NovelToon NovelToon
Istrimu, Tapi Tak Pernah Jadi Pilihanmu

Istrimu, Tapi Tak Pernah Jadi Pilihanmu

Status: sedang berlangsung
Genre:Aliansi Pernikahan / Pernikahan Kilat
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: Yullia Widi

Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.

Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.

Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.

Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34 – Bicara untuk Menyembuhkan Luka

Udara sore itu begitu teduh. Langit menggantung awan-awan kelabu yang tampak enggan menumpahkan hujan. Di sebuah kafe kecil yang terletak di ujung kota, Nayla duduk di dekat jendela, memandangi jalanan dengan pikiran yang jauh.

Cangkir kopinya masih penuh. Sudah sejam ia duduk sendiri, menunggu seseorang yang mungkin saja tidak akan datang lagi.

Tapi kali ini berbeda. Pintu kafe terbuka. Seseorang melangkah masuk dengan langkah ragu. Pria itu menatap sekeliling, lalu matanya menangkap sosok perempuan yang pernah ia lukai habis-habisan.

Arvan.

Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke meja itu.

“Nayla...” ucapnya lirih, seperti takut suaranya akan membuat perempuan itu pergi.

Nayla mengangguk pelan, tanpa senyum, tapi juga tanpa kemarahan. Hanya tatapan penuh ketenangan yang tak bisa dipecahkan oleh rasa bersalah sekalipun.

“Duduklah,” katanya.

Arvan duduk. Tangannya menggenggam ponsel erat, seolah itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap waras.

Beberapa detik pertama diisi keheningan yang menyiksa. Hanya suara mesin kopi di kejauhan dan obrolan orang-orang di meja lain yang jadi latar belakang.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” kata Arvan akhirnya. “Aku cuma tahu... aku salah. Dari awal.”

Nayla menatap matanya, tak ada air mata, hanya tatapan yang dewasa dan lelah.

“Apa kamu datang ke sini untuk meminta maaf? Atau untuk membuatku kembali?” tanya Nayla, lugas.

Arvan tercekat. “Aku... nggak tahu. Mungkin dua-duanya. Tapi lebih dari itu, aku cuma... ingin kamu tahu kalau aku menyesal. Sangat menyesal.”

Nayla menunduk. Jemarinya menggenggam cangkir kopi yang mulai mendingin.

“Arvan,” suaranya tenang, “penyesalan tidak selalu membawa kita pada kesempatan kedua. Kadang... penyesalan hanya membuat kita belajar untuk tidak mengulangi kesalahan pada orang berikutnya.”

Arvan terdiam. Dadanya terasa sesak. Kata-kata itu seperti hantaman halus yang langsung menghantam ulu hatinya.

“Aku nggak datang untuk membuka luka lama,” lanjut Nayla. “Aku datang karena aku sadar, kalau aku terus memendam semuanya, aku nggak akan benar-benar sembuh.”

Ia menatap pria di depannya dengan mata yang sudah terlalu lama menahan luka.

“Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Van? Bukan karena kamu memilih perempuan lain. Tapi karena kamu tidak pernah memilih untuk mempertahankanku.”

Suara Nayla nyaris bergetar, tapi ia menahannya dengan anggun.

“Kamu bilang kamu menyesal sekarang. Tapi di saat aku butuh satu alasan saja untuk bertahan, kamu diam. Kamu hanya berdiri di ambang pintu, menontonku pergi.”

Arvan menunduk. Matanya mulai basah.

“Aku takut, Nay... aku terlalu takut kehilangan dia, lalu kehilangan kamu. Aku pengecut.”

“Kamu bukan pengecut,” Nayla membalas, “kamu hanya terlalu egois untuk memilih mana yang benar-benar kamu butuhkan, bukan yang kamu inginkan sesaat.”

Ia menghela napas.

“Dan sekarang, aku sudah bukan perempuan yang sama. Dulu, aku rela menunggu kamu berubah. Sekarang, aku tahu, kebahagiaanku bukan tergantung pada kamu.”

“Jadi... ini benar-benar akhir?”

Nayla menatapnya, lalu tersenyum tipis. Bukan senyum bahagia, tapi senyum ikhlas.

“Ini bukan tentang akhir atau awal, Van. Ini tentang berdamai.”

Mereka terdiam. Arvan mengusap wajahnya yang mulai lembap.

“Terima kasih, Nayla... karena kamu masih memberiku kesempatan untuk bicara. Meskipun... aku tahu, aku tak akan pernah bisa kembali ke tempat yang dulu.”

Nayla bangkit dari kursinya. Mengambil tas kecilnya dan berdiri.

“Aku nggak akan mendoakan kamu bahagia dengan orang lain. Tapi aku akan mendoakan kamu menemukan dirimu sendiri. Karena selama ini, kamu pun tersesat.”

Ia melangkah pergi. Tak ada drama. Tak ada pelukan. Tak ada air mata yang meledak.

Hanya ketegasan dari seorang perempuan yang akhirnya benar-benar selesai dengan luka yang dulu membuatnya nyaris mati perlahan.

