Putri Huang Jiayu putri dari kekaisaran Du Huang yang berjuang untuk membalaskan dendam kepada orang-orang yang telah membunuh keluarganya dengan keji.
Dia harus melindungi adik laki-lakinya Putra Mahkota Huang Jing agar tetap hidup, kehidupan keras yang dia jalani bersama sang adik ketika dalam pelarian membuatnya menjadi wanita kuat yang tidak bisa dianggap remeh.
Bagaimana kelanjutan perjuangan putri Huang Jiayu untuk membalas dendam, yuk ikuti terus kisah lika-liku kehidupan Putri Huang Jiayu.
🌹Hai.. hai.. mami hadir lagi dengan karya baru.
ini bukan cerita sejarah, ini hanya cerita HALU
SEMOGA SUKA ALURNYA..
JIKA TIDAK SUKA SILAHKAN DI SKIP.
JANGAN MENINGGALKAN KOMENTAR HUJATAN, KARENA AUTHOR HANYA MANUSIA BIASA YANG BANYAK SALAH.
HAPPY READING...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Athena_25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LARI DARI BAYANG-BAYANG
Di gunung sunyi, angin berbisik pilu,
Kekhawatiran merajut, membalut kalbu.
Gelisah hati bagai ranting di terpa angin,
Jiang mencari, Mei Yin setia menemani,
Harapan dan keraguan silih berganti,
Sementara bahaya mengintai, tak terelaki.
🥕🥕🥕—≫∘❀♡❀∘≪🥕🥕🥕
Matahari pagi menyelinap melalui celah-celah daun, melukis pola emas di tanah hutan yang lembap. Namun, kehangatannya gagal menembus dingin yang mengurung hati Jiang.
Sudah hampir seminggu, tidak ada sepucuk surat pun, tidak ada satu kabar dari kakaknya, Jiayu. Kegelisahannya adalah bayangan yang setia, mengikuti setiap langkahnya, membuat dunia terasa suram bahkan di terik matahari sekalipun.
Butir-butir debu berputar dalam sinar itu, bagai pikiran kalutnya yang berputar tak menentu. Kaki-kakinya telah berpakaian rapi, siap untuk melangkah menuju ibukota, namun hatinya terbelenggu oleh pesan kakaknya yang bergema dalam benak: "Dengarkanlah selalu Paman Gong Lu Yan."
"Diamlah, hati!" gumamnya lirih, mencoba membungkus keraguannya dengan tekad.
"Aku harus percaya pada Jie-jie. Dia pasti akan kembali. Janjinya bukan angin lalu." Tangannya mengepal di samping tubuh, buku-buku jarinya memutih.
Dari balik tirai yang memisahkan ruang utama dengan gudang obat, sepasang mata bijak yang telah lama mengamatinya menyipit. Kakek Han, dengan janggut putihnya yang tipis dan keriput di sudut mata yang bercerita tentang banyak musim, menghela napas pelan.
Aroma campuran akar kayu manis, ginseng, dan sedikit pahitnya akar rimpang menyelimuti ruangan, sebuah wewangian yang selalu melekat pada diri tua itu.
"Jiang," suara Kakek Han pecah membelah kesunyian, serak namun terasa membumi, seperti gesekan akar di atas tanah. "Bawakan kakek segelas air hangat, Tubuh—tua ini merasa haus,"
Jiang menoleh, terkejut dari lamunannya. Ia mengangguk dan bergegas mengambil cerek dari perapian kecil. Gerakannya masih terlihat kaku, dipenuhi beban.
"Gegabah itu seperti minum obat pahit sebelum tahu penyakitnya," ujar Kakek Han tiba-tiba, sambil menerima cangkir yang disodorkan.
Tangannya yang berurat dan penuh bintik-bintik usia memegang cangkir itu dengan mantap. "Kau lihat ramuan ini?" lanjutnya, menunjuk ke tumpukan herba di atas meja.
"Masing-masing butuh waktu dan prosesnya sendiri. Tak ada yang instan. Seperti menunggu. Terburu-buru memetiknya justru akan menghilangkan khasiatnya." ucap kakek Han sambil menyesap minumannya.
Jiang menghela napas. "Tapi Kakek, diam di sini tanpa kabar terasa seperti disiksa. Aku hanya ingin mencari kepastian."
"Kepastian bukanlah burung yang bisa kau kejar. Ia akan datang sendiri saat waktunya tepat. Kakakmu itu kuat dan pintar. Paman Gong Lu Yan juga bukan orang sembarangan. Pesannya adalah pedoman, bukan sangkar. Kau boleh pergi, tapi bukan sekarang. Bukan dengan hati yang kalut begini. Nanti di jalan, bukannya dapat kabar, malah tersesat atau jatuh ke lubang yang sama dalam karena matamu tertutup kegelisahan!" ujar Kakek Han, diakhiri dengan senyum kecil yang mencoba mencairkan ketegangan.
