Aku, Ghea Ardella, hanyalah seorang gadis pecinta sastra,menulis mimpi di antara bait-bait senja,
terobsesi pada harapan yang kupanggil dream,dan pada seorang pria yang kusebut my last love.
Dia, pria asal Lampung yang tak pernah kusentuh secara nyata,hanya hadir lewat layar,namun di hatiku dia hidup seperti nyata.
Aku tak tahu,apakah cinta ini bersambut,
atau hanya berlabuh pada pelabuhan kosong.
Mungkin di sana,ia sudah menggenggam tangan wanita lain,sementara aku di sini, masih menunggu,seperti puisi yang kehilangan pembacanya.
Tapi bagiku
dia tetaplah cinta terakhir,
meski mungkin hanya akan abadi
di antara kata, kiasan,
dan sunyi yang kupeluk sendiri.
Terkadang aku bertanya pada semesta, apakah dia benar takdirku?atau hanya persinggahan yang diciptakan untuk menguji hatiku?
Ada kalanya aku merasa dia adalah jawaban,
namun di sisi lain,ada bisikan yang membuatku ragu.
is he really mine, or just a beautiful illusion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thalireya_virelune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
es krim pelangi
Setelah kejadian itu, aku melewati hari-hariku tanpa dia. Tanpa pesan singkat yang tiba-tiba masuk, tanpa perdebatan online yang biasanya membuatku kesal tapi diam-diam aku rindukan.
“Kakak kenapa?” tanya Bella, matanya menatapku yang sedang melamun.
Aku terdiam sejenak, menatap layar televisi yang sebenarnya tidak benar-benar kupahami acaranya.
Hari itu aku memang sedang bersama Bella, duduk di ruang tamu menonton TV sore sepulang sekolah. Tapi pikiranku tidak berada di sana, pikiranku masih tertinggal pada seseorang yang kini hanya jadi kenangan.
Aku tersenyum menatap Bella.
“Gak apa-apa kok, Kakak cuma banyak pikiran aja,” ucapku sambil memasang senyum palsu.
“Kakak jangan bohong, Bella tahu Kak Ghea bohong" timpal Bella dengan suara lucu nan menggemaskan.
Aku hanya mengelus kepalanya pelan. Namun, selucu-lucunya Bella, semua tingkahnya tak cukup untuk menyembuhkan luka yang masih tersisa di hatiku.
Luka itu tetap ada, luka karena dia…
yang pergi meninggalkan begitu saja.
Hmm… aku sadar, karena sikap akulah yang membuat reza meninggalkanku .
tapi karena tingkahnya ,sudah terlalu membuatku muak. Tapi entahlah ,hatiku ternyata tidak bisa begitu saja mengabaikannya.
Sesakit apa pun, sebrengsek apa pun dia, aku tetap mencintainya. Cinta itu seperti luka yang tidak mau sembuh, terus membekas dan berdarah setiap kali aku mencoba melupakannya.
“Kakak, Kakak… Kakak tahu gak apa arti cinta?” ucap Bella tiba-tiba, membuat hatiku makin terasa perih.
Aku menarik napas dalam, menahan sesak yang mendadak menghantam dada.
“Apa cinta?” aku tersenyum pahit. “Cinta itu hanyalah sekadar harapan palsu, Dek" ucapku sembari memaksakan senyum yang terasa sakit.
Aku tahu, kata-kataku ini mungkin akan meracuni pikirannya sendiri, membuat pandangannya tentang cinta jadi buruk. Tapi mau bagaimana lagi? Inilah kenyataan yang aku rasakan. Cinta yang aku tahu hanyalah luka yang dibungkus janji-janji indah.
“Kakak nangis ya?” ucap Bella, seolah bisa membaca isi hatiku. Tatapannya begitu tajam, menembus dalam hingga membuatku hampir goyah.
“Enggak kok, siapa juga yang nangis. Kakak kan Ultraman , Kakak gak boleh nangis" ujarku sambil memaksakan tawa kecil dan mengalihkan pandanganku darinya.
Namun sebenarnya, hatiku retak. Air mata yang kutahan sudah menumpuk di balik senyum yang kupasang. Andai saja Bella tahu, betapa rapuhnya Ultraman yang sedang duduk di sampingnya ini.
Tiba-tiba Mama datang dari luar, wajahnya terlihat segar meski baru pulang dari rumah Tante Tania, tetangga kami. Biasalah, ibu-ibu kadang suka mampir satu sama lain untuk sekadar berbincang.
Di tangannya, Mama membawa dua cup es krim pelangi kesukaan kami berdua.
“Nih, buat Kakak sama Bella” ucapnya sambil tersenyum hangat.
Bella langsung menyambutnya dengan riang, matanya berbinar melihat warna-warni es krim yang menggoda.
Sementara aku hanya menatapnya sekilas. Selera itu hilang entah ke mana. Rasanya manis es krim pun tak akan bisa mengalahkan pahitnya hatiku.
“Kakak, ini es krim punya kamu” ucap Mama sambil menyodorkannya padaku.
Aku menggeleng pelan. “Enggak, Ma,kasih Bella aja semuanya.”
Mama menatapku heran, keningnya berkerut. “Kenapa? Bukannya es krim pelangi kesukaan Kakak?”
Aku menarik napas, lalu menunduk. Senyum pahit muncul tanpa bisa kutahan.
“Pelanginya sudah hancur, Ma terkubur bersama cinta terakhir” jawab ku datar.
