"hana maaf, rupanya riko hatinya belum tetap, jadi kami disini akan membatalkan pertunangan kamu.. dan kami akan memilih Sinta adik kamu sebagai pengganti kamu" ucap heri dengan nada yang berat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34 hana tolong aku
“Ayo kembali ke pelaminan.”
Sinta menarik tangan Riko yang masih terpaku di depan pintu ballroom. Wajahnya terlihat gusar, seolah ragu melangkah masuk.
“Aku nggak bisa, Sinta,” Riko menepis perlahan. “Aku belum ketemu Hana. Dia harus bertanggung jawab dengan kekurangan biaya pernikahan ini. Lihat sendiri, sekarang pasti dia punya banyak uang. Dia pasti mau bantu aku.”
Nada suara Riko penuh harap, meski di balik matanya ada rasa panik.
Sinta menghentikan langkah, menatap suaminya dengan tatapan tajam. Ia menahan emosi, tapi nadanya tidak bisa lagi disembunyikan.
“Kenapa kamu begitu yakin kalau Hana bakal selalu bantu kamu? Kenapa kamu nggak pernah belajar untuk berdiri sendiri?”
Riko terdiam sesaat. Nafasnya berat. “Karena biasanya… Hana selalu ada. Dia selalu ngasih solusi waktu aku kesulitan. Dia nggak pernah tega lihat aku jatuh.”
“Bang!” bentak Sinta, suaranya bergetar menahan amarah. “Mulai sekarang jangan lagi ketergantungan sama Hana. Ingat, aku sekarang istri kamu. Bukan dia!”
Riko mendengus, namun ia juga sadar perkataan Sinta ada benarnya. Tapi rasa paniknya masih lebih besar. “Kalau begitu, terus gimana sama konsumsi tamu yang kurang? Kamu sudah atur?”
“Tenang saja, ibu sudah mengatasinya,” jawab Sinta mantap, meski dalam hatinya ia sendiri masih waswas.
Riko mengamati wajah istrinya, mencoba memastikan kebenaran dari ucapannya. “Bagaimana ibumu mengatasinya? Dari mana uangnya?”
“Pokoknya kamu masuk dulu aja,” elak Sinta. “Banyak yang mau salaman sama kita. Nggak enak kalau pengantin malah hilang di saat pesta.”
Dengan berat hati, Riko mengikuti. Mereka melangkah ke dalam ballroom yang kembali ramai. Tadi sempat ricuh, beberapa tamu protes karena makanan kurang, tapi kini meja prasmanan kembali penuh. Tamu-tamu dari kampung Sinta tampak lahap menyendok makanan, tertawa dan bercengkerama. Anak-anak berlarian sambil membawa balon, wajah mereka belepotan kue.
Riko menghela napas lega. Setidaknya untuk sementara, badai reda.
“Hebat kan ibu?” ucap Sinta bangga, seolah menantang keraguan Riko.
“Ya… aku nggak nyangka ibu kamu punya uang banyak,” balas Riko, sedikit lebih tenang.
Mereka berjalan menuju pelaminan, menyalami satu per satu tamu. Musik organ tunggal kembali mengalun, meski agak sumbang. Lampu-lampu kristal di ballroom memantulkan cahaya keemasan, menutupi sisa kepanikan yang tadi terjadi.
Heri, ayah Riko, tiba bersama keluarga besar. Wajahnya masam. “Riko, bapak nggak bisa lama-lama. Perut bapak sakit makan makanan hotel begini. Ikan asin, sayur asem, jengkol… nggak ada semua. Selera bapak ilang.”
“Bertahanlah sebentar, pak. Aku takut kalau ada tambahan biaya,” bisik Riko cemas.
“Tenang saja. Mertua kamu kan bisa mengatasinya,” jawab Heri enteng, seolah masalah segunung bisa dipindahkan ke pundak Mirna.
Akhirnya Heri, Mili, Rika, dan keluarga besarnya pamit pulang. Para tamu lain juga mulai undur diri. Anak-anak yang tadi berlarian kini tertidur di pangkuan ibu-ibu mereka. Jam dinding di ballroom menunjukkan pukul empat sore. Waktu sewa resmi berakhir.
Dekorasi bunga yang tadi tampak megah kini layu, beberapa bahkan tercerabut dan tergeletak di lantai. Potongan pita berserakan. Kain putih penutup meja ternoda kuah dan saus. Beberapa lampu kecil hotel sudah menghilang entah ke mana. Mikrofon yang tadi dipakai untuk akad nikah pun raib.
Riko mengusap wajahnya. “Akhirnya selesai juga….” Ia merasa lega. Kekhawatirannya tentang konsumsi tadi lenyap. Setidaknya begitu yang ia kira.
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama.
Seorang wanita berseragam hitam—rok selutut, kemeja putih dengan jas blazer—datang mendekat. Wajahnya dingin, membawa map tebal. “Pak Riko?” tanyanya sopan.