Mendengar nasihat itu, bayang-bayang kegelisahan di wajah Jiang perlahan mulai mencair. Ada kebenaran dalam kata-kata sederhana Kakek Han. Ia membayangkan dirinya tersesat di ibukota yang ramai, justru menjadi beban baru.
"Lagipula," sambung Kakek Han, matanya berkedip-kedip nakal, " Siapa yang akan menumbuk akar-akar keras ini untuk kakek, kalau kau pergi? Tangan-tua ini sudah tidak sekuat dulu. Paling cuma bisa bikin teh yang terlalu pahit untuk diri sendiri."
Jiang akhirnya tersenyum kecil, sebuah ekspresi yang pertama kali muncul hari itu. "Kakek memang selalu bisa membuat segalanya terdengar masuk akal... dan lucu."
"Hah! Hidup ini sudah cukup berat, nak. Sesekali kita perlu menambahkan sedikit gula pada obat yang pahit." Kakek Han terkekeh, dan kali ini Jiang ikut tertawa, melepaskan sedikit beban yang mengimpit dadanya.
Keputusan untuk tidak pergi ternyata justru memberinya kelegaan. Langkahnya kini lebih ringan saat ia berbalik dan mulai mengatur kembali botol-botol obat di rak, menemukan ritme dan ketenangan dalam keseharian yang biasa.
Pikirannya masih tertuju pada sang kakak, tetapi sekarang disertai dengan kesabaran yang baru tumbuh. Ada sebuah kelegaan dalam hatinya, dari keraguan yang mencengkam menuju sebuah penantian yang lebih percaya diri.
Dia akan menunggu, karena yakin bahwa kabar baik akan datang pada waktunya, dan persiapan terbaiknya adalah tetap berada di tempat di mana dia seharusnya berada.
Kakek Han kemudian memintanya mencari tanaman di hutan supaya perhatiannya teralihkan,
“Jiang, tolong carikan tanaman binahong, Daun paruh elang, jamur Ling zhi, dan Shiitake yang ada di gunung Daoshan,” suara Kakek Han yang berkerut oleh usia memecah kesunyian, penuh dengan maksud terselubung.
“Persediaan di rumah sudah menipis, mumpung sekarang masih pagi maka bergegaslah.”
Jiang mengangguk patuh. Dia tahu ini adalah cara kakek untuk mengalihkannya. “Baik, Kakek,” jawabnya, suaranya lirih bagai desisan angin.
Dia mengambil keranjang anyaman bambu yang teronggok di samping rumah, aromanya anyir dan tanah. Kakek Han mengawasinya dengan tatapan bijak yang penuh keprihatinan.
“Yin’er!” seru kakek tiba-tiba, membuat Mei Yin yang sedang melamun di beranda terkejut. “Kau temani Jiang mencari tanaman herbal, daripada kau hanya bengong seperti kerbau bodoh di sana!”
Mei Yin mengerutkan keningnya yang cantik. “Kakek, aku tidak bengong! Aku sedang bersemedi!” protesnya, suaranya bergetar kemarahan palsu.
“Kakek tidak mau tau, cepat pergi nanti keburu siang!” Kakek Han mengibaskan tangannya, sebuah gerakan pelan yang tidak bisa dinegosiasikan.
“Huh, selalu saja memaksa,” gerutu Mei Yin sambil melompat dari beranda. Namun, matanya yang sipit berbinar dengan semangat petualangan.
Dengan langkah gesit, dia merangkul pundak Jiang. “Ayo, Si Kerbau Pemuram! Jangan membuang-buang waktu kakek kita yang berharga!” candanya, mencoba mencairkan awan kelam di wajah Jiang.
Jiang hanya mampu memberikan senyum kecil yang tidak sampai ke matanya. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak berliku, meninggalkan desa Shenzhen yang tenang di belakang.
Suara jangkrik dan kicau burung menjadi lagu pengiring perjalanan mereka. Mei Yin terus saja berceloteh, sementara Jiang hanya sesekali mengangguk, pikirannya masih melayang kepada Jiayu.
Mereka menyusuri area-area lembab di dasar hutan, di mana jamur tumbuh subur. Mei Yin, dengan matanya yang tajam, menemukan sekumpulan jamur Shiitake yang montok bersembunyi di balik akar pohon besar.
“Lihat, Jiang! Harta karun!” serunya riang, dengan hati-hati memetiknya dan meletakkannya di keranjang seolah-olah itu adalah mutiara.
“Mei Yin-jie, bagaimana jika ke daerah sungai? Biasanya di sana banyak tanaman binahong,” usul Jiang, suaranya masih datar tetapi ada sedikit cahaya minat.
“Idea bagus, Si Kerbau Pintar!” sahut Mei Yin. Mereka berbelok menuju aliran sungai kecil yang airnya jernih berkilauan diterpa matahari. Di tepian, tanaman binahong tumbuh subur. Mereka memetik dengan cermat, dan Mei Yin tak lupa memetik beberapa buah berry liar yang manis dan asam, menjadikannya camilan untuk pendakian.