Ruangan seketika terasa hening. Bella berhenti menjilat es krimnya, sementara Mama hanya bisa menatapku tanpa kata. Aku tahu kalimat itu terlalu berat, apalagi untuk suasana sederhana seperti sore ini. Tapi itulah yang kurasakan segala manis, segala warna, semuanya sudah pudar.
Mama hanya menghela napas panjang, seolah mengerti apa yang sebenarnya aku rasakan. Tanpa banyak bertanya lagi, ia menyerahkan es krim itu pada Bella. Mama tahu, aku tak akan menyentuhnya, apalagi ketika batinku sedang sakit seperti ini.
“Asikkk ,es krim Bella jadi dua!” seru Bella dengan polos, wajahnya bersinar penuh kebahagiaan khas anak kecil.
Aku menatapnya sambil tersenyum samar. Ada hangat yang singgah sejenak di dadaku. Melihat Bella bahagia tanpa beban, aku seperti melihat diriku sendiri saat dulu, saat kecil. Saat hidup hanya sesederhana menikmati es krim warna-warni, tanpa harus pusing memikirkan cinta, luka, atau kehilangan.
“Serius buat aku, Ma?” tanya Bella sambil tersenyum ceria, matanya berbinar menatap Mama.
“Iya, buat kamu" jawab Mama lembut.
Bella kemudian menoleh ke arahku, wajahnya masih penuh rasa ingin tahu.
“Kalau Kakak gimana?” tanyanya, masih peduli padaku meski tangannya sudah sibuk memeluk dua cup es krim pelangi.
Mama tersenyum tipis, lalu menatapku sekilas. “Biarin aja ,Kakakmu lagi dilema. Karena Cinta yang tumbuh di balik layar, yang ternyata menyisakan luka"ucap Mama seakan menyindirku dengan halus.
“Cinta? Bukannya kata Kakak, cinta itu hal yang jelek, ya?” celetuk Bella polos sambil memiringkan kepalanya.
Mama menghela napas panjang. Pandangannya lalu beralih menatapku dengan kelembutan yang membuatku hampir goyah, seakan ingin berkata banyak tapi menahannya. Setelah itu, ia menunduk menatap Bella, mencoba merangkai jawaban yang bisa dimengerti anak kecil polos sepertinya.
“Benar, tapi juga keliru, Nak" ucap Mama lembut sambil mengusap kepala Bella. “Cinta itu sebenarnya indah, tapi bisa terasa menyakitkan kalau berlabuh pada orang yang salah.”
Bella menatap Mama dengan mata bulatnya, berusaha memahami. Mama tersenyum tipis, lalu beliau melanjutkan. “Cinta itu seperti pantai, Bella. Pantai itu indah, tenang, dan menyejukkan. Tapi terkadang bisa tercemar oleh limbah. Begitu juga cinta jika salah tempat, ia bisa kotor, bahkan melukai. Namun jika dijaga, ia akan tetap indah selamanya.”
Aku terdiam. Kata-kata Mama menusuk ke dalam, seperti ombak yang datang silih berganti, mengingatkanku pada semua yang sudah kulalui bersama Reza. Indah, tapi penuh luka.
Aku lelah, tapi rinduku tak pernah mau pergi.
Aku masih sangat mencintainya, meski hatinya entah berlabuh pada siapa.
Seperti laut yang mencintai pantai, aku terus datang membawa ombak,meski tak pernah tahu apakah pantai menungguku,atau hanya diam menatap kepergianku.
Apakah Reza benar mencintaiku atau tidak, aku tak pernah tahu.Yang kutahu, cintaku padanya masih tertinggal,seperti bayangan senja yang tak rela hilang,walau malam memaksanya tenggelam.
“Kalau Kakak?” celetuk Bella polos, matanya menatap Mama lalu beralih padaku. “Apakah cinta Kakak juga tercemar oleh limbah?”
Mama tersenyum tipis, lalu menoleh ke arahku. “Tanya saja Kakakmu, Bella,” ucapnya lembut.
Bella pun menatapku dengan penuh rasa ingin tahu, matanya jernih seakan menuntut sebuah jawaban.
Aku ikut menatapnya, lalu menoleh pada Mama. Tenggorokanku tercekat, bibirku seolah terkunci rapat.
Aku tak tahu harus berkata apa. Mataku mulai berkaca-kaca, hampir tak bisa menahan air yang ingin jatuh. Cepat-cepat aku berdiri, tersenyum samar untuk menutupi rapuhku.
“Ma, Bella… Kakak masuk kamar dulu ya,” ucapku lirih.
Tanpa menunggu jawaban, aku melangkah meninggalkan ruang tamu. Di belakangku, aku bisa merasakan tatapan Mama yang penuh pengertian, dan Bella yang masih kebingungan.
Aku pun melangkah masuk ke kamar, lalu memutar kunci pintu perlahan.
..
Next ke bab berikutnya…
Terima kasih banyak sudah setia membaca ceritaku sampai sejauh ini. Maaf kalau ada kata-kata yang terasa kasar, atau alur cerita yang mungkin kurang nyambung, termasuk latar tempat yang terkesan itu-itu saja. Semua ini aku tulis berdasarkan kisah nyata, meskipun hanya sebagian yang benar-benar kualami, hehehe.
Yaudah, jangan bosan ya…
mari kita lanjut ke bab berikutnya! ✨