Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan di tengah hujan
Kirana fokus menatap layar TV. Namun, pikirannya masih melayang pada ucapan Dina. Kirana masih ingat kejadian 10 tahun lalu itu.
Flashback on
Aula itu terasa ramai. Peserta lomba berbaur dengan para pengunjung, menjadikan tempat itu terasa sesak. Ini adalah ajang lomba lukis tahunan yang digelar oleh yayasan Biannale, sebuah lembaga yang menyelenggarakan pameran seni secara berkala.
Sudah sejak setahun lalu, Kirana bersiap untuk mengikuti ajang ini. Walaupun dalam sebulan ia akan berangkat ke London untuk meneruskan bersekolah di salah satu sekolah seni terbaik di dunia, Royal college of Art, namun torehan prestasi di ajang ini akan memberikan kebanggaan tersendiri untuk dirinya.
Bau cat minyak bercampur aroma kopi dari stan panitia. Deretan kanvas berjejer rapi di sepanjang dinding, menampilkan karya terbaik dari para pelukis muda potensial.
Kirana berdiri di depan karyanya -- sebuah lukisan berjudul 'Harapan di tengah hujan'. Di dalamnya, seorang lelaki muda berdiri di bawah payung kuning, dikelilingi warna abu-abu lembut yang memantulkan suasana mendung.
Ketika juri mulai menilai, suasana yang semula hangat perlahan berubah. Salah satu juri senior, Pak Rendra, berdiri kemudian memperhatikan lukisan Kirana dengan seksama. Alisnya berkerut, tatapannya tajam menelusuri setiap sapuan kuas.
"Sebentar... " ujarnya pelan namun suaranya bisa didengar dengan jelas. "Lukisan ini bukankah sangat mirip dengan lukisan salah satu peserta lain?"
Bisik-bisik segera terdengar dari berbagai arah.
"Wah, iya ya. Mirip banget," ujar juri lainnya. "Payung kuning, sang lelaki, dan warna langitnya pun sama."
Kirana menatap sekitar dengan panik. Wajahnya memanas.
"Tidak Pak. Saya tidak meniru lukisan siapa-siapa. Ini murni lukisan saya. Saya melukisnya sendiri."
"Tapi kemiripannya terlalu banyak untuk sebuah kebetulan. Apakah kamu punya bukti jika kamu yang melukisnya sendiri?"
Kirana terdiam, menggigit bibirnya. Tak ada kata-kata terucap. Ia merasakan semua mata memandangnya. Sebagian dengan pandangan iba, sebagian lagi dengan pandangan sinis.
Ketegangan menggantung di udara. Hingga tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar dari belakang aula.
"Tunggu dulu!"
Semua kepala menoleh. Seorang pria memakai jaket abu-abu bergerak ke depan. Wajahnya tertutup topi dan masker. Tatapannya penuh dengan keyakinan.
"Saya punya bukti kalau lukisan itu betul karyanya."
Kirana terhenyak. Siapa pria ini? Ia tidak mengenalnya. Bagaimana ia bisa punya bukti kalau karya itu betul dibuatnya sendiri?
Pria itu mengeluarkan ponsel dan selembar kertas lalu memberikannya pada juri.
"Jika video ini kurang jelas, saya akan memberikan versi yang lain," ucapnya dengan penuh ketegasan.
"Baiklah, kami akan berdiskusi sebentar. Membahas secara detail kedua lukisan. Kami akan menjadikan bukti ini sebagai bahan pertimbangan."
Para juri memasuki ruangan di belakang aula. Kirana melihat pria tadi duduk di pojok aula.
Kurang lebih satu jam kemudian, para juri kembali.
"Setelah kami pertimbangkan baik-baik, dengan semua bukti yang telah kami dapatkan, kami menyimpulkan jika lukisan ini murni karya Kirana Salsabila."
Tepuk tangan bergema di seluruh aula. Suasana tegang kembali berubah menjadi hangat. Beberapa peserta mendekati Kirana, menyalami dan mengucapkan selamat.
Kirana mencari sosok pria yang telah membantunya. Kirana penasaran sekaligus ingin mengucapkan terima kasih. Tapi, kursi itu sudah kosong. Dia sudah menghilang.
Flashback off
"Nonton apa?" Barra duduk di samping Kirana. Lengannya melingkari bahu Kirana kemudian mencium pelipisnya.
Kirana tidak menjawab. Ia malah mengurai pelukan Barra, duduk tegak. Pandangannya lurus ke arah suaminya.
"Mas, apa betul itu kamu?"
Barra menautkan alisnya.
"Yayasana Biannale, sepuluh tahun lalu, tuduhan plagiat. Apa kamu yang membantuku, Mas?"
Barra membisu.
"Mas, tolong jawab aku dengan jujur," suara Kirana tercekat.
"Bagaimana...? Apa kamu ingat...?" tanya Barra pelan.
"Dina yang meberitahuku. Dia mengejarmu keluar aula. Dina melihat wajahmu."
Barra menghela nafas lega, lalu tertawa pelan.
"Aku sudah menduganya saat kita bertemu di warung bakso. Saat itu, aku tahu dia melihatku ketika keluar aula. Hanya saja, setelah sekian lama, tidak kusangka dia masih mengingatku."
"Kata Dina, wajahnya Mas Barra susah dilupakan," Kirana menekan suaranya.
"Kenapa? Karena aku terlalu tampan. Begitu kah?"
Kirana mencebik.
Barra tergelak.
"Sebetulnya, bukti apa yang Mas Barra berikan pada juri? Lalu, dapat dari mana?"
Barra menghentikan tawanya. "Tunggu sebentar!"
Barra masuk ke dalam kamar, lalu kembali sambil membawa sebuah kotak kayu.
"Ini! Bukalah," Barra memberikan secarik kertas pada Kirana.
Kirana terkejut melihat isinya. Gambar sketsa awal dari lukisannya 'Harapan di bawah hujan'.
"Kamu ingat?"
Kirana mengangguk. "Tapi, bagaimana sketsa ini bisa ada di tangan Mas Barra?"
Barra tidak menjawab, hanya memandang Kirana dengan tatapan lembut.
Kirana mengangkat kepalanya. Pandangannya beradu dengan tatapan suaminya. Kirana melihat banyak cinta tersimpan di sana.
Kirana melanjutkan dengan suara lirih, "Aku memberikan sketsa ini pada seseorang yang hatinya hancur karena ditinggalkan ayahnya. Mungkinkah Mas itu adalah...?"
"Iya, Kira. Lelaki yang kamu gambar itu adalah aku."
Deg.
Flashback on
Kirana ingat saat itu usinya 15 tahun. Ia dan mamanya pergi ke pemakaman seorang pria.
Setelah prosesi pemakaman selesai, Kirana menunggu mamanya yang sedang berbicara dengan keluarga yang berduka. Ia melihat seorang lelaki muda berdiri di depan nisan. Wajahnya tampan. Kirana menerka usianya sekitar awal 20-an.
Lelaki itu tidak menangis. Hanya berdiri. Tatapannya kosong. Sorot matanya menggambarkan rasa duka yang mendalam. Sesekali tangannya mengusap kepala nisan. Gerimis turun. Tapi, lelaki itu tidak beranjak.
Kirana bisa merasakan duka lelaki itu. Hatinya ikut perih. Air matanya turun seolah mewakili lelaki di hadapannya.
Kirana lalu mengambil sktech book dan pensil warnanya di dalam tas. Kirana selalu membawanya ke mana pun. Karena bagi Kirana inspirasi gambar bisa datang kapan dan di mana saja.
Kirana lalu menggambar lelaki itu. Ia bisa menampilkan luka dan duka lewat gambar yang dibuatnya. Jarinya bergerak dengan lincah. Dalam waktu singkat gambarnya sudah selesai.
Kirana lalu mendekati lelaki itu. Entah kenapa, hatinya tergerak untuk menghibur lelaki itu.
"Kak, harapan akan selalu ada. Aku membuatkan kakak payung kuning, bahwa selalu ada mentari setelah hujan," Kirana menyerahkan gambar yang dibuatnya.
Lelaki itu tidak bersuara. Tatapan matanya tajam ke arah Kirana. Kirana memberikan senyuman termanisnya.
Saat mamanya mengajak pulang, Kirana melihat lelaki itu masih berdiri. Mematung sambil memegangi gambar Kirana.
"Dia anak dari pria yang tiada itu," jawab mamanya singkat ketika Kirana bertanya.
Flashback off
Barra masih menatap Kirana dengan penuh cinta. Ia mengambil tangan Kirana ke dalam genggamannya.
"Aku jatuh cinta padamu di hari itu, Kira," akunya pelan, ada sedikit keraguan dalam nada suaranya.
"Gadis manis yang memberiku harapan baru setelah duniaku hancur karena kepergian papa. Kalau bukan karena sketsa ini, mungkin aku tidak tahu bagaimana cara bangkit kembali."
Berbeda dengan nada suaranya, Kirana melihat ada keyakinan dan kesungguhan dalam sorot mata Barra.
"Tapi, kenapa Mas Barra bilang pertemuan pertama kita terjadi dua tahun sebelum pernikahan. Saat Mas Bara bekerjasama dengan papa. Kenapa harus berbohong?"
"Aku tidak berbohong, Kira. Di hari itu, aku bukan lagi lelaki rapuh yang ada dalam gambar itu. Tetapi lelaki yang bertekad menjadikanmu milikku. Yang tidak akan pernah melepaskanmu. Yang akan selalu melindungimu. Aku memperkenalkan diriku sebagai calon suamimu."
Dahi Kirana berkerut. Memorinya kembali terblokir. Ia tidak ingat hari itu.
"Aku mencintaimu, dari sejak kau berusia 15 tahun."
Hati Kirana seakan berhenti berdetak sejenak ketika kata itu keluar dari mulut Barra. Kata yang selalu ingin didengarnya.
Aku mencintaimu. Kata sederhana namun menggema dengan kuat di dalam dada Kirana. Menembus semua dinding keraguan yang selama ini membayangi Kirana.
Pipi Kirana terasa hangat. Napasnya bergetar. Matanya mulai berkaca tanpa ia sadari. Antara bahagia, lega, tidak percaya, semua bercampur menjadi satu.
Tangan Kirana terangkat menyentuh pipi Barra. Lalu, dengan perlahan Kirana menyentuhkan bibirnya di atas bibir Barra. Matanya terpejam. Kirana merasakan bibir Barra hangat dan manis.
Kirana mulai bergerak, mencium bagian atas dan bawah bibir suaminya. Awalnya ragu, namun merasakan bibir Barra tidak bergerak, ia mulai memberanikan diri. Kirana memperdalam ciumannya. Sentuhan yang tadi berupa ciuman lembut, berubah menjadi lumatan.
"Aaah, mmph, Kira... " desahan keluar dari mulut Barra.
Barra menarik tengkuk dan pinggang Kirana. Ia mengambil alih permainan. Barra memasuki mulut Kirana, mengabsen setiap deret gigi di dalamnya. Mulut dan lidahnya terus menari membuat Kirana semakin terbuai. Barra terus memagut, menghisap dan melumat. Tidak ada satu jengkal pun bagian mulut dan bibir Kirana yang tidak disentuh Barra.
Saat akhirnya Barra melepaskan, mereka terengah kehabisan nafas. Barra menempelkan keningnya pada kening Kirana.
"Kita akan melanjutkan ini nanti malam. Aku harus pergi, ada pertemuan yang tidak bisa kutunda," ujar Barra seraya mencium lembut kening Kirana.
Kirana mengangguk. Jantungnya berdetak dengan kencang.
masih penasaran sih backstrory kirana seperti apa? sampe dirinya pun merasa asing..masih ada rahasia yang belum terpecahkan