Riko mengangguk hati-hati. “Ya, saya.”
“Mohon waktunya sebentar. Ada administrasi tambahan.”
“Administrasi?” kening Riko berkerut.
Wanita itu membuka map dan menyerahkan selembar kertas. “Tadi kami menambah empat ratus porsi secara mendadak. Satu porsi Rp125.000. Selain itu, ada beberapa barang hotel yang hilang. Ini daftar kerugian yang harus Bapak ganti.”
Mulut Riko ternganga. Matanya menelusuri angka-angka di kertas itu. Tambahan konsumsi, kelebihan jam sewa, dekorasi rusak, barang hilang. Total hampir sembilan puluh delapan juta rupiah.
“Ap… apa?!” suaranya tercekat. “Bu, bukankah tadi mertua saya yang mengurus konsumsi? Kenapa tagihannya ke saya?”
Wanita itu tetap tenang. “Benar, ibu mertua Bapak yang meminta penambahan konsumsi. Tapi semua dilakukan atas nama penyewa ballroom. Dan penyewanya adalah Bapak.”
Riko pucat. “Tapi saya nggak pernah tanda tangan…”
“Menurut catatan kami, ibu Mirna sudah menyetujui, dan otomatis dianggap persetujuan keluarga inti. Kami hanya menjalankan aturan.”
Riko menoleh ke Sinta, wajahnya panik. Sinta terdiam, ikut terkejut. Tadi ibunya hanya bilang masalah sudah selesai, tanpa menyebut soal hutang sebesar itu.
“A… apa bisa dicicil?” suara Riko nyaris berbisik.
Wanita itu menutup mapnya dengan mantap. “Mohon maaf, pembayaran harus dilunasi maksimal tiga hari. Kalau tidak, kami terpaksa menempuh jalur hukum. Ini sudah kebijakan hotel.”
Riko hampir kehilangan keseimbangan. Lututnya gemetar. 98 juta… Angka itu berputar-putar di kepalanya. Ia tidak punya tabungan sebanyak itu. Bahkan untuk biaya pernikahan saja, ia masih berharap bantuan Hana.
“Sinta… mana ibumu?” tanya Riko dengan nada kesal.
“Itu ibu sedang foto-foto.” Sinta menunjuk ke arah Mirna yang sibuk berpose, lalu kembali menunduk menatap ponselnya. Sosmednya dipenuhi pujian: pesta mewah, dekorasi indah, pengantin cantik. Ia tersenyum puas, seolah tak ada masalah besar baru saja menimpa.
Riko melangkah dengan kaki gemetar, dadanya sesak. Ia mendekati Mirna yang tertawa kecil sambil swafoto dengan beberapa kerabat.
“Ibu… kenapa ibu menambah porsi makanan sebanyak itu?” suara Riko bergetar menahan marah.
Mirna menoleh santai. “Apanya yang banyak? Lihat, semua tamu kenyang. Nggak ada makanan tersisa. Artinya pas, kan?”
Riko mengepalkan tangan. “Ibu… hotel menagihnya ke aku! Aku hanya diberi waktu tiga hari untuk melunasi. Jumlahnya hampir seratus juta!”
Mirna mendengus. “Astaga, Riko. Ibu mana ada uang. Masalah begitu ya urusan kamu lah, kepala keluarga.” Dengan enteng ia melangkah pergi, meninggalkan Riko yang terpaku.
Lutut Riko lemas. Matanya panas menahan air mata. Ia teringat sertifikat tanah yang sudah digadaikan, hutang empat ratus juta membelit, kini ditambah tagihan sembilan puluh delapan juta. Total setengah miliar dalam hitungan sebulan.
“Mimpi apa aku sampai punya hutang sebesar ini? Aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana untuk mencicilnya…” gumamnya getir.
Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel di saku jas. Hanya satu nama memenuhi benaknya: Hana. Selama lima tahun berpacaran, Hana selalu menemukan jalan keluar. Hana yang menutup kekurangan, Hana yang menolong saat ia terpuruk.
Bibir Riko bergetar, nyaris berbisik. “Hana… tolong aku….”
...
Sementara itu, Hana mewakili Viona yang sedang sakit untuk bertemu klien. Felix sempat mengizinkan, tapi dengan syarat malam nanti Hana sudah ada di rumah. Anak lima tahun itu begitu protektif padanya.
Selesai urusan, Hana keluar dari ruang VIP sambil menatap ponselnya. Langkahnya tergesa, pikirannya tidak fokus.
“Bruk!”
Ia menabrak seorang pria paruh baya yang masih terlihat tampan dan berwibawa. Hana terkejut, buru-buru mendongak. Pandangan mereka bertemu.
Lelaki itu menatapnya lekat-lekat. Bibirnya bergetar.
“Maharani… kenapa kamu ada di sini?”
secepatnya pasti terkuak dan Andri gak jadi sama Hana deh 😅😅