NovelToon NovelToon
CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Romansa
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: GOD NIKA

Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Desa di Bawah Bayang - Bayang

Lampu-lampu desa berkelip di kejauhan seperti bintang yang jatuh ke bumi. Udara di puncak bukit membawa aroma tanah basah dan asap kayu, tanda kehidupan manusia yang tenang setidaknya di permukaan.

Leon berdiri di depan jalur setapak menurun, napasnya berat, keringat dingin membasahi pelipis. Ia melirik ke belakang, tidak ada bayangan yang terlihat bergerak. Untuk sementara, mereka bebas.

Lana merapatkan jaket di tubuh Arya, yang sudah tertidur di pelukannya. “Sepertinya sudah aman,” bisiknya, suaranya setengah lega.

Leon tidak membalas. Matanya menyapu pemandangan, mencari potensi bahaya. Ia tahu terlalu banyak orang yang memandang "aman" hanya untuk menyesal beberapa menit kemudian.

Menuruni Jalur Senyap

Jalan menuju desa kecil itu bukan jalur wisata, melainkan jalan tanah yang licin dan jarang dilalui. Rumput liar menyentuh kaki mereka, dedaunan berembun membasahi celana. Leon berjalan paling depan, sesekali berhenti untuk mendengarkan. Hanya suara serangga malam dan burung hantu yang memecah kesunyian.

“Kalau desa ini kecil, apa mungkin mereka tetap menemukan kita?” tanya Lana sambil mengatur napas.

“Kalau mereka cukup pintar, iya,” jawab Leon. “Tapi kita nggak akan diam di sana. Kita cuma butuh beberapa jam... untuk makan, istirahat, dan cari arah baru.”

Arya menggerakkan kepala, setengah sadar. “Ayah… kita di mana?”

Leon menoleh, tersenyum tipis. “Di tempat tinggi. Lebih dekat ke bintang.”

Arya tersenyum tipis sebelum kembali terlelap.

Garis Cahaya

Begitu kaki mereka menapaki ujung jalan setapak, hamparan ladang terbuka terlihat. Di seberangnya, rumah-rumah kayu beratap seng berderet sederhana. Asap tipis keluar dari cerobong, membawa aroma sup dan kayu terbakar.

Leon memberi isyarat untuk tetap rendah. “Kita masuk lewat sisi timur. Kayaknya lebih sepi.”

Mereka menyusuri pagar bambu yang membatasi kebun sayur, lalu masuk ke lorong kecil di antara dua rumah. Di sana, suara tawa samar terdengar dari arah warung kopi di sudut desa. Leon melihatnya sekilas, tapi segera berbelok ke rumah paling ujung yang tampak gelap.

Tempat Singgah

Rumah itu ditinggalkan, papan kayunya mulai lapuk, pintu terbuka sedikit, dan jendela retak. Leon memastikan tak ada penghuni sebelum mempersilakan Lana dan Arya masuk.

Lantai rumah berdebu, tapi cukup kering. Lana menurunkan Arya di sudut dan menutup jaketnya rapat-rapat. “Dia butuh tidur yang nyenyak.”

Leon mengangguk, menurunkan ransel, lalu memeriksa seluruh ruangan. Di belakang rumah, ia menemukan tong air hujan setengah penuh. Ia membasuh wajahnya, air dingin membuat pikirannya sedikit jernih.

Saat kembali, ia melihat Lana duduk di lantai, memijat pelipis. “Kamu yang harusnya istirahat,” katanya.

“Aku akan istirahat… setelah memastikat kita aman,” jawab Lana, matanya menatapnya lekat-lekat.

Bisikan di Tengah Malam

Leon duduk bersandar di dinding, senjatanya di pangkuan. “Lana… aku nggak mau terus menyeret kamu dan Arya ke situasi seperti ini. Tapi malam ini, kita nggak punya pilihan selain… ya, begini.”

Lana menatapnya, lalu menghela napas. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu kalau kita berhenti, itu artinya menyerahkan diri. Dan itu… lebih buruk.”

Keheningan menggantung. Di luar, angin malam membuat dinding kayu berderit pelan.

Leon menunduk sebentar, lalu berkata lirih, “Kalau mereka sampai ke desa ini, kita harus siap bergerak sebelum fajar. Tidak ada jalan lain.”

Langkah di Luar

Sekitar satu jam kemudian, ketika Leon hampir terlelap, suara ranting patah memecah kesunyian. Matanya langsung terbuka, tubuhnya menegang. Ia memberi isyarat diam ke Lana, lalu merangkak ke jendela.

Di luar, di jalan desa yang sepi, ada dua orang berjalan pelan. Dari siluetnya, mereka bukan warga lokal. Gerakan mereka terlalu hati-hati, dan pandangan mereka terlalu waspada.

Leon meraba pistolnya, tapi menahan diri. Ia memilih mengamati terlebih dahulu.