Dan Arvan tetap duduk di sana. Menatap bayangan terakhir Nayla yang menjauh. Menyadari bahwa kadang, cinta tak butuh untuk kembali. Cukup untuk disembuhkan... lalu dilepaskan.

Arvan masih duduk di tempatnya, menatap kosong ke arah pintu tempat Nayla baru saja menghilang. Suara tawa dari meja sebelah terasa seperti gema asing yang tak menyentuhnya sedikit pun. Dunia seakan bergerak tanpa menunggunya untuk ikut waras.

Beberapa menit kemudian, langkah kaki terdengar. Nayla kembali bukan karena ragu, tapi karena ada sesuatu yang belum selesai.

“Ada satu hal lagi,” katanya, berdiri di hadapan Arvan.

Pria itu segera menegakkan duduknya. “Apa?”

Nayla menggigit bibirnya. “Aku ingin kamu tahu, bahwa selama ini... aku belajar menerima bahwa mungkin aku memang bukan pilihanmu. Tapi bukan berarti aku layak disia-siakan.”

Arvan terdiam. Sekujur tubuhnya seperti dihantam kenyataan yang tak bisa lagi ditolak.

“Setelah kita bercerai, aku mencoba jadi kuat. Tapi malam-malam panjang itu... masih terasa. Aku tidur sendiri, bangun sendiri, menyembunyikan tangis agar tak terdengar oleh dinding yang sama-sama bisu.”

Nayla duduk lagi, kali ini tanpa emosi yang meledak. Hanya ingin berkata jujur terakhir kalinya.

“Kamu tahu, Van?” suaranya pelan, “aku pernah berharap kamu mencariku. Bukan karena bersalah, tapi karena sadar kehilangan. Tapi kamu... kamu bahkan terlalu lama untuk datang.”

“Aku butuh waktu untuk sadar...” balas Arvan, nyaris seperti bisikan.

“Dan dalam waktu itu,” Nayla menyela, “aku belajar mencintai diriku sendiri lagi.”

Air mata akhirnya menetes dari matanya. Tapi ia tak berusaha menyeka.

“Selama ini, aku berpikir bahwa kesalahanmu akan terus menyakitiku. Tapi kenyataannya, membiarkan diriku diam dalam hubungan yang tidak sehat... adalah kesalahanku juga.”

Arvan menggenggam meja, kepalanya tertunduk. “Kalau waktu bisa diputar...”

“Tidak bisa,” Nayla memotong cepat, tegas. “Dan aku tidak mau hidup dengan ‘kalau’ lagi.”

Ia mengambil tisu, menyeka air matanya perlahan. Lalu tersenyum kali ini lebih tulus dari sebelumnya.

“Aku memaafkanmu, Arvan. Bukan karena kamu pantas dimaafkan. Tapi karena aku ingin bebas.”

Arvan akhirnya menatapnya, dengan mata memerah dan suara serak, “Aku kehilangan kamu... bukan saat kamu pergi dari rumah itu. Tapi saat aku memilih tidak memperjuangkanmu.”

Nayla berdiri, kali ini benar-benar akan pergi.

“Kamu kehilangan aku,” katanya, “karena kamu terlalu sibuk mempertahankan sesuatu yang seharusnya kamu lepaskan. Dan saat kamu sadar, aku sudah tak ada lagi di tempat yang sama.”

Langkahnya meninggalkan meja itu tak lagi berat. Setiap tapak yang ia ambil adalah kemenangan bukan atas Arvan, tapi atas dirinya sendiri.

Di luar, hujan mulai turun. Rinai kecil menyapu pipi Nayla saat ia berjalan menuju mobil.

Tapi kali ini, air yang mengalir di wajahnya bukan air mata. Hanya hujan... yang seolah tahu bahwa seorang perempuan baru saja mengakhiri sebuah bab penuh luka dengan keberanian yang utuh.

Dan Arvan?

Ia tetap di tempatnya, tak mampu menyusul, tak berani memanggil. Karena di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tahu: ia sudah terlambat.

1
Mamah dini
raka atau arvan
Mamah dini
mudah2an pilihanmu yg sekarang ada benarnya nay, jgn diam kalau GK di anggap
Mamah dini
mampir thor, kasian kmu nay , semoga kedepan nya kmu bisa bahagia sm orang yg benar2 mencintaimu menghargaimu dn melindungimu, semangat terus nay .
yuliaw widi: Aamiin, Makasih Mamah dini 🤍 sudah mampir dan ikut merasakan luka Nay.
yuliaw widi: Aamiin, Makasih Mamah dini 🤍 sudah mampir dan ikut merasakan luka Nay.
total 2 replies
Dâu tây
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
yuliaw widi: Terima kasih! Tenang, update-nya bakal lanjut terus kok 🤍
total 1 replies
Jennifer Impas
Wow, aku gak bisa berhenti baca sampai akhir !
yuliaw widi: Makasih! Senang banget ceritanya bikin kamu terus baca 😍
total 1 replies
mr.browniie
Menggetarkan
yuliaw widi: Terima kasih banyak, senang sekali bisa menyentuh hati pembaca 🖤
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!