Aku, Ghea Ardella, hanyalah seorang gadis pecinta sastra,menulis mimpi di antara bait-bait senja,
terobsesi pada harapan yang kupanggil dream,dan pada seorang pria yang kusebut my last love.
Dia, pria asal Lampung yang tak pernah kusentuh secara nyata,hanya hadir lewat layar,namun di hatiku dia hidup seperti nyata.
Aku tak tahu,apakah cinta ini bersambut,
atau hanya berlabuh pada pelabuhan kosong.
Mungkin di sana,ia sudah menggenggam tangan wanita lain,sementara aku di sini, masih menunggu,seperti puisi yang kehilangan pembacanya.
Tapi bagiku
dia tetaplah cinta terakhir,
meski mungkin hanya akan abadi
di antara kata, kiasan,
dan sunyi yang kupeluk sendiri.
Terkadang aku bertanya pada semesta, apakah dia benar takdirku?atau hanya persinggahan yang diciptakan untuk menguji hatiku?
Ada kalanya aku merasa dia adalah jawaban,
namun di sisi lain,ada bisikan yang membuatku ragu.
is he really mine, or just a beautiful illusion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thalireya_virelune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
“Terakhir yang Tak Pernah Benar-Benar Terakhir”
Saat pulang sekolah seperti biasa, aku langsung masuk ke kamar.Aku tidak terlalu suka kebisingan ketika tubuhku lelah dan pikiranku penuh.
Aku rebahkan tubuhku di kasur, menatap langit-langit yang sepi, dan tiba-tiba bayangan Reza kembali memenuhi pikiranku.
“Za, kenapa kamu terus datang? Aku sendiri nggak tahu kamu sayang aku atau nggak…” gumamku pelan, menatap langit langit kamar yang sunyi.
Aku pun mengambil ponselku,Aku membuka Instagram, sekadar memastikan apakah ada hal baru darinya, sesuatu yang bisa membuatku cemburu lagi? Tapi ternyata, aman. Tak ada unggahan baru, tak ada tanda-tanda dia sedang dekat dengan siapa pun.
Namun belum sempat aku menutup aplikasi itu, notifikasi WhatsApp muncul lagi.
Reza.
Satu huruf saja.
“P.”
Aku mendengus pelan. “Cuma ‘P’? Setelah semua yang terjadi?” gumamku sambil mengetik balasan seadanya.
“Apa?”
Tak sampai satu menit, balasan darinya muncul lagi.
“Ayok VC geh.”
Aku menatap layar itu lama, jantungku berdetak lebih cepat. Antara rindu, takut, dan kecewa yang masih bersisa.
“VC biasa?” tanyaku singkat, mencoba memastikan, meski dalam hati aku sudah bisa menebak arah percakapannya.
Beberapa detik kemudian, muncul balasan darinya.
“Hmmm…”
Aku terdiam. Satu kata itu saja sudah cukup untuk membuat dadaku sesak.
Aku tahu maksudnya.
Aku tahu arah pembicaraan ini akan ke mana.
Reza… selalu begitu.
Setiap kali muncul setelah lama menghilang, selalu membawa rayuan yang sama, nada yang sama, dan maksud yang… aku sudah terlalu hapal.
Dia tidak benar-benar ingin bicara.
Dia hanya ingin mengulang kebiasaan lamanya yang membuatku kembali lemah.
Notifikasi WhatsApp kembali muncul.
“Ayok geh, ini terakhir.”
Kalimat itu lagi. Kalimat yang sudah terlalu sering ia ucapkan.
Aku menatap layar ponselku lama, jemariku gemetar saat mengetik balasan.
“Lah, bukannya waktu itu terakhir ya?”
Tak butuh waktu lama, balasan darinya datang cepat.
“Kan waktu itu nggak jadi. Ayoklah sekarang aja, yang terakhir. Habis itu berhenti sama-sama.”
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung yang mulai tak karuan.
Kata terakhir darinya sudah kehilangan makna.
Berapa kali dia mengatakannya? Berapa kali aku percaya?
“Yakin mau berhenti sama-sama?” tanyaku pelan, setengah ragu, setengah berharap.
Dan lagi-lagi, dia menjawab dengan kata yang membuat hatiku semakin bimbang.
“Beneran kok.”
“Kamu nggak akan blok aku lagi kan?” tanyaku ragu, seolah takut kehilangan lagi, meski kehilangan itu sudah sering terjadi.
“Enggak sayang, ayok sayang ,aku kangen sama kamu. Ayok VC" balasnya.
Rayuannya terdengar lembut, tapi aku tahu di baliknya selalu ada dusta yang menunggu untuk menyakitiku lagi.
Aku menatap layar itu lama, lalu mengetik pelan:
“Tapi aku belum bisa sebaik Nancy dan nggak bisa secantik mantan-mantan kamu, atau cewek yang deket sama kamu.”