Salah satu orang itu berhenti, menunduk, lalu mengeluarkan sesuatu, radio genggam. Suara lirih terdengar: “Target kemungkinan di area timur. Periksa rumah - rumah kosong.”

Lana menatap Leon, wajahnya memucat.

Pindah Sebelum Terlambat

Leon bergerak cepat. Ia membangunkan Arya tanpa suara, lalu menggendongnya. “Kita keluar lewat belakang, sekarang.”

Mereka melewati pintu dapur yang setengah copot, lalu turun ke kebun belakang. Dari sana, Leon memotong jalan melalui pagar bambu, masuk ke lahan sempit di antara rumah-rumah.

Suara langkah dan percakapan samar terdengar di kiri mereka—pengejar sudah masuk desa.

“Kita nggak bisa ke ladang, terlalu terbuka,” bisik Lana.

“Benar. Kita ambil jalur air,” balas Leon.

 

Sungai Kecil di Pinggir Desa

Di tepi desa, sebuah sungai kecil mengalir, airnya memantulkan cahaya bulan. Leon menurunkan Arya ke tanah, lalu membantu Lana melompat menuruni tebing rendah menuju tepian.

Airnya hanya setinggi mata kaki, tapi cukup untuk menyamarkan arah gerak mereka. Leon memimpin, memilih berjalan di sisi yang terlindung bayangan pohon.

Dari kejauhan, suara gong kecil dipukul tiga kali. Sinyal. Mereka memberi tahu tim lain bahwa pencarian sedang berlangsung.

 

Hening yang Menipu

Sekitar dua ratus meter dari titik awal, sungai bercabang. Leon memilih jalur kanan yang lebih sempit, dikelilingi akar pohon dan semak lebat. Udara terasa lebih lembap, dan suara air menjadi gema rendah di telinga.

Lana menatap ke belakang, lalu berbisik, “Aku rasa mereka di belakang kita.”

Leon tidak menoleh. “Kalau benar, kita punya sedikit keunggulan. Mereka harus membagi tim untuk masuk ke jalur ini.”

Arya menggigil. Leon menurunkan jaketnya sendiri, membungkus putranya. “Hangat sedikit, Nak.”

Titik Buta

Tiba-tiba, Leon berhenti. Di depan, jalur sungai tertutup oleh pohon tumbang, batangnya lebar dan licin. Tidak ada jalan memutar yang jelas.

“Kita harus naik dan turun di seberang,” kata Leon pelan.

Ia memanjat lebih dulu, lalu mengulurkan tangan ke Lana. Saat ia menariknya, suara cipratan air terdengar di belakang—cepat dan terarah.

Mata Leon menyipit. “Mereka sudah masuk jalur kita.”

Tindakan Instan

Tanpa ragu, Leon menurunkan Arya ke seberang, lalu mendorong Lana agar segera melompat. Begitu semua aman, ia menurunkan dirinya, lalu menendang batang pohon itu hingga bergeser sedikit. Air mulai mengalir di celah, tapi cukup untuk membuat jalur licin dan menyulitkan pengejar.

“Terus maju,” katanya sambil mendorong mereka.

Keluar dari Bayangan

Sekitar lima menit kemudian, semak di sisi kanan terbuka, memperlihatkan jalan setapak kecil yang menuju ke deretan gudang tua di tepi desa. Leon mengenali bentuknya, tempat ini kemungkinan jarang dipakai warga.

“Kita masuk ke gudang itu. Aman untuk sembunyi sementara,” ucapnya.

Di dalam, aroma kayu tua dan karung beras memenuhi udara. Leon menutup pintu dengan hati-hati, lalu duduk bersandar. “Kita tunggu sampai subuh. Lalu, kita pergi ke arah barat.”

Rencana Baru

Lana duduk di sampingnya, memegang tangan Arya yang kembali terlelap. “Barat… ke mana?”

“Ada stasiun kecil di sana. Kalau kita bisa naik kereta sebelum mereka tahu, kita bisa pindah kota.”

Lana mengangguk, meski matanya penuh keraguan. “Dan kalau mereka sudah di sana?”

Leon menatapnya lama. “Kalau begitu… kita tidak naik kereta. Kita menghilang.”

Janji di Antara Gelap dan Fajar

Malam itu, di antara suara tikus gudang dan derit angin di atap seng, Leon memandangi Lana dan Arya. Ada satu janji yang ia tanamkan dalam hati, apapun yang terjadi besok, mereka akan tetap bersama. Tidak ada musuh, senjata, atau perburuan yang akan memisahkan mereka.

Dan di luar sana, di balik bayangan desa yang tenang, para pengejar masih menyisir, belum menyerah.

Fajar akan membawa keputusan, apakah mereka berhasil lolos, atau justru terperangkap lebih dalam.

1
Risa Koizumi
Bikin terhanyut. 🌟
GOD NIKA: Terima kasih🙏🥰🥰
total 1 replies
Mít ướt
Jatuh hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!