“Sekarang, tantangan sebenarnya,” ucap Mei Yin menghela napas dramatis, menatap puncak Gunung Daoshan yang menjulang. “Daun Paruh Elang dan jamur Ling zhi yang hanya mau tinggal di tempat yang tinggi dan angkuh,”
Pendakian mereka melelahkan. Udara semakin dingin, dan oksigen terasa tipis. Jiang, yang biasanya lincah, terlihat berat. Mei Yin, meski lelah, terus menyemangati.
“Ayo, Jiang! Bayangkan wajah kakek jika kita pulang dengan tangan hampa! Pasti lebih menakutkan daripada bertemu singa hutan!” candanya, membuat Jiang akhirnya terkikik kecil.
Akhirnya, di sebuah tebing yang terkena sinar matahari sore, mereka menemukan apa yang mereka cari: Daun Paruh Elang, tumbuh tegak dan bangga dengan daunnya yang runcing.
Setelah mengambil beberapa Daun Paruh Elang, kemudian keduanya mencari tempat yang lebih lembab di sana biasanya banyak di tumbuhi jamur Ling zhi, dan benar saja mereka seperti mendapat keberuntungan bertubi-tubi, tak mau membuang waktu mereka segera mengambil jamur Ling zhi agar bisa segera pulang.
Perasaan puas menyirami mereka berdua. Mereka duduk sebentar, menikmati sisa buah berry dan pemandangan desa mereka di bawah yang terlihat begitu damai.
“Hah, akhirnya,” desis Mei Yin, meregangkan tubuhnya yang pegal. “Ayo kita turun sebelum kegelapan menyantap kita hidup-hidup, Jiang.”
“Iya, Mei Yin-jie,” jawab Jiang, kali ini dengan nada yang lebih ringan. Mungkin kegiatan ini sedikit berhasil mengusir kegelisahannya.
Mereka mulai turun dengan hati-hati. Saat itulah, dari kejauhan, sebuah sosok muncul—berlari, terhuyung-huyung, seperti dikejar ribuan setan.
“Mei Yin-jie, itu… seperti Paman Lu Yan,” bisik Jiang, matanya menyipit.
Mei Yin mengikuti arah pandangnya. “Iya, kau benar. Tapi kenapa dia terlihat seperti ayam yang dipenggal kepalanya?”
Sosok itu semakin dekat. Ya, itu memang Gong Lu Yan. Wajahnya pucat pasi, keringat membasahi bajunya, dan napasnya tersengal-sengal. Ada kepanikan murni di matanya yang biasanya tenang.
“Paman!” teriak Jiang, suaranya menggema di lembah.
Mendengar teriakan itu, Lu Yan terkesiap. Matanya yang liar mencari-cari, lalu akhirnya tertumbuk pada mereka. Dia seperti melihat harta karun. Dengan sisa tenaga, dia mendekati mereka, tangannya langsung mencengkeram lengan Jiang dengan erat, hampir menyakitkan.
“Jiang! Syukurlah! Syukurlah paman menemukanmu!” napasnya masih tersengal, baunya campuran keringat dan ketakutan. “Ayo, kita pergi! Sekarang! Kita tidak punya banyak waktu!”
Jiang tertegun, matanya membelalak. “Kita mau ke mana, Paman? Apa yang terjadi?” Darahnya seakan membeku oleh genggaman dan kepanikan yang tak biasa dari pria itu.
“Paman, ada apa?” tanya Mei Yin, mendekat dengan wajah penuh kecemasan, semua keceriaannya lenyap.
“Akan aku ceritakan nanti!” potong Lu Yan, suaranya parau dan terburu-buru.
Dia menarik tangan Jiang, memaksanya untuk berbalik dan kembali mendaki—menjauhi desa, menuju puncak yang baru saja mereka tinggalkan. “Yang penting sekarang kita harus pergi dari desa! Untuk sementara! Mereka datang! Mereka sedang memburumu!”
Kata-katanya menggantung, tajam dan mengancam seperti pisau. Jiang dan Mei Yin bertukar pandang, ketakutan yang sama akhirnya menyatukan irama jantung mereka.
Tanpa bertanya lebih lanjut, tanpa protes, mereka mengikuti tarikan Lu Yan. Mereka berlari, meninggalkan ketenangan gunung, menuju persembunyian, dengan satu pertanyaan yang membakar pikiran: Apa yang terjadi pada desa mereka?
.
.
.
🌹Hai....hai... Sayangnya Mami🥰🥰
Kira-kira apa yang terjadi di desa?
Bagaimana nasib Jiang? Akankah bahaya mengancamnya?
Pantengin terus bab-bab selanjutnya Yaaa...
JANGAN LUPA LIKE & KOMEN.
TERIMA KASIH SAYANGKU