Beberapa detik hening sebelum notifikasi itu kembali muncul.
“Gak apa-apa kok.”
Aku terdiam.
Sekilas, kata-kata itu terdengar menenangkan tapi entah kenapa, hatiku justru terasa semakin perih.
Aku berpikir sejenak…
Apakah aku memang sejelek itu di matanya?
Ataukah aku hanya terlalu berharap bisa jadi satu-satunya, padahal di hatinya, aku hanyalah pilihan sementara?
Aku pun mengetik pelan, jari-jariku sempat ragu menekan tombol kirim.
“Emang bener ya?” tanyaku, antara ingin percaya dan takut mendengar kebohongan lagi.
Beberapa detik kemudian balasan itu muncul.
“Enggak kok, kamu yang paling cantik.”
Kalimat itu, manis di telinga, tapi getir di hati.
Entah kenapa setiap kali Reza berkata begitu, aku justru merasa semakin kecil di hadapannya.
Belum sempat aku menelan rasa sesak itu, pesan berikutnya muncul lagi.
“Ayok dong VC, aku udah gak kuat.”
Aku menatap layar ponselku lama, dada terasa sesak.Kata-kata itu bukan lagi tanda cinta melainkan jerat yang ingin menarikku kembali ke masa lalu yang sama.
Aku pun mengetik cepat, menahan emosi yang mulai menyesak di dada.
“Sama cewek lain aja, jangan sama gua.”
Beberapa detik kemudian, balasan itu muncul lagi.
“Gua cuman suka sama lo.”
Aku menatap layar ponsel itu lama, sampai huruf-huruf di pesan terasa kabur karena mataku mulai basah.
“Ah, yang bener…” gumamku pelan, hampir seperti bisikan yang hanya bisa kudengar sendiri.
"Kalau kamu benar-benar cinta aku,
kenapa kamu sakitin aku, Za?
Kenapa kamu jadi orang yang paling aku cintai sekaligus yang paling sering membuatku menangis?,Kenapa kamu begitu toxic ke aku, tapi masih berani bilang sayang?,Dan kenapa… kenapa kamu masih dekat dengan cewek lain, sementara aku di sini terus menunggumu sendirian?"
Aku menunduk, air mataku jatuh tanpa bisa kutahan lagi.Mungkin cinta yang terlalu dalam memang selalu datang bersama luka yang tak pernah sembuh.
Tak lama kemudian, ponselku kembali bergetar.
Pesan dari Reza muncul lagi.
“Ayok dong sayang, ayok ini terakhir kok.”
Aku menarik napas panjang, menatap layar dengan pandangan kosong.
Kata “terakhir” darinya sudah seperti lagu lama yang terus diulang indah di awal, menyakitkan di akhir.
Aku mengetik perlahan, jari-jariku gemetar.
“Masa iya kamu bakalan berhenti? Kalau kamu cari cewek lain setelah nggak sama aku, gimana?”
Beberapa detik kemudian, balasan itu datang lagi.
“Aku janji nggak bakalan kok.”
Aku memejamkan mata, tersenyum pahit.
Janji.Kata yang sama, dengan isi yang selalu berbeda.
Dia selalu berjanji, dan aku selalu bodoh karena memilih percaya.
Sore itu, aku menuruti ajakannya entah karena rindu, atau karena hatiku yang sudah terlalu lemah untuk menolak.
Dan di sanalah, satu lagi kesalahan yang sama terulang.
Aku tahu seharusnya aku berhenti, tapi untuk Reza logika dan harga diriku seolah tak punya suara lagi.
Setelah semuanya terjadi, aku hanya bisa menatap layar ponsel dengan tangan gemetar.
Pesannya masuk lagi.
Kata-kata yang membuat dadaku semakin sesak, bukan karena maknanya, tapi karena aku sadar baginya aku hanya pelampiasan, bukan cinta.
Aku mencintainya dengan sepenuh keyakinan,seolah Reza adalah akhir dari segala perjalanan cintaku.
Namun ternyata, baginya aku hanyalah tubuh tanpa jiwa,bukan rumah tempat cinta berlabuh,melainkan pelampiasan dari nafsu yang tak mengenal hati.
Beberapa menit setelah kejadian itu, ponselku kembali bergetar.
Pesan dari Reza masuk lagi.
“Gimana, sayang? Kamu suka kan?”
Aku menatap layar itu lama.
Hatiku hancur, tapi aku tak ingin ia pergi.
Maka dengan kebohongan kecil yang menyakitkan, aku membalas.
“Iya… kok.”
Tak lama, pesan lain masuk lagi.
“Nanti lagi ya.”
Aku terdiam, lalu mengetik pelan dengan tangan gemetar.
“Lah, bukannya ini terakhir?”
Balasannya muncul cepat, seolah tanpa rasa bersalah.
“Aku nggak bisa, kamu terlalu menggoda.”