kembali dari London?" tanyanya sambil memberikan senyum termanis untuk Barra.
"Aku sudah jelaskan padamu, dari Kirana kecelakaan hingga nanti pulih kembali, aku menunda semua rencana yang sudah disusun dirimu dan mama. Dan, kamu sudah setuju." Barra menepiskan tangan Raisa dari dadanya. Barra duduk di belakang mejanya, membuat dinding pembatas dengam Raisa.
"Iya, aku tahu. Tapi itu bukan berarti kita tidak bisa bertemu."
"Aku tidak punya waktu, Raisa. Aku sedang membangun kembali kepercayaan publik pada perusahaan. Itu membutuhkan usaha yang besar."
"Itu kan salahnya Kirana. Coba kalau dia tidak membuat skandal dengan membocorkan data perusahaan pada pesaing dan media, semua ini tidak akan terjadi...," di ujung kalimat suara Raisa pelan. Ia melihat tatapan Barra seperti ingin memotong-motong dirinya.
"Pulanglah, nanti aku akan menghubungimu," Barra segera mengakhiri pembicaraan.
"Sampai kapan Mas akan seperti ini? Apa yang membuat Mas susah sekali berpaling dari Kirana?"
"Aku akan memgambil waktu sesuai yang dibutuhkan, Raisa. Aku yakin mamaku sudah menceritakan kondisi Kirana padamu."
"Sampai kapan? Aku butuh kepastian!" Raisa berteriak kesal.
"Pulanglah! Sebentar lagi ada rapat yang harus kuhadiri." Barra keluar ruangan meninggalkan Raisa yang berdiri mematung.
Malam harinya, Barra menginjak gas dalam-dalam. Ia menggenggam erat kemudi. Matanya menunjukkan sorot kemarahan. Barra baru saja dihubungi bu Wulan yang memberitahu jika Raisa datang menemui Kirana tadi siang.
Seharian ini, ia sibuk berbicara dengan beberapa investor. Ponselnya dibiarkan dalam mode diam. Ternyata Bu Wulan menghubunginya beberapa kali.
Barra menekan bel berkali-kali di depan pintu apartemen Raisa. Bagaimana Raisa berani mendatangi Kirana? Apa yang ingin dilakukan Raisa pada Kirana?
"Mas Barra, ada apa ke sini?" senyum Raisa mengembang melihat siapa yang datang.
Tanpa basa-basi, Barra masuk lalu berkata, "Untuk apa kamu menemui Kirana? Apa yang ingin kamu lakukan?" suara dan tatapannya sedingin es.
"A-ku hanya i-ingin m-menje-nguknya," Raisa gugup. Ia tahu Barra sedang marah besar. Sudah beberapa kali, Raisa harus menghadapi kemarahan Barra karena Kirana.
"Kamu ingin aku percaya alasan konyol itu?" Barra menggertakan giginya. Ia khawatir Raisa berkata sesuatu yang memancing Kirana. Barra tidak mau Kirana mengalami sakit seperti saat mamanya datang.
"Kenapa aku tidak bisa menjenguknya. Aku ini temannya, Mas!"
"Teman?" Barra tersenyum sinis. "Seorang teman tidak akan mengiyakan permintaan ibu mertua dari temannya untuk menikahi suaminya, Raisa."
"Jangan pernah menemui Kirana lagi! Tubuhnya belum pulih!" tambah Barra dengan tegas.
"Kenapa Mas masih melindunginya? Setelah dosa yang diperbuatnya, Mas masih memilih bersamanya. Aku sangat mencintaimu, Mas. Tapi itu tidak berarti apapun. Hanya Kirana yang ada di hati dan pikiranmu. Hatiku sangat sakit. Seharusnya hari ini kita sudah bersama. Tapi dia...," air mata Raisa jatuh.
"Raisa, aku tidak pernah menjanjikan hatiku padamu. Kamu yang memilih untuk berada di tempatmu sekarang. Saat ini, aku masih akan berfokus untuk pemulihan Kirana. Aku tidak bisa mengobati hatimu. Keputusan ada di tanganmu. Tinggal atau pergi, bukan masalah untukku."
Raisa kembali ditinggalkan dengan luka hati yang semakin menganga.
Apakah dia sudah tahu hubunganku dengan Raisa?
Barra mengarahkan mobil menuju apartemennya sendiri. Ia tidak punya keberanian menghadapi Kirana malam